Assalamualaikum Wr. Wb

Jumat, 30 September 2011

Mengeraskan bacaan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim (Jaharkan Bismillah)

Kewajiban Membaca Basmalah di Awal surat Al-Fatihah

Setiap orang yang melakukan sholat diwajibkan membaca Basmalah pada awal surat Al-Fatihah karena basmalah merupakan ayat pertama darinya. Hal tersebut didasarkan pada hadits shohih dan kuat dari Rasulallah saw.. Antara lain yang dikemukakan oleh Abu Hurairah ra. bahwa Rasulalallah saw. bersabda: “Jika kamu sekalian membaca Alhamdulillah, maka bacalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Sesungguhnya Al-Fatihah itu Ummu Al- qur’an (induk Alqur’an), Ummul-Kitab (induk Kitab), As-Sab’ Al-Matsani dan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Adalah salah satu ayatnya”. (HR.Daruquth- ny [I:312], Imam Baihaqi [II:45] dan lain-lainnya dengan isnad shohih baik secara marfu’ mau pun secara mauquf).

Syeikh Saqqaf (pengarang) merasa aneh terhadap at-tanaqudhat (kontradiksi) bahwa muhaddits ash-shuhuf wa al-auraq (pembaharu lembaran-lembaran koran dan kertas), bukanlah pembaharu intelek yang benar dan jujur.

(Dia) menshohihkan hadits diatas tersebut dalam beberapa tempat dari kitabnya dan dalam beberapa kitab karangan yang dinisbatkan kepada dirinya, antara lain kitab Shohih Al-Jam’ Wa Ziyadatuh [I:261] dan Shihatuh [III : 179]. Meski pun demikian dia tetap saja berkata dalam kitab Sifat Sholat Nabi–nya halaman 96: “Kemudian Rasulallah saw. membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, dan tidak mengeraskan bacaannya”. Jika Basmalah diakui (oleh dia) sebagai salah satu ayat dari Al-Fatihah, lalu mengapa tidak dikeraskan juga bacaannya?)

 Ibnu ‘Abbas ra. meriwayatkan bahwa dia membaca Al-Fatihah, lalu membaca wa laqad atainaaka sab’an min al-matsaaniya wal Qur’anal ‘Adhiim. Lalu dia berkata, “Itulah Fatihat al-Kitab (Pembuka Al-Kitab/Alqur’an) dan Bismillahir Rahmaanir Rahiim adalah ayat yang ketujuh” (Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath VIII:382 mengatakan hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Thabrani dengan isnad Hasan).

 Diriwayatkan dari Ummu Salamah ra. bahwa, “Rasulallah saw. membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim dalamn sholat, dan beliau menganggapnya sebagai satu ayat…”. (HR.Abu Dawud dalam as-Sunan [IV:37], Imam Daraquthni [I:307], Imam Hakim [II:231], Imam Baihaqi [II:44] dan lain-lainnya dengan isnad shohih).

 Imam Ishak bin Rahuwiyah pernah ditanya tentang seseorang yang meninggalkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Maka dia menjawab; “Siapa yang meninggalkan ba’, atau sin, atau mim dari basmalah, maka sholatnya batal, karena Al-hamdu (Al-Fatihah) itu tujuh ayat”. (Hal ini akan ditemukan pada kitab Sayr A’lam Al-Nubmala’ [XI:369] karangan Ad-Dzahabi).

 Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah [ra] serta yang lainnya: “ Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. menjaharkan (bacaan) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”. (Hadits dari Ibnu ‘Abbas, diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar [I:255]; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra [II:47] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:308] dan lain-lainnya ; Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid [II:109] mengatakan, hadits tersebut di riwayatkan oleh Al-Bazzar dan rijal-nya mautsuuquun (terpercaya) ;

Al-Daraquthni [I:303-304] telah meriwayatkan dalam berbagai macam isnad siapa pun yang menemukannya tidak akan meragukan keshohihannya. Rincian pembicaraannya dapat dilihat pada jilid III dari At-Tanaqudhat. Ada pun hadits dari Abu Hurairah ra., diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam Al-Mustadrak-nya [I:232] dan perawi lainnya. Haditsnya shohih.

Al-Dzahabi rupanya berusaha melemahkan hadits tersebut dalam Talkhish Al-Mustadrak. Dia mengatakan, ‘Muhammad itu dhaif’, yang dia maksud adalah Muhammad bin Qais, padahal tidak demikian. Muhammad bin Qais sebetulnya orang baik dan terpercaya, termasuk rijal (sanad) Imam Muslim sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib [IX:367]. Disitu disebutkan Muhammad bin Qais diakui mautsuuq oleh Ya’qub bin Sufyan Al-Fusawi dan Abu Dawud, Al-Hafidh pun mengakui hal itu juga dalam At-Taqrib-nya)

 Disebutkan dalam shohih Bukhori [II:251 dalam Al-Fath al-Bari], bahwa Abu Hurairah ra. berkata: “Pada setiap sholat dibaca (Al-Fatihah dan surah—Red.). Apa yang yang beliau perdengarkan (jaharkan) maka kami pun memperdengarkannya (menjaharkannya), dan apa yang beliau samarkan (lirihkan), maka kami pun menyamarkannya (melirihkannya)…”.

Perkataan orang yang menyebutkan bahwa Rasulallah saw. kadang-kadang melirihkan dan kadang-kadang menjaharkan (bacaan basmalah), itu tidak benar. Karena mereka juga berdalil dengan hadits-hadits mu’allal yang ditolak. Bahkan sebagiannya hanya disimpulkan dari hasil pemahaman (al-mafhum) yang berlawanan dengan hadits al-manthuq, yang jelas menyatakan adanya menjahar bacaan basmalah. Sedangkan yang manthuq itu harus didahulukan atas yang mafhum, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.

 Imam Muslim dalam Shohih-nya [I:300] meriwayatkan hadits dari Anas ra. yang mengatakan: “Ketika suatu hari Rasulallah saw. berada disekitar kami, tiba-tiba beliau mengantuk (tidur sebentar), lalu mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Kami bertanya; ‘Apa yang menyebabkan engkau tertawa wahai Rasulallah’? Beliau menjawab; ‘Tadi ada surah yang diturunkan kepadaku, lalu beliau membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, innaa a’thainaaka al-kautsar….sampai akhir hadits’ “.

Imam Nawawi mengatakan dalam Syarh Muslim-nya [IV:111) bahwa basmalah itu merupakan satu ayat dari setiap surah kecuali surah Bara’ah atau at-Taubah berlandaskan dalil bahwa basmalah itu ditulis didalam mushaf dengan khath (tulisan/ kaligrafi) mushaf.

Hal itu didasarkan kepada kesepakatan sahabat dan ijma’ mereka bahwa mereka tidak akan menetapkan sesuatu didalam Alqur’an dengan khath Alqur’an yang selain Alqur’an. Ummat Islam sesudah mereka pun sejak dahulu sampai sekarang, sepakat atau ber-ijma’ bahwa basmalah itu tidak ada pada awal surah Bara’ah dan tidak ditulis padanya. Hal itu semua menguatkan apa yang telah kami katakan.

 Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al-Mujmir seorang Imam, Faqih, terpercaya termasuk periwayat hadits Shohih Enam sempat bergaul dengan Abu Hurairah ra. selama 20 tahun : “Aku melakukan sholat dibelakang Abu Hurairah ra., maka dia membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim lalu dia membaca Ummu Alqur’an hingga sampai kepada Wa laadh dhaalliin kemudian dia mengatakan amin. Dan orang-orang pun mengucapkan amin. Setiap (akan) sujud ia mengucapkan Allahu Akbar. Dan apabila bangun dari duduk dia meng ucapkan Allahu Akbar. Dan jika bersalam (mengucapkan assalamu‘alaikum). Dia kemudian mengatakan, ‘Demi Tuhan yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku orang yang lebih mirip shalatnya dengan Rasulallah saw.  daripada kalian”. (Imam Nasa’i dalam As-Sunan II:134; Imam Bukhori mengisyaratkannya hadits tersebut dalam shohihnya [II:266 dalam Al-Fath] ; Ibnu Hibban dalam shohihnya [V:100] ; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:251 ; Ibn Al-Jarud dalam Muntaqa halaman 184 ;Al-Daraquthni [I:300] mengatakan semua perawinya tsiqah ; Hakim dalam Al-Mustadrak [I:232] ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan [II:58] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:371] dan mengatakan isnadnya shohih. Dan hadits itu dishohihkan oleh sejumlah para penghafal hadits seperti Imam Nawawi, Ibn Hajar dalam Al-Fath [II:267] bahkan dia mengatakan bahwa Imam Nawawi membuat bab khusus ‘Menjaharkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’, itulah hadits yang paling shohih mengenai hal tersebut).

Sedangkan menurut Syeikh Saqqaf (pengarang), hadits itu bukan yang paling shohih, justru hadits Anas yang diriwayatkan Imam Bukhori lah yang paling shohih yaitu “Rasulallah saw. me-mad-kan (memanjangkan bacaan) bismillah, me-mad-kan Ar-Rahmaan dan me-mad-kan Ar-Rahiim”. Ibn Hajar dalam Al-Fath II:229 telah menetapkan untuk menggunakan hadits yang menetapkan adanya jahar dalam membaca basmalah. Selanjutnya dia mengatakan, ‘Maka jelaslah (benarnya) hadits yang menetapkan adanya jahar dengan basmalah’.

 Dalam Shohih Bukhori [IX:91 dalam Al-Fath] disebutkan bahwa Anas bin Malik ra. pernah di tanya mengenai bacaan Nabi Muhammad saw.. Dia men- jawab: “Bacaan Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Bismillah, memanjangkan kata Ar-Rahman dan memanjangkan kata Ar-Rahim”.

Ada pun hadits Anas ra. yang antara lain mengatakan: “Aku melakukan shalat dibelakang Nabi Muhammad saw., Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Mereka membuka (bacaan Alquran) dengan Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan mereka tidak menyebut (membaca) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim baik di awal pembacaannya mau pun di akhirnya”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka aku tidak mendengar salah satu di antara mereka membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim yang diriwayatkan Imam Muslim dalam shohih-nya [I:299 no.50 dan 52]. Hadits tersebut mu’allal (hadits yang mempunyai banyak ‘ilat atau yang menurunkannya dari derajat shohih). Diantara ‘ilat atau penyakit yang melemahkan derajat hadits itu adalah, ungkapan terakhir dalam hadits tersebut ‘Mereka tidak menyebut atau membaca Bismillah’. Sebenarnya itu bukan dari perkataan (hadits) Anas, tetapi hanya perkataan salah seorang perawi yang memahami kata-kata Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan tidak bermaksud untuk meniadakan basmalah dari Al-Fatihah.

Argumentasi ini dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah ra., disebutkan bahwa Rasulallah saw. bersabda, ”Alhamdulillah rabbil ‘aalamiin sab’u ayat ihdaa- hunna Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, wa hiya as-sab’u al-matsaani wa al-Quraani al-‘adhiim, wa hiya Ummu Al-Qur’an wa Fatihat Al-Kitaab, (Al-Fatihah itu tujuh ayat, salah satunya adalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Itulah tujuh (ayat) yang diulang-ulang Al-qur’an yang agung dan itulah induk Alqur’an dan Fatihat (Pembuka) Al-Kitab (Alqur’an)”. Al-hafidh Al-Haitami dalam Al-Mujma’ [II:109] mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan Imam Thabarani dalam Al-Ausath, rijal-nya tsiqat”.

Dari keterangan itu semua dapat ditetapkan ada empat indikasi mengenai ke- lemahan hadits Anas ra diatas tersebut:

a). Hadits yang shohih dan tsabit (kuat) yang diriwayatkan Imam Bukhori dari Anas berlawanan dengan hadits tersebut. Dalam hadits itu disebutkan, “Baca- an Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Bismillah, memanjangkan kata Ar Rahman dan memanjangkan kata Ar-Rahim”.

b). Semua Hafidh pakar penghafal hadits yang menulis dalam Mushthalah Hadits dan mengarang mengenai hadits, menyebutkan hadits Anas tersebut sebagai contoh hadits mu’allal yang meniadakan menjahar basmalah dalam Al-Fatihah itu

c). Hadits Anas tersebut, disamping mu’allal, bersifat meniadakan, sedangkan hadits Anas yang lainnya beserta hadits-hadits lain dari para sahabat menetapkan (istbat) adanya jahar dalam membaca basmalah. Padahal seperti yang di tetapkan dalam ilmu ushul fiqh ialah yang menetapkan (al-mutsbit) itu harus didahulukan daripada yang meniadakan, apalagi yang meniadakan itu masih mengandung ‘ilat (berupa hadits mu’allal). Menjam’u (mengkompromikan) pun tidak bisa dilakukan.

d) Diriwayatkan secara kuat dan benar, bahwa para sahabat yang empat -radhiyallahu ‘anhum- khususnya khalifah Umar dan khalifah ‘Ali semuanya menjaharkan bacaan basmalah dalam Al-Fatihah (lihat umpamanya kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar [II:372 dan 378] ).

Wallahu a’lam.

(Dinukil dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. oleh Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf [Syeikh Saqqaf, Jordania] cet. pertama, 1993 hal.107 s/d hal.111, diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qosim diterbitkan oleh Pustaka Hidayah Bandung).

Sumber: http://nujekulo.blogspot.com/2010/04/kewajiban-membaca-basmalah-di-awal

Beberapa hadits lain yang senada,

“Dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad Saw, bahwasanya Nabi Muhammad Saw, apabila membaca (Fatihah) sedang beliau menjadi Imam, beliau mulai bacaan Fatihahnya itu dengan Bismillah, lalu Abu Hurairah berkata, bahwa Bismillah itu salah satu ayat dari Kitab Allah” (H. Riwayat Daruquhtni, lihat al Majmu’ II hal.345)

“Dari Ibnu Abbas Rda, beliau berkata : Adalah Nabi Muhammad Saw, memulai sholatnya dengan Bismillah” (Hadits Riwayat Imam Tirmidzi – Sahih Tirmidzi juzu’ 2 pagina 44).

“Dari Qutadah, beliau berkata: Anas ditanya tentang bacaan Nabi Muhammad Saw, maka beliau menjawab : Adalah panjang, Beliau baca Bismillah, Beliau panjangkan ar Rahman, Beliau panjangkan ar Rahim” (H.R Bukhari)

“Dari Ummi Salamah Ummil mu’miniin Rda, beliau ditanya tentang bacaan Nabi Muhammad Saw, maka beliau menjawab : Adalah bacaan Nabi Muhammad Saw, memotong satu ayat satu ayat, Bismillahirrahmannirrahim, Alhamdulillahi rabbil alaamiin, Arrahmanirrahim, Maliki yaumiddin …” (H riwayat Imam Ahmad dan Abu Daud, lihat Musnad Ahmad bin Hambal jilid 6 hal 302).

“Dari Anas bin Malik beliau berkata : Bahwasanya Saidina Mu’awiyah sholat jahar di Madinah. Ia menjaharkan al Fatihah, tidak membaca Bismillah untuk Fatihah, tidak pula pada ketika membaca Surat sesudah al Fatihah, tidak takbir ketika hendak turun. Pada ketika ia sudah selesai sholat dan sudah memberi salam, lantas orang-orang Muhajirin dan Anshar (sahabat-sahabat Nabi yang utama) berteriak sambil bertanya: Hai Mu’awiyah, apakah engkau mencuri bacaan-bacaan sholat atau lupa ?
Berkata Anas bin Malik: Sesudah itu beliau (Mu’awiyah) tidak pernah sholat kecuali dengan membaca Bismillah untuk Fatihah dan untuk Surah dan ia takbir ketika hendak turun” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Daruquthni dalam kitab Sahih Daruquthni, pada halaman 117).

Rabu, 28 September 2011

Anda tidak dapat menginstal update dari Windows Update, Microsoft Update, atau dengan menggunakan Pembaruan Otomatis setelah instalasi perbaikan Windows XP atau setelah Anda menginstal Windows XP SP3 segera setelah instal bersih Windows XP SP2

Melihat produk di mana artikel ini berlaku.

Sistem TipsArtikel ini berlaku untuk versi yang berbeda dari Windows dari yang Anda gunakan. Isi dalam artikel ini mungkin tidak relevan bagi Anda. Kunjungi Windows 7 Pusat Solusi


Untuk terus menerima pembaruan keamanan untuk Windows, pastikan Anda menjalankan Windows XP dengan Service Pack 3 (SP3). Untuk informasi lebih lanjut, baca halaman web Microsoft: Dukungan telah berakhir untuk beberapa versi Windows

Pada Halaman ini

Perbesar semua | Tutup semua
GEJALA
Ketika Anda mencoba untuk menginstal pembaruan Windows dari Website Pembaruan Windows, situs Web Microsoft Update, atau dengan menggunakan Pembaruan Otomatis, Anda menerima pesan bahwa update tidak berhasil diinstal. Selain itu, update tidak ditampilkan dalam sejarah pembaruan. Anda mungkin mengalami masalah ini dalam skenario berikut: Skenario 1 Anda mencoba untuk menginstal pembaruan setelah memperbaiki instalasi Windows XP dengan menggunakan CD Windows XP. Skenario 2 Anda melakukan operasi berikut sebelum Anda mencoba untuk menginstal Windows update:

Anda melakukan instalasi baru Windows XP Paket Layanan 2 (SP2).
Anda mengunjungi Pembaruan Windows situs Web, atau Website Pembaruan Microsoft Web. CatatanKetika Anda mengunjungi situs Web update, versi terbaru dari perangkat lunak Windows Update akan diinstal di komputer Anda.

Anda menginstal Windows XP Service Pack (SP3) tanpa restart.
Anda mencoba untuk menginstal pembaruan Windows setelah menginstal Windows XP SP3.Jika Anda mengalami masalah Pembaruan Windows lainnya yang terkait, lihat bagian "Informasi Selengkapnya" untuk menemukan solusi yang tepat.
Kembali ke atas
PENYEBAB
Masalah ini terjadi karena file Wups2.dll yang disertakan dalam versi terbaru dari Windows Update tidak diinstal dengan benar. Untuk skenario 1, entri registri yang sesuai dengan file Wups2.dll hilang setelah menginstal perbaikan Windows XP. Versi rilis Windows XP tidak berisi perangkat lunak Windows Update.Untuk skenario 2, entri registri yang sesuai dengan Windows Update yang diubah kembali ke versi Windows XP SP2 jika Anda tidak me-restart komputer sebelum Anda menginstal Windows XP SP3. Entri registry untuk file Wups2.dll berubah untuk menunjuk ke file Wups.dll yang disertakan dalam versi rilis Windows XP SP2.


Kembali ke atas
RESOLUSI
Untuk mengatasi masalah ini, gunakan salah satu metode berikut.
Kembali ke atas
Metode 1: Download dan instal Agen Pembaruan WindowsKlik di sini untuk melihat atau menyembunyikan bagaimana menentukan apakah Anda menjalankan 32-bit atau edisi 64-bit Windows

Berkas berikut tersedia untuk di-download dari Pusat Download Microsoft: Untuk komputer berbasis x86



Download paket windowsupdateagent30-x86.exe sekarang.Untuk komputer berbasis x64


Download paket-x64.exe windowsupdateagent30 sekarang.Untuk komputer berbasis Itanium


Download paket windowsupdateagent30-ia64.exe sekarang.
Untuk informasi lebih lanjut tentang cara men-download versi terbaru dari Agen Pembaruan Windows, klik nomor artikel berikut untuk melihat artikel pada Basis Pengetahuan Microsoft:
949104 Cara mendapatkan versi terbaru dari Windows Update Agen untuk membantu mengelola update pada komputer

Apakah informasi ini berguna? Silahkan kirim tanggapan Anda
Kembali ke atas
Metode 2: Daftar file Wups2.dllUntuk meminta kami register berkas Wups2.dll di Windows untuk Anda, pergi ke " Perbaiki untuk saya bagian ". Jika Anda memilih untuk memperbaiki masalah ini sendiri, pergi ke " Biarkan saya memperbaiki sendiribagian ".

Perbaiki untuk saya

Untuk memperbaiki masalah ini secara otomatis, klik Perbaiki tombol atau link. Klik Jalankan di Download Filekotak dialog, dan ikuti langkah-langkah di wisaya Perbaiki.

Perbaiki masalah ini
Microsoft Perbaiki 50597

Catatan
Wisaya ini mungkin hanya dalam bahasa Inggris. Namun, perbaiki otomatis juga dapat berfungsi untuk versi bahasa lain dari Windows.
Jika Anda tidak pada komputer yang mengalami masalah, simpan solusi Perbaiki ke flash drive atau CD dan kemudian jalankan di komputer yang mengalami masalah.
Kemudian, pergi ke " Apakah ini memperbaiki masalah? " bagian.


Biarkan saya memperbaiki sendiriKlik di sini untuk melihat atau menyembunyikan cara register berkas Wups2.dll

Apakah ini memperbaiki masalah?
Periksa apakah masalah telah diperbaiki. Jika masalah sudah diperbaiki, Anda selesai dengan bagian ini. Jika masalah belum diperbaiki, Anda dapat menghubungi dukungan.
Kami sangat menghargai umpan balik Anda. Untuk memberikan umpan balik atau untuk melaporkan masalah dengan solusi ini, silakan tinggalkan komentar di " Perbaiki untuk saya"Blog atau kirimemail.
Kembali ke atas
INFORMASI LEBIH LANJUT
Lain artikel Basis Pengetahuan Microsoft yang dapat membantu Anda menyelesaikan masalah Pembaruan Windows: Klik di sini untuk melihat atau menyembunyikan rincian informasi Untuk informasi lebih lanjut tentang bagaimana memecahkan masalah Windows Update, klik nomor artikel berikut untuk melihat artikel pada Basis Pengetahuan Microsoft: Klik sini untuk melihat atau menyembunyikan rincian informasi Klik link berikut untuk menemukan opsi lainnya jika artikel ini tidak dapat menyelesaikan masalah Anda:

Windows Update Masalah
Gunakan Jawaban Microsoft untuk menemukan solusi
Online Opsi Dukungan Bantuan

Senin, 26 September 2011

Logika dalam filsafat Islam

Logika Islam terinspirasi terutama oleh korpus logis Aristoteles, Organon (yang menurut taksonomi Yunani akhir juga termasuk Retorikadan Poetics ). Penulis Islam juga akrab dengan beberapa elemen dalam logika Stoic dan teori linguistik, dan sumber-sumber logis mereka termasuk tidak hanya bekerja sendiri Aristoteles, tetapi juga karya-karya para komentator Aristoteles akhir Yunani, Isagog of Porphyry dan tulisan-tulisan logis dari Galen. Namun, sebagian besar pekerjaan logis dari para filsuf Islam tetap tepat dalam tradisi logika Aristotelian, dan sebagian besar tulisan-tulisan mereka di daerah ini dalam bentuk komentar tentang Aristoteles.

Untuk para filsuf Islam, logika mencakup tidak hanya studi mengenai pola-pola formal dan validitas kesimpulan mereka tetapi juga unsur-unsur filsafat bahasa dan bahkan epistemologi dan metafisika. Karena sengketa wilayah dengan tata bahasa Arab, filsuf Islam sangat tertarik bekerja di luar hubungan antara logika dan bahasa, dan mereka mengabdikan banyak diskusi untuk pertanyaan subjek dan tujuan dalam kaitannya dengan logika penalaran dan pidato. Di bidang analisis logis formal, mereka dielaborasi teori istilah, proposisi dan silogisme sebagai dirumuskan dalam Aristoteles Kategori , De interpretatione dan Sebelum Analytics . Dalam semangat Aristoteles, mereka menganggap silogisme sebagai bentuk yang semua argumentasi rasional dapat dikurangi, dan mereka menganggap teori silogisme sebagai titik fokus logika. Bahkan puisi dianggap sebagai seni silogisme dengan cara tertentu oleh sebagian besar Aristoteles besar Islam.

Karena logika dipandang sebagai Organon atau instrumen yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan, logika dalam dunia Islam juga memasukkan teori umum argumentasi terfokus pada tujuan epistemologis. Unsur logika Islam berpusat pada teori demonstrasi ditemukan dalam Aristoteles Posterior Analytics , sejak demonstrasi dianggap sebagai tujuan akhir dicari oleh logika. Unsur-unsur lain dari teori argumentasi, seperti dialektika dan retorika, dipandang sebagai sekunder untuk demonstrasi, karena diadakan bahwa argumen bentuk-bentuk yang dihasilkan negara kognitif rendah dalam kepastian dan stabilitas untuk demonstrasi. Tujuannya adalah filsuf akhirnya untuk menunjukkan kebenaran yang diperlukan dan tertentu, penggunaan argumen retoris dialektis dan dipertanggungjawabkan untuk sebagai persiapan untuk demonstrasi, sebagai kesimpulan defensif, atau sebagai ditujukan untuk mengkomunikasikan hasilnya kepada audiens yang lebih luas.
Materi pelajaran dan tujuan logika
Logika, bahasa dan tata bahasa
Konseptualisasi dan persetujuan
Predicables, kategori dan proposisi
Teori argumentasi
1. Materi pelajaran dan tujuan logika

Seperti kebiasaan mereka dalam membahas semua cabang filsafat, para filsuf Islam memberikan perhatian yang cukup untuk mengidentifikasi subyek dipelajari oleh logika dan bertujuan yang mempelajari logika diarahkan. Al-Farabi , yang logis dan linguistik tulisan mayoritas terdiri dari-Nya output yang filosofis, melambangkan pendekatan logika yang adalah karakteristik dari Aristotelianisme Islam. Dalam bukunya Ihsa 'al-'Ulum (Enumerasi Ilmu) , ia mendefinisikan logika sebagai ilmu, berperan berdasarkan aturan yang bertujuan mengarahkan akal menuju kebenaran dan menjaga dari kesalahan dalam tindakannya penalaran. Dia membela kebutuhan seperti ilmu penalaran atas dasar bahwa adalah mungkin bagi pikiran untuk berbuat salah dalam setidaknya beberapa tindakan, misalnya, pada mereka di mana inteligensi dicari tidak bawaan, tapi agak dicapai diskursif dan secara empiris 'melalui refleksi dan kontemplasi'. Al-Farabi membandingkan logika untuk alat seperti penguasa dan kompas, yang digunakan untuk memastikan ketepatan ketika kita mengukur benda-benda fisik tunduk pada kesalahan sensasi. Seperti alat-alat, langkah-langkah logis dapat digunakan oleh pengguna untuk memverifikasi baik tindakan mereka sendiri penalaran dan argumen orang lain. Memang, logika ini sangat berguna dan penting untuk membimbing akal ketika dihadapkan dengan kebutuhan untuk mengadili antara opini menentang dan bertentangan dan otoritas.

Pandangan al-Farabi logika sebagai ilmu berbasis aturan yang mengatur operasi pikiran atas inteligensi diulangi dalam banyak dari karya-pengantar-Nya logis, dan itu membentuk dasar untuk penyempurnaan kemudian Ibnu Sina (lihat Ibnu Sina ). Dalam bab-bab pembukaan nya al-Madkhal (Pendahuluan) , buku logis pertama kerja nya ensiklopedis al-Shifa '(Penyembuhan) , Ibnu Sina menjelaskan tujuan logika sebagai salah satu intelek memungkinkan untuk memperoleh "pengetahuan yang tidak diketahui dari yang 'dikenal. Seperti al-Farabi, ia membela kebutuhan untuk logika dengan menyatakan bahwa kapasitas bawaan penalaran tidak cukup untuk menjamin tercapainya tujuan ini, dan dengan demikian mereka memerlukan bantuan dari sebuah seni. Meskipun mungkin ada beberapa kasus di mana kecerdasan bawaan sudah cukup untuk memastikan pencapaian pengetahuan yang benar, kasus tersebut serampangan yang terbaik; dia membandingkan mereka dengan seseorang yang berhasil mencapai target pada kesempatan tanpa seorang penembak jitu yang benar. Inovasi yang paling penting dan berpengaruh yang Ibnu Sina memperkenalkan ke dalam karakterisasi logika identifikasi subyek sebagai 'niat kedua' atau 'konsep sekunder', berbeda dengan 'niat pertama'.Pembedaan ini berhubungan erat dalam filsafat Ibnu Sina untuk mengklaim penting metafisik bahwa esensi atau hakekat dapat dibedakan dari keberadaan, dan bahwa keberadaan pada gilirannya dapat dipertimbangkan dalam salah satu dari dua mode: eksistensi dalam beton, hal-hal luar biasa dalam dunia eksternal; atau konseptual keberadaan di salah satu fakultas jiwa masuk akal atau intelektual (lihat Keberadaan ).

Dalam al-Madkhal , Ibnu Sina berpendapat logika yang berbeda dari ilmu-ilmu lainnya karena tidak menganggap keberadaan konseptual seperti itu (ini akan psikologi), melainkan kecelakaan atau properti milik setiap quiditas berdasarkan yang yang dikonsep oleh pikiran . Sifat ini, menurut Ibnu Sina, termasuk hal-hal seperti predikasi penting dan disengaja, menjadi subjek atau menjadi predikat, dan menjadi premis atau silogisme (lihat bentuk logis § 1 ). Ini adalah sifat-sifat yang memungkinkan pikiran untuk menghubungkan konsep-konsep bersama dalam rangka untuk memperoleh pengetahuan yang tidak diketahui, mereka menyediakan landasan bagi aturan penalaran dan inferensi bahwa studi logika. Mereka apalagi sifat formal dalam arti bahwa, sebagai sifat milik semua konsep dalam kebajikan modus eksistensi mental mereka, mereka sepenuhnya independen dari isi pikiran itu sendiri, mereka acuh tak acuh terhadap sifat-sifat intrinsik dari quiddities yang mereka layani untuk menghubungkan bersama.

Dalam Ilahiyyat ( Metafisika ) dari al-Shifa ' , Ibnu Sina memperkenalkan Terminologi pertama dan kedua dari 'niat' atau Konsep untuk mengungkapkan hubungan antara Konsep ini quiddities sendiri - yang dipelajari dalam ilmu-ilmu teoretis - dan Konsep Amerika dan kecelakaan keberadaan mereka yang studi logika mental: "Seperti yang Anda ketahui, materi subjek ilmu logis yang kedua, niat dimengerti ( al-al-Ma'ani al-ma'qula thaniyya ) Yang tergantung pada niat dimengerti primer dengan Menghormati untuk membaca properti dengan Yang mereka memimpin dari yang dikenal ke 'tidak diketahui ( Ilahiyyat Buku 1, bab 2, di Anawati dan Zayed. 1960: 10-11 ). Sebagai contoh, niat kedua 'menjadi subjek' dan 'menjadi predikat' yang dipelajari dalam logika independen dari fungsi Apapun niat pertama sebagai subjek dan predikat dalam istilah proposisi yang diberikan, untuk Contoh, 'manusia' dan 'hewan rasional "dalam proposisi" manusia adalah hewan rasional '. Yang logis kedua tergantung pada niat niat niat pertama Karena pertama adalah Blok bangunan konseptual dari link pengetahuan baru bersama Yang niat kedua: tetapi studi logika kedua niat dalam abstraksi dari niat Apapun khususnya hubungan logis pertama tergantung pada dalam setiap kasus yang diberikan .
2. Logika, bahasa dan tata bahasa

Perhatian bahwa Ibn Sina dan al-Farabi mencurahkan untuk karakterisasi yang tepat dari subjek logika sebagian berasal dari keprihatinan untuk membedakan logika dari tata bahasa. Dalam tradisi kuno dan abad pertengahan, studi logika berhubungan erat dengan pertimbangan filsafat bahasa (lihat Bahasa, teori abad pertengahan , Logika, kuno , Logika, abad pertengahan ), dan untuk alasan ini banyak ahli tata bahasa Arab - yang teori-teori linguistik yang dikembangkan untuk tingkat tinggi kompleksitas dan kecanggihan - telah menghina para filsuf untuk mengimpor logika Yunani, yang mereka lihat sebagai tradisi linguistik asing, ke dalam lingkungan Arab. Sikap terhadap logika Yunani dilambangkan dalam sebuah debat yang terkenal dilaporkan terjadi di Baghdad pada 932 antara tatabahasa Abu Sa'id al-Sirafi dan Abu Bishr Matta, seorang Kristen Syria yang menerjemahkan beberapa karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab dan diakui untuk telah salah seorang guru al-Farabi. Rekening yang masih ada perdebatan adalah sangat bias terhadap al-Sirafi, yang menyerang formalisme logis dan menyangkal kemampuan logika untuk bertindak sebagai ukuran penalaran atas dan di atas kapasitas bawaan dari kecerdasan itu sendiri. Klaim utamanya adalah bahwa logika filosofis hanyalah tata bahasa Yunani dipanaskan di atas, bahwa itu adalah terkait erat dengan idiom dari bahasa Yunani dan yang telah ada untuk menawarkan penutur bahasa lain seperti bahasa Arab.

Ini adalah latar belakang serangan tersebut bahwa diskusi tentang hubungan antara logika, bahasa dan tata bahasa oleh al-Farabi, Ibnu Sina dan murid al-Farabi Yahya bin 'Adi (juga seorang Kristen Syria dan penerjemah), harus dipahami. Al-Farabi dan Yahya keduanya hadir dasarnya perspektif yang sama pada hubungan antara logika dan bahasa, perspektif moderat yang Ibnu Sina kemudian menolak. Dalam "Ihsa al-'Ulum , al-Farabi berpendapat bahwa logika dan tata bahasa keduanya memiliki beberapa kepentingan yang sah dalam bahasa, tetapi sementara aturan tata bahasa terutama mengatur penggunaan bahasa, aturan logika terutama mengatur penggunaan inteligensi:


Dan ini seni [logika] adalah analog dengan seni tata bahasa, dalam hubungan seni logika intelek dan inteligensi adalah seperti hubungan seni tata bahasa untuk bahasa dan ekspresi. Artinya, untuk setiap aturan untuk ekspresi yang ilmu tata bahasa menyediakan kita, ada [aturan] yang sesuai untuk inteligensi yang ilmu logika memberikan kami.
( Ihsa 'al-'Ulum , di Amin , 1968: 68 )

Lebih tepatnya, al-Farabi menjelaskan bahwa meskipun tata bahasa dan logika berbagi perhatian bersama dengan ekspresi, tata bahasa menyediakan aturan-aturan yang mengatur penggunaan yang benar dari ungkapan dalam bahasa tertentu, tetapi logika menyediakan aturan yang mengatur penggunaan bahasa apapun sejauh itu berarti inteligensi. Dengan demikian, logika akan memiliki beberapa karakteristik tata bahasa universal, menghadiri dengan fitur umum dari semua bahasa yang mencerminkan konten yang mendasari dimengerti mereka. Beberapa fitur linguistik akan dipelajari di kedua logika dan tata bahasa, namun logika akan mempelajari mereka karena mereka adalah umum, dan tata bahasa sejauh mereka idiomatik. Atas dasar ini perbandingan dengan tata bahasa, kemudian, al-Farabi mampu menyelesaikan karakterisasi tentang subyek logika sebagai berikut: "Subyek-masalah logika adalah hal-hal yang [logika] menyediakan aturan, yaitu, inteligensi sejauh mereka ditandai dengan ekspresi, dan ekspresi sejauh mereka menandakan inteligensi '( Ihsa 'al-'Ulum , di Amin 1968: 74 ).

Seperti al-Farabi, Adi Yahya ibn ', dalam sebuah risalah berjudul al-Maqala tabyin FasL fi al-mantiiq bayna sinaatay Falsafi wa-al-al-al-arab nahw (Pada Perbedaan Antara Logika filosofis Arab dan Tata Bahasa) , membuat kasusnya untuk kemerdekaan tata bahasa dari logika didasarkan pada perbedaan antara bangsa dan tata bahasa universal dari suatu logika tertentu ilmu pengetahuan. Dia berpendapat bahwa tata bahasa adalah subyek Ekspresi belaka ( al-alfaz ), yang mempelajari hal itu dari perspektif yang terbatas artikulasi yang benar dan sesuai dengan konvensi vokalisasi Arab.Tatabahasa ini terutama berkaitan dengan bahasa sebagai fenomena oral, ahli logika sendiri benar prihatin dengan 'Ekspresi sejauh mereka menandakan makna' ( al-al-dalla 'alfaz mendapatkan al-maani ) ( fi Maqala tabyin , di Endress , 1978: 188 ). Untuk mendukung klaim ini, Yohanes menunjukkan, Mengubah infleksi tata bahasa yang tidak mempengaruhi arti dasar dari kata: jika kata terjadi dalam kasus nominatif dalam satu kalimat, dengan vokal yang tepat, penandaan tetap tidak berubah bila digunakan dalam kalimat lain Mengakhiri dalam kasus akusatif dan dengan vokal yang berbeda.

Dalam pandangan Ibnu Sina, bagaimanapun, rekening kepentingan tersebut ahli logika dalam bahasa dan perbedaan dari yang dari tatabahasa tidak pergi cukup jauh. Sesuai dengan pemahaman sendiri logika sebagai ilmu yang mempelajari niat kedua, Ibnu Sina mengecam upaya sebelumnya seperti untuk memperkenalkan kekhawatiran linguistik ke dalam subyek logika. Dalam al-Madkhal , Ibnu Sina label sebagai 'bodoh' orang yang mengatakan bahwa 'subyek spekulasi menyangkut logika ekspresi sejauh mereka menandakan makna ( Ma'ani ) '. Namun, Ibnu Sina tidak menyangkal bahwa ahli logika ini kadang-kadang atau bahkan sering diperlukan untuk mempertimbangkan hal linguistik; keberatannya adalah dimasukkannya bahasa sebagai unsur esensial dari subyek logika. Ahli logika ini hanya kebetulan peduli dengan bahasa karena kendala pemikiran manusia dan urgensi praktis belajar dan komunikasi. Ibnu Sina lebih jauh mengklaim bahwa, "jika logika dapat dipelajari melalui pemikiran murni sehingga makna saja bisa dilayani di dalamnya, maka akan membuang seluruhnya dengan ekspresi ', tetapi karena ini tidak pada kenyataannya mungkin,' yang seni logika dipaksa untuk memiliki beberapa bagian yang datang ke negara mempertimbangkan ekspresi '( al-Madhkal , di Anawatiet al. 1952: 22-3 ). Untuk Ibnu Sina, kemudian, logika adalah seni murni rasional yang tujuannya adalah sepenuhnya ditangkap oleh tujuan memimpin pikiran dari yang diketahui ke yang tidak diketahui, hanya tanpa sengaja dan sekunder itu dapat dianggap sebagai seni linguistik.
3. Konseptualisasi dan persetujuan

Sementara hubungan yang erat antara logika dan studi linguistik muncul dalam pertimbangan para filsuf Islam 'dari subyek logika, hubungan antara logika dan epistemologi muncul ke permukaan dalam pertimbangan dari perpecahan dalam logika dan urutan buku dalam Aristoteles Organon .Semua Aristoteles Islam mengatur pokok pemahaman mereka tentang divisi logika sekitar kuplet epistemologis tasawwur (konseptualisasi), dantasdiq (persetujuan), yang merupakan bagi mereka dua negara pengetahuan bahwa logika bertujuan untuk memproduksi dalam intelek.

Konseptualisasi adalah tindakan pikiran dengan yang menggenggam tunggal (meskipun tidak selalu sederhana) esens atau quiddities, seperti konsep 'manusia'. Setuju, sebaliknya, adalah tindakan intelek dimana itu membuat penilaian yang determinate-nilai kebenaran dapat diberikan, bahkan, konseptualisasi didefinisikan dalam filsafat Islam terutama oleh kontras dengan persetujuan. Jadi, setiap tindakan pengetahuan yang tidak berarti penugasan nilai kebenaran proposisi-ke yang sesuai untuk itu akan menjadi tindakan konseptualisasi saja, tidak setuju. Lebih khusus, para filsuf Islam link yang setuju dengan penegasan atau penolakan keberadaan hal dikandung, atau penilaian bahwa itu ada dalam keadaan tertentu, dengan sifat tertentu. Jadi, mengandaikan persetujuan beberapa tindakan sebelum konseptualisasi, meskipun konseptualisasi tidak mengandaikan setuju.

Salah satu tujuan termasuk pertimbangan dari tasawwur-tasdiq dikotomi dalam diskusi pengantar tujuan logika adalah untuk memberikan landasan epistemologis untuk dua titik fokus dari logika Aristotelian, definisi dan silogisme (lihat bentuk logis § 1 ). Tujuan dari definisi tersebut adalah diidentifikasi sebagai produksi dari suatu tindak konseptualisasi, dan tujuan dari silogisme diidentifikasi sebagai penyebab setuju untuk kebenaran proposisi. Namun, karena definisi dan silogisme keduanya dipertimbangkan dalam Sebelum dan Analytics posterior dan karya-karya yang datang setelah mereka di Organon, mempelajari cara memproduksi mengandaikan konseptualisasi dan persetujuan sebagai landasannya studi istilah tunggal dan proposisi dalam dengan Kategori dan De interpretatione .
4. Predicables, kategori dan proposisi

Sesuai dengan tradisi Yunani kuno, para filsuf Islam dianggap sebagai buku dari Organon menjadi seri memerintahkan yang dimulai dengan studi arti istilah sederhana dalam Kategori dan kemudian mulai mempelajari proposisi di interpretatione De . Selain kedua teks Aristoteles, sebuah karya dari Neoplatonist Porfiri , yang dikenal sebagai Isagog (Pendahuluan) , adalah ditambahkan ke awal seri ini sebagai pengantar untuk mempelajari dari Kategori (lihat Aristoteles § 7 ). Ini prihatin dengan lima predicables: genus, spesies, perbedaan, properti dan kecelakaan.Sementara semua Aristoteles Islam menulis komentar tentang Isagog dan digunakan pengelompokan nya dari predicables, tidak semua yakin utilitas sebagai pengantar untuk Aristoteles. Ibnu Rusyd secara terbuka menyatakan keraguannya seperti dalam kata pengantar nya Talkhis Kitab al-maqulat (Tengah Komentar di Kategori) , di mana ia menunjukkan bahwa niat asli adalah untuk menghilangkan Isagog sepenuhnya dari seri tafsiran tengah pada Organon. Pada akhir karyanya pada Isagog sendiri, dia menjelaskan terang-terangan bahwa ia tidak percaya bahwa teks Porfiri adalah pengenalan membantu untuk mempelajari logika dan pertanyaan apakah itu benar-benar sebuah teks logis sama sekali. Alasan utamanya untuk menyelesaikan komentar, ia memberitahu kita, adalah untuk memenuhi permintaan yang dibuat oleh teman-temannya.

Karakter logis dari Kategori disajikan masalah terkait untuk filsuf Islam lainnya. Dalam pengantar untuk nya Syarh al-'ibarah (Komentar Agung pada interpretatione De) , al-Farabi berlatih beberapa kontroversi yang diwarisi dari tradisi Yunani atas hubungan antara Kategori dan De interpretatione . Seperti al-Farabi menunjukkan, interpretatione De dapat dipahami cukup baik tanpa pengetahuan sebelumnya dari Kategori , dan pekerjaan mantan membuat tidak ada referensi eksplisit untuk yang kedua. Selain itu, De interpretatione ini terutama berkaitan dengan hubungan formal antara proposisi, seperti kontradiksi dan pertentangan, sedangkan Kategori berkaitan dengan arti atau makna istilah seperti itu.Selanjutnya, dalam bab pembukaan, yang interpretatione De mempertimbangkan segi formal bagian-bagian proposisi sederhana yang tersusun, yaitu kata benda dan kata kerja. Meskipun kekhawatiran ini, bagaimanapun, al-Farabi opts untuk memesan buku-buku tradisional dengan alasan bahwa Kategori relevan dengan keseluruhan logika, karena studi 'yang paling sederhana dari hal-hal subjek di mana logika mengaktualisasikan dirinya'. Dalam bukunya Filsafat Aristutalis (Filsafat Aristoteles) , al-Farabi memilih untuk solusi yang mirip dengan status logis dari Kategori, menjelaskan bahwa itu terdiri dari penyelidikan dan klasifikasi 'contoh dari yang dari mana tempat pertama diperparah', yang adalah 'significations utama dari ekspresi umum diterima oleh semua' ( filsafat Aristutalis , dalam Mahdi, 1969: 82-3 ).

Was-was al-Farabi dalam kedua teks berasal dari fokus sebagian besar ontologis dari Aristotelian Kategori , yang menimbulkan pertanyaan penempatannya dalam Organon. Kekhawatiran ini bergema kemudian oleh Ibnu Sina, yang menunjukkan bahwa banyak dari diskusi di Kategoriakan lebih baik ditempatkan dalam metafisika atau psikologi, karena mereka berhubungan dengan studi ekspresi secara langsung menandakan makhluk eksternal atau mental, dengan kata lain, untuk pertama daripada niat kedua. Tapi karena Kategori ini berguna dalam mengajar kita bagaimana untuk merumuskan definisi - yang merupakan salah satu tujuan utama dari logika - penempatannya dalam Organon dapat dibenarkan berdasarkan alasan praktis.

Filsuf Islam dipandang De interpretatione sebagai studi dari komposisi dan kebenaran-nilai proposisi kategoris. Jadi al-Farabi, dalam komentarnya besarnya tentang teks ini, menjelaskan bahwa "interpretasi" istilah yang digunakan dalam judul karya berarti 'pernyataan lengkap' ( al-qawl al-tamm). Sebuah pernyataan yang lengkap, menurut al-Farabi, harus menjadi salah satu yang menyebabkan pemahaman yang lengkap dalam pikiran, dalam kata lain, di mana persetujuan terjadi bersama dengan konseptualisasi. Hal ini dicapai terutama oleh pernyataan, sederhana predikatif, kategoris ( al-qawl al-al-Hamli jazim al-Basit ) yang menegaskan atau menyangkal sebuah predikat dari subjek.
5. Teori argumentasi

Untuk seluruh tradisi Islam, kemuliaan penobatan logika Aristotelian adalah teori silogisme yang digariskan dalam Sebelum dan Analytics posterior , terutama yang terakhir. Tujuan dari logika adalah untuk menyediakan sarana dimana pengetahuan adalah untuk diperoleh, dan jenis pengetahuan yang paling berharga adalah yang tertentu dan diperlukan, yaitu, pengetahuan yang diperoleh sesuai dengan paradigma ilmu pengetahuan demonstratif diletakkan di Analytics posterior . Ini bagian dari logika, dalam kata-kata al-Farabi Ihsa 'al-'Ulum , adalah 'yang terkuat dan unggulan dalam martabat dan otoritas. Logika mencari tujuan utama dalam bagian ini saja, dan sisanya dari bagian-bagiannya hanya demi perusahaan '( Ihsa 'al-'Ulum, di Amin 1968: 89 ). Bahkan studi formal dari silogisme itu sendiri adalah terutama dilakukan demi kerja dalam demonstrasi.

Dalam teori formal silogisme mereka, terutama Aristoteles Islam mengikuti Aristoteles Sebelum Analytics . Sementara mereka menyadari sosok keempat secara tradisional dianggap berasal dari Galen , kecenderungannya adalah untuk mengabaikan angka ini sebagai berlebihan dan tidak masuk akal intuitif, seperti Ibnu Sina tidak dalam metode ketujuh-nya al-wa-'l Isharat-tanbihat (Keterangan dan peringatan) , atau untuk mengabaikan itu sepenuhnya, sebagai al-Farabi tidak dalam bukunya Kitab al-qiyas (Buku tentang silogisme) . Demikian pula, para filsuf Arab tahu dari logika proposisional alternatif dari Stoa dan elemen dimasukkan itu dalam diskusi mereka bersyarat atau hipotetis ( shartiyyah ) silogisme (lihat Logika, kuno ). Namun, mereka tidak menerima skema inferensi Stoic, juga tidak mereka memperlakukan connectives kondisional sebagai kebenaran-fungsional, karena mereka tidak menganggap bagian-bagian dari pernyataan bersyarat untuk menjadi proposisi lengkap di kanan mereka sendiri.Selain itu, untuk 'bersyarat' ahli logika Islam adalah istilah generik yang mencakup baik 'penghubung' ( al-muttasilat ) conditional (formulir, 'jika ... maka') dan 'berkesinambungan' ( al-munfasilat ) conditional (dari bentuk, "baik ... atau '). Silogisme bersyarat dari kedua macam dipandang sebagai mengandalkan proses 'pengulangan' atau 'pengulangan' ( 'istithna ), sebuah istilah yang disebut pengulangan anteseden atau konsekuensi, atau salah satu dari dua disjuncts, sejauh itu membentuk premis kedua dari silogisme. Jadi, dalam silogisme bersyarat konjungtiva, 'Jika siang hari, maka itu adalah cahaya, tetapi siang hari, oleh karena itu cahaya', 'itu siang hari' akan berlabel mustathna ' atau mengulangi premis, karena dengan penegasan kembali yang bahwa silogisme mencapai kesimpulan.

Ketika kita beralih ke aplikasi spesifik teori silogisme untuk jenis tertentu argumentasi, keprihatinan epistemologis dari permukaan logika Islam sekali lagi. Secara khusus, para filsuf Islam yang menjelaskan keutamaan demonstrasi, dan peran tambahan dari dialektis, retoris, silogisme puitis dan sophistical, dengan mengacu pada status epistemis dari tempat yang digunakan dalam setiap jenis silogisme, dan jenis persetujuan mereka bisa menghasilkan kesimpulan dari silogisme di mana mereka dipekerjakan. Klasifikasi silogisme dan tempat mereka sesuai dengan sifat persetujuan mereka ditemukan dalam tulisan-tulisan logis dari semua filsuf besar Islam, tetapi klasifikasi yang paling lengkap dan sistematis dari tempat terjadi dalam tiga karya Ibnu Sina, al-Burhan (Demonstrasi) , dalam al-Shifa ' , al-Najah (Deliverance) dan al-wa-'l Isharat-tanbihat (Keterangan dan peringatan) . Meskipun tiga rekening berbeda dalam jumlah dan berbagai tempat yang tercantum di masing-masing, umumnya mereka memberikan teori tunggal dan konsisten. Silogisme demonstratif terdiri dari tempat yang memerlukan persetujuan dan termasuk jelas prinsip-prinsip pertama serta masuk akal, proposisi empiris jelas. Silogisme dialektik didasarkan pada keyakinan yang diterima secara umum ( al-mashhurat ), yang setara dengan endoxa Topics Aristoteles; di tempat yang diberikan untuk tujuan perdebatan dialektis, dan pada umumnya, pada semua tempat disepakati karena mereka secara universal diterima oleh semua orang, atau dengan orang yang dianggap otoritatif. Silogisme retorik yang mirip dengan yang dialektis, kecuali bahwa mereka diterima unreflectively dan atas dasar otoritas yang lebih terbatas, relatif, misalnya, untuk suatu kelompok tertentu atau sekte, seperti itu, mereka hanya seharusnya atau dianggap 'umum- menerima keyakinan '. Tempat Sophistical adalah mereka diterima karena beberapa kemiripan menyesatkan ke jenis lain dari premis, dan tempat puitis adalah mereka yang menghasilkan gerak dalam fakultas imajinasi ( al-takhyil ), bukan tindakan persetujuan intelektual.

Dimasukkannya silogisme retoris dan puitis dalam pencacahan ini mencerminkan anggapan umum di kalangan filsuf Islam yang Aristoteles Retorikadan Poetics adalah bagian dari-Nya Organon logis. Asumsi ini diwariskan oleh tradisi Islam dari komentator Yunani, dan itu digunakan oleh mereka di bagian untuk menjelaskan perbedaan antara modus filosofis dan populer wacana dan argumentasi, terutama dalam konteks diskusi tentang hubungan antara filsafat dan agama. Para filsuf Islam berpendapat bahwa bahwa para filsuf pada prinsipnya mengandalkan silogisme demonstratif dan dialektis, pemimpin agama dan teolog umumnya menggunakan silogisme retoris dan puitis untuk membujuk masyarakat umum. Agama dengan demikian dipandang sebagai gambar atau refleksi filosofis, kebenaran demonstratif dikemukakan dalam bahasa dan bentuk-argumen yang dapat dengan mudah dipahami oleh massa kemanusiaan.

Tempat dialektika dalam teori argumentasi adalah mungkin yang paling ambivalen dalam logika Islam. Sementara dialektika dipandang sebagai lebih rendah daripada demonstrasi, penting bagi filsafat adalah tidak kurang diakui. Sebuah contoh yang baik dari hal ini ditemukan dalam pencacahan al-Farabi dalam bukunya Kitab al-jadal (Buku tentang Dialektika) cara di mana dialektika melayani filsuf. Menurut al-Farabi, dialektika Hones keterampilan argumentatif, memperkenalkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan demonstratif khusus, peringatan pikiran dengan jelas prinsip-prinsip demonstrasi, membantu untuk mengembangkan keterampilan komunikatif dan menyediakan sarana untuk membantah menyesatkan. Dari kelima menggunakan, hanya keempat adalah eksternal dengan tujuan yang tepat dari filosofi dan lebih dekat dengan tugas-tugas yang biasanya disediakan untuk teologi dan agama. Yang empat lainnya berkaitan dengan belajar atau perolehan keterampilan yang benar-benar filosofis, bahkan jika mereka berada di luar bertujuan ketat demonstratif yang merupakan tujuan akhir filsafat.

Dalam kasus teori demonstrasi itu sendiri, ahli logika Islam yang terorganisir komentar mereka pada Analytics posterior sekitar definisi dan silogisme demonstratif sebagai sarana dengan mana kedua konseptualisasi dan persetujuan yang paling sempurna tercapai. Al-Farabi Kitab al-burhan (Buku tentang Demonstrasi) menawarkan ringkasan yang sangat baik dari pendekatan standar yang diambil oleh filsuf Islam untuk teori epistemologis demonstrasi dan tujuan nya. Sama seperti ia mengidentifikasi pernyataan kategoris sebagai perwujudan dari persetujuan yang sempurna pada tingkat proposisional, di sini al-Farabi mengidentifikasi kepastian demonstratif sebagai persetujuan lengkap atau sempurna pada tingkat kesimpulan silogisme.Selain itu, kepastian didefinisikan oleh al-Farabi dalam hal apa yang sekarang kita akan label pengetahuan 'orde kedua':


Kepastian adalah bagi kita untuk percaya, tentang kebenaran yang telah kita setuju, bahwa tidak mungkin sama sekali untuk apa yang kita yakini tentang hal ini akan berbeda dari apa yang kita percaya untuk menjadi, dan di samping ini untuk kita untuk percaya , tentang keyakinan kami, bahwa keyakinan lain tidak mungkin - dalam arti bahwa setiap kali beberapa keyakinan tentang keyakinan pertama adalah terbentuk, adalah mustahil untuk itu harus dinyatakan, dan seterusnya ad infinitum .
( Kitab al-burhan , di al-'Ajam dan Fakhry 1986-7, 4: 20 )

Kepastian membutuhkan tidak hanya pengetahuan dari sebuah kesimpulan, p , tapi mengetahui bahwa kita tahu p . Ini semacam kepastian al-Farabi panggilan 'kepastian yang diperlukan'. Namun, ia juga memungkinkan untuk non-diperlukan kepastian, yang memegang 'hanya pada waktu tertentu', dan dengan demikian dapat diterapkan untuk proposisi tentang makhluk hanya kontingen: 'Diperlukan kepastian dan eksistensi yang diperlukan konversi di entailment, untuk apa harus diverifikasi sebagai tertentu selalu ada '( Kitab al-burhan , di al-'Ajam dan Fakhry 1986-7, 4: 22 ).Sementara al-Farabi mengakui kedua varietas kepastian menjadi bentuk-bentuk persetujuan yang sempurna, dalam pandangan diperlukan kepastian sendirian memenuhi persyaratan yang ketat demonstrasi Aristotelian, karena sendiri akan berhubungan dengan objek yang tidak dapat lain daripada mereka.

Komentar al-Farabi pada utilitas dialektika, dikombinasikan dengan ekstensi tentang gagasan persetujuan sempurna melampaui batas-batas demonstrasi yang ketat dan diperlukan, menggambarkan luasnya keseluruhan teori para filsuf Islam argumentasi. Meskipun profesi mereka keunggulan paradigma demonstratif dalam filsafat, Aristoteles Islam mengakui berbagai bentuk argumen yang sah dan bermanfaat dan diakui pentingnya mereka sebagai alat filosofis yang mengarah ke pengetahuan yang tidak diketahui.

Lihat juga: Aristotelianisme dalam filsafat Islam , Aristoteles , al-Farabi , Ibnu Sina , bentuk logis , logika, kuno , Logika, Abad Pertengahan ,logika, filsafat , dalam filsafat Islam Makna ; SintaksDeborah L. HITAM
Copyright © 1998, Routledge.


Referensi dan bacaan lebih lanjutAbed, SB (1991) Aristoteles Logika dan Bahasa Arab di Al-Farabi , Albany, NY: State University of New York Press. (Sebuah pertimbangan yang sangat baik dari isu sentral dalam filsafat linguistik al-Farabi.)

Hitam, DL (1990) Logika dan Aristoteles 'Retorika' dan 'Poetics' di Filsafat Arab Abad Pertengahan , Leiden: Brill. (Membahas penafsiran teks-teks ini sebagai karya Aristoteles logika.)

* Al-Farabi ( c. 870-950) Ihsa 'al-'Ulum (Enumerasi Ilmu) , ed. U. Amin, Kairo: Anglo-Égyptienne Librairie, edisi 3, 1968. (Pekerjaan utama al-Farabi, di mana ia menyelidiki dalam bentuk rinci pengetahuan yang berbeda.)

* Al-Farabi ( c. 870-950) Buku al-Burhan (Buku tentang Demonstrasi) , dalam R. al-Ajam dan M. Fakhry (EDS), al-mantiiq 'inda al-Farabi , Beirut: Dar el-Mashreq, 1986-7, 4 jilid. ( Al-mantiiq adalah kumpulan tulisan al-Farabi pada logika.)

* Al-Farabi ( c. 870-950) Aristutalis Falsafah (Filsafat Aristoteles) , trans. M. Mahdi di Alfarabi Filsafat dari Plato dan Aristoteles , Ithaca, NY: Cornell University Press, 1969. (Para Aristutalis Falsafah berisi akun al-Farabi tentang Organon.)

* Al-Farabi ( c. 870-950) Syarah al-'ibarah (Komentar Agung tentang De interpretatione ), trans. FW Zimmerman, Komentar Al-Farabi dan risalah pendek pada Aristoteles 'Interpretatione De' , Oxford: Oxford University Press, 1981. (Sangat belajar pengenalan yang menetapkan teks Al-Farabi terhadap latar belakang tradisi Yunani dan Arab dalam logika.)

Al-Farabi ( c. 870-950) Komentar pada Isagog , ed. dan trans. DM Dunlop, 'Eisagoge Al-Farabi ', Triwulanan Islam 3, 1956: 117-38.(Terjemahan Excellent teks ini logis penting, mengingat pentingnya Isagog untuk periode logika.)

Al-Farabi ( c. 870-950) Risalah tentang Logika, ed. dan trans. DM Dunlop, 'Pengenalan al-Farabi Risalah pada Logika ' , Triwulanan Islam 3, 1957: 224-35. (Ringkasan Singkat pandangannya tentang logika, tapi berpengaruh.)

Al-Farabi ( c. 870-950) Pengenalan Bagian pada Logic, ed. dan trans. DM Dunlop, 'Bagian Pendahuluan Al-Farabi pada Logika' , Triwulanan Islam 2, 1955: 264-82. (Terjemahan lain bagian pada logika, yang dirancang oleh al-Farabi sebagai propadeutic untuk mempelajari filsafat itu sendiri.)

Al-Farabi ( c. 870-950) Parafrase pada Kategori , ed. dan trans. DM Dunlop, 'saduran Al-Farabi dari Kategori Aristoteles ', Triwulanan Islam4, 1958-9: 168-97; 5, 1958-9: 21-54. (Sebuah ringkasan singkat dari apa yang al-Farabi mengambil poin utama dari Kategori untuk menjadi.)

Al-Farabi ( c. 870-950) Komentar di Sebelum Analytics , trans. N. Rescher, Komentar Pendek Al-Farabi pada 'Sebelum Analytics' Aristoteles, Pittsburgh, PA: Pittsburgh University Press, 1963. (Lain Aristotelian komentar al-Farabi.)

Galston, M. (1981) 'Al-Farabi pada Teori Aristoteles tentang Demonstrasi' , dalam P. Morewedge (ed.) Filsafat Islam dan Tasawuf , Delmar, NY: Caravan Books, 23-34. (Akun yang jelas dari bagaimana al-Farabi mengembangkan gagasan Aristoteles tentang penalaran demonstratif, bentuk terbaik dari argumentasi.)

Gyekye, D. (1971) 'Persyaratan Prima intentio dan Secunda intentio di Logika Arab ' , Speculum 46: 32-48. (Penjelasan logis dua istilah kunci, menghubungkan mereka untuk setara mereka Yunani dan Latin dan menjelaskan bagaimana mereka digunakan dalam logika Al-Farabi.)

* Ibnu 'Adi, Yahya (893-974) Maqalah tabyin al-FasL fi al-mantiiq bayna al-Falsafi sinaatay wa-al-al-arab nahw (risalah pada Perbedaan antara logika filosofis dan Seni Uni tata bahasa) , ed. G. Endress, Jurnal Sejarah Sains Arab , 2 1978: 192-81. (Bekerja Berpengaruh dari tahun-tahun awal ketika Divisi antara logika dan bahasa masih sangat kontroversial.)

Ibnu Rusyd ( c. 1170) Komentar pendek pada Aristoteles, ed. dan trans. CE Butterworth, Averroes 'Tiga Tafsiran Pendek pada Aristoteles' Topik ',' Retorika ', dan' Poetics ' , Albany, NY: State University of New York Press, 1977. (Komentar singkat Ibnu Rusyd pada bidang pemikiran yang menurutnya kurang kuat logis daripada alasan demonstratif dan dialektis, namun yang masih mewujudkan teknik logis dalam beberapa bentuk.)

Ibnu Rusyd ( c. 1174) Komentar Tengah pada Isagog , trans. HA Davidson, 'Komentar Tengah pada Porfiri yang' Averroes monofisit 'dan Aristoteles' Categoriae ' , Cambridge, MA: Abad Pertengahan Akademi Amerika, 1969. (Sebuah komentar tengah pada teks logis penting oleh Porphyry, yang penting dalam menghubungkan digunakan Ibnu Rusyd bahasa logis dengan pendahulunya Islamnya.)

* Ibnu Rusyd ( c. 1174) Komentar Tengah pada Kategori dan De interpretatione , trans. CE Butterworth, 'Komentar Tengah pada Aristoteles' Averroes Kategori 'dan' De interpretatione ' , Princeton, NJ: Princeton University Press, 1983. (Komentar Ibn Rusyd tengah pada dua teks Aristotelian yang penting untuk apa mereka menunjukkan bagaimana dia mengembangkan beberapa istilah kunci logika filosofisnya.)

* Ibnu Sina (980-1037) al-wa-'l Isharat-tanbihat (Keterangan dan peringatan) , Bagian Satu trans. SC Inati, Keterangan dan teguran, Bagian Satu: Logika , Toronto: Institut Studi Kepausan Abad Pertengahan, 1984. (Bagian logika al-Isharat wal-tanbihat .)

* Ibnu Sina ( c. 1014-1020) al-Shifa '(Penyembuhan) , al-Ilahiyyat (Teologi) , vol. 1 (Buku 1-5) ed. G. Anawati dan S. Zayed, vol. 2 (Buku 60-10) ed. S. Kecil, Moussa MY, dan S. Zayed, Kairo: Organisasi Générale des Gouvernementales Imprimerie, 1960. (Bagian dari al-Shifa ' yang berhubungan dengan Masalah Teologi.)

* Ibnu Sina ( c. 1014-1020) al-Shifa '(Penyembuhan) , al-Madkhal (Isagog ) , ed. G. Anawati, M. El-Khodeiri dan F. al-Ahwani, rev. I.Madkour, Kairo: Al-Matba'ah al-Amiriyyah, 1952. (Ibn Sina of Porphyry yang Isagog , memberinya Kesempatan untuk menentukan ia Memberikan Arti ke bahasa logis.)

Inati, S. (1996) 'Logika' , dalam SH Nasr dan O. Leaman, Sejarah Filsafat Islam , London: Routledge, ch. 48, 802-23. (Analisis konsep utama dalam logika Islam, dan peran logika dalam filsafat itu sendiri.)

Lameer, J. (1994) Al-Farabi dan Aristoteles Syllogistics: Teori dan Praktek Yunani Islam , Leiden: Brill. (Sebuah studi menyeluruh dari tulisan-tulisan logika al-Farabi dan sumber-sumber kuno mereka.)

Madkour, I. (1969) L'Organon d'Aristoteles dans le monde arabe (The Organon Aristotle di Dunia Arab) , 2 edisi, Paris: Vrin. (Sebuah gambaran yang berguna dari bagian logika Ibnu Sina Shifa '.)

Mahdi, M. (1970) 'Bahasa dan Logika dalam Klasik Islam " , di GE von Grunebaum (ed.), Logika dalam Kebudayaan Islam Klasik , Wiesbaden: Harrasowitz, 51-83. (Sebuah rekening Debat Antara Al-Sirafi dan Abu Bishr Matta.)

Margoliouth, DS (1905) 'Pembahasan Abu Bishr Matta Antara dan Abu Sa'id al-Sirafi tentang Kemuliaan Logika dan Grammar' , Journal of Royal Asiatic Masyarakat : 79-129 (Sebuah terjemahan dari perdebatan yang terkenal; untuk akun lebih lengkap lihat juga al-Mahdi tahun 1970.)

Marmura, ME (1963) Studi dalam Sejarah Arab Logic , Pittsburgh, PA: University of Pittsburgh Press. (Sebuah koleksi studi yang tidak merata dan terjemahan tetapi dengan beberapa item yang berguna.)

Marmura, ME (1975) 'Sikap Ghazali terhadap Ilmu Sekuler dan Logika' , di GF Hourani (ed.) Essays on Filsafat Islam , Albany, NY: State University of New York Press.

Rescher, N. (1964) Perkembangan Logika Arab , Pittsburgh, PA: University of Pittsburgh Press. (Demonstrasi bahwa meskipun oposisi untuk filsafat, al-Ghazali adalah seorang pendukung antusias dari logika. Agak tanggal tetapi masih berguna.)

Rescher, N. (1980) 'Avicenna pada Divisi Sciences di monofisit -nya Shifa ' ' , Jurnal untuk Sejarah Sains Arab 4: 239-50. (Analisis Sangat jelas dari teks.)

Sabra, AI (1980) 'Avicenna pada subyek Logika' , Jurnal Filsafat 77: 757-64. (Analisis Excellent pendekatan Ibnu Sina dengan logika.)

Wolfson, HA (1973) 'Persyaratan Tasawwur dan Tasdiq dalam Filsafat Arab dan bahasa Yunani, Latin dan Ibrani Setara ' , di I. Twersky dan GH Williams (eds) Studi dalam Sejarah dan Filsafat Agama , Cambridge, MA: Harvard University Press, vol. 1, 478-92. (Analisis penting dari perbedaan ini penting dalam logika Islam, dengan diskusi asal dalam Filsafat yang lebih luas.)

Zimmermann, FW (1972) 'Beberapa Pengamatan pada al-Farabi dan Tradisi logis' , dalam SM Stern et al. (eds) Filsafat Islam dan Tradisi Klasik , Oxford: Oxford University Press, 517-46. (Diskusi tentang peran al-Farabi yang diputar dalam membangun gagasan logika sebagai penyelidikan teoritis terpisah.)


Minggu, 25 September 2011

Ibnu Sina, Abu 'Ali al-Husain (980-1037)

Ibnu Sina (Avicenna) adalah salah satu filsuf terkemuka dalam tradisi Islam Abad Pertengahan Helenistik yang juga mencakup al-Farabi dan Ibn Rusyd. Teori filsafat Nya adalah rekening yang komprehensif, rinci dan rasionalistik sifat Allah dan Menjadi, di mana ia menemukan tempat yang sistematis bagi dunia korporeal, semangat, wawasan, dan varietas pemikiran logis termasuk dialektika, retorika dan puisi.
Pusat untuk filsafat Ibnu Sina adalah konsep tentang realitas dan penalaran. Alasan, dalam skema itu, dapat memungkinkan kemajuan melalui berbagai tingkat pemahaman dan akhirnya dapat menyebabkan Tuhan, kebenaran tertinggi. Dia menekankan pentingnya memperoleh pengetahuan, dan mengembangkan teori berbasis pengetahuan pada empat fakultas: pengertian persepsi, retensi, imajinasi dan estimasi. Imajinasi memiliki peran utama dalam pemikiran, karena dapat membandingkan dan membuat gambar yang memberikan akses ke universal. Sekali lagi obyek utama pengetahuan adalah Tuhan, intelek murni.
Dalam metafisika, Ibnu Sina membuat perbedaan antara esensi dan eksistensi; intinya hanya mempertimbangkan hakikat segala sesuatu, dan harus dianggap terpisah dari kesadaran mental dan fisik. Perbedaan ini berlaku untuk semua hal kecuali Allah, yang Ibnu Sina mengidentifikasi sebagai penyebab pertama dan karenanya baik esensi dan eksistensi. Dia juga berpendapat bahwa jiwa adalah inkorporeal dan tidak dapat dihancurkan. Jiwa, dalam pandangannya, adalah agen dengan pilihan di dunia ini antara baik dan jahat, yang pada gilirannya menyebabkan hadiah atau hukuman.
Referensi kadang-kadang dilakukan untuk mistisisme Ibnu Sina seharusnya, tapi ini tampaknya didasarkan pada salah baca oleh para filsuf Barat bagian dari karyanya. Sebagai salah satu praktisi yang paling penting dari filsafat, Ibnu Sina dilakukan pengaruh yang kuat atas kedua filosof Islam dan Eropa Abad Pertengahan. Karyanya adalah salah satu target utama serangan al-Ghazali tentang pengaruh Helenistik dalam Islam. Dalam terjemahan Latin, karya-karyanya mempengaruhi banyak filsuf Kristen, terutama Thomas Aquinas.
1.     Biografi
4.     Metafisika
5.     Keberadaan Tuhan
6.     Jiwa
9.     Link ke Barat
Ibnu Sina lahir di ah 370 / iklan 980 dekat Bukhara di Asia Tengah, di mana ayahnya diatur sebuah desa di salah satu perkebunan kerajaan. Pada tiga belas tahun, Ibnu Sina memulai studi kedokteran yang mengakibatkan 'dokter dibedakan ... membaca ilmu kedokteran di bawah [itu] "(Sirat al-Syaikh al-ra'is (Kehidupan Ibnu Sina): 27). Keahlian medis membawanya ke perhatian Sultan Bukhara, Nuh bin Mansur, yang ia diperlakukan berhasil, sebagai akibatnya ia diberi izin untuk menggunakan perpustakaan sultan dan manuskrip langka, yang memungkinkan dia untuk melanjutkan penelitian ke mode pengetahuan .
Ketika sultan meninggal, pewaris tahta, "tanya Ali bin Syams al-Dawlah, Ibnu Sina melanjutkan seperti wazir, namun filsuf adalah negosiasi untuk bergabung dengan kekuatan lain putra raja terlambat, Ala al-Dawlah, dan sehingga bersembunyi. Selama waktu ini ia terdiri risalah filosofis utama,Kitab al-Shifa '(Buku Penyembuhan) , rekening komprehensif belajar yang berkisar dari logika dan matematika untuk metafisika dan akhirat.Sementara ia menulis bagian tentang logika Ibnu Sina ditangkap dan dipenjarakan, tetapi dia melarikan diri ke Isfahan, menyamar sebagai seorang sufi, dan bergabung Ala al-Dawlah. Sementara dalam pelayanan terakhir ia menyelesaikan al-Shifa ' dan menghasilkan Kitab al-Najat (Kitab Keselamatan) , sebuah ringkasan dari al-Shifa ' . Ia juga menghasilkan setidaknya dua karya utama pada logika: satu, al-mantiiq , diterjemahkan sebagai Logika proposisional Ibnu Sina , adalah komentar tentang Aristoteles Sebelum Analytics dan merupakan bagian dari al-Shifa ' , yang lain, al-Isharat wa- 'l-tanbihat (Keterangan dan peringatan) , tampaknya akan ditulis dalam 'modus indikatif', di mana pembaca harus berpartisipasi dengan bekerja di luar langkah-langkah terkemuka dari tempat dinyatakan kesimpulan yang diusulkan. Ia juga menghasilkan sebuah risalah pada definisi dan ringkasan ilmu-ilmu teoritis, bersama dengan sejumlah karya psikologis, agama dan lainnya, yang terakhir mencakup karya tentang astronomi, kedokteran filologi, dan zoologi, serta puisi dan sebuah karya alegoris, Hayy bin Yaqzan (Anak Hidup dari Waspada) . Penulis biografinya juga menyebutkan banyak karya pendek pada logika dan metafisika, dan sebuah buku tentang 'kiamat Fair yang telah hilang ketika kekayaan pangeran nya mengalami giliran. Karya Ibn Sina filosofis dan medis dan keterlibatan politiknya terus sampai kematiannya.
Otobiografi Ibnu Sina paralel bekerja alegoris nya, Hayy bin Yaqzan . Kedua memperjelas bagaimana mungkin bagi individu sendiri untuk sampai pada kebenaran tertinggi tentang realitas, sedang dan Tuhan. Autobiografi menunjukkan bagaimana Ibnu Sina lebih atau kurang belajar sendiri, meskipun dengan jenis-jenis tertentu membantu di saat-saat penting, dan terus melalui berbagai tingkat kecanggihan sampai ia tiba di kebenaran utama.
Kemajuan seperti itu dimungkinkan karena konsepsi Ibnu Sina realitas dan penalaran. Dia berpendapat bahwa Tuhan, prinsip semua eksistensi, adalah murni akal, dari siapa hal-hal lain yang sudah ada seperti pikiran, tubuh dan benda-benda lainnya berasal semua, dan karena itu kepada siapa mereka semua selalu berhubungan. Bahwa kebutuhan, setelah itu sepenuhnya dipahami, adalah rasional dan memungkinkan existents untuk disimpulkan dari satu sama lain dan, akhirnya, dari Allah. Akibatnya, keseluruhan inteligensi terstruktur syllogistically dan pengetahuan manusia terdiri dari penerimaan pikiran dan pemahaman yang dimengerti. Karena pengetahuan terdiri menggenggam inteligensi syllogistically terstruktur, membutuhkan penggunaan penalaran untuk mengikuti hubungan antara inteligensi. Di antaranya adalah prinsip-prinsip pertama inteligensi yang mencakup kedua konsep seperti 'ada', 'hal' dan 'yang diperlukan', yang membentuk kategori, dan kebenaran logika, termasuk tokoh pertama syllogistics, yang semuanya dasar, primitif dan jelas. Mereka tidak dapat dijelaskan lebih lanjut karena semua hasil penjelasan dan berpikir hanya atas dasar mereka. Aturan logika juga penting untuk pembangunan manusia.
Berdiri Ibnu Sina pada sifat dasar dari konsep kategoris dan bentuk logis berikut fitur utama pemikiran Aristoteles di Sebelum Analytics (lihatAristoteles § § 4-7). Meminjam dari Aristoteles, ia juga single keluar kapasitas untuk tindakan mental di mana MahaMengetahui secara spontan hits pada jangka tengah silogisme. Karena argumen rasional melanjutkan syllogistically, kemampuan untuk memukul pada jangka menengah adalah kemampuan untuk bergerak maju dengan argumen melihat bagaimana tempat yang diberikan menghasilkan kesimpulan yang tepat. Hal ini memungkinkan orang memiliki kemampuan untuk mengembangkan argumen, untuk mengenali hubungan antara silogisme inferensial. Selain itu, karena realitas terstruktur syllogistically, kemampuan untuk memukul pada jangka menengah dan untuk mengembangkan argumen sangat penting untuk pengetahuan bergerak dari realitas ke depan.
Ibnu Sina berpendapat bahwa penting untuk mendapatkan pengetahuan. Pegang dari intelligibles menentukan nasib jiwa rasional di akhirat, dan karena itu sangat penting untuk kegiatan manusia. Ketika intelek manusia menangkap inteligensi ini datang ke dalam kontak dengan Intelek Aktif, tingkat sedang yang berasal akhirnya dari Allah, dan menerima 'penembusan ilahi'. Orang mungkin diperintahkan sesuai dengan kapasitas mereka untuk memperoleh pengetahuan, dan dengan demikian dengan milik mereka dan pengembangan kapasitas untuk memukul pada jangka menengah.Pada titik tertinggi adalah nabi, yang mengetahui inteligensi sekaligus, atau hampir jadi. Dia memiliki jiwa rasional murni dan dapat mengetahui inteligensi dalam urutan yang tepat silogisme mereka, termasuk istilah tengah mereka. Di ujung lain terletak orang kurang murni dalam kapasitas untuk mengembangkan argumen. Kebanyakan orang di antara ekstrim ini, tetapi mereka dapat meningkatkan kapasitas mereka untuk menangkap jangka menengah dengan mengembangkan temperamen seimbang dan kemurnian jiwa (lihat Logika dalam filsafat Islam § 1 ).
Dalam kaitannya dengan perdebatan yang lebih tua mengenai lingkup masing-masing tata bahasa dan logika, Ibnu Sina berpendapat bahwa karena penawaran logika dengan konsep-konsep yang dapat diabstraksikan dari bahan yang masuk akal, juga lolos kontinjensi yang terakhir. Bahasa dan tata bahasa mengatur materi yang masuk akal dan karena itu memiliki domain yang berbeda, memang, berbagai bahasa dan aturan operasi mereka, genggaman mereka bahan masuk akal, yang juga diartikulasikan berbeda-beda (lihat Bahasa, filsafat ). Namun demikian, bahasa menyediakan konsep-konsep yang diabstraksikan operasi diatur oleh logika, namun jika bahasa berhubungan dengan kontinjensi, tidak jelas bagaimana dapat memahami atau membuat tersedia objek logika. Pada kali, misalnya dalam al-Isharat , Ibnu Sina menyatakan bahwa bahasa umumnya berbagi struktur.
Dalam teori pengetahuan, Ibnu Sina mengidentifikasi kemampuan mental jiwa dalam hal fungsi epistemologis mereka. Sebagai pembahasan logika dalam § 2 telah disarankan, pengetahuan dimulai dengan abstraksi. Persepsi akal, yang sudah mental, adalah bentuk dari objek yang dipersepsikan (lihat Rasa dan referensi § 1 ). Persepsi akal menanggapi tertentu dengan bentuk materi yang diberikan dan kecelakaan. Sebagai acara mental, menjadi persepsi obyek bukan obyek itu sendiri, persepsi terjadi dalam tertentu. Untuk menganalisis tanggapan ini, mengklasifikasikan fitur formal dalam abstraksi dari kecelakaan materi, kita harus baik menyimpan gambar yang diberikan oleh sensasi dan juga memanipulasi mereka dengan cara melepas bagian dan menyelaraskan mereka sesuai dengan sifat mereka formal dan lainnya. Namun, retensi dan manipulasi adalah fungsi epistemologis yang berbeda, dan tidak dapat bergantung pada fakultas psikologis yang sama, sehingga Ibnu Sina membedakan fakultas hubungan dan manipulasi yang sesuai dengan fungsi-fungsi epistemologis beragam (lihat Epistemologi dalam filsafat Islam § 4).
Ibnu Sina mengidentifikasi fakultas dpt menyimpan sebagai 'representasi' dan biaya imajinasi dengan tugas reproduksi dan memanipulasi gambar.Untuk konsep dan pengalaman kami untuk memesan sesuai dengan kualitas nya, kita harus memiliki dan mampu reinvoke gambar dari apa yang kami alami tetapi sekarang tidak ada. Untuk ini kita membutuhkan sensasi dan representasi setidaknya, di samping itu, untuk memesan dan mengklasifikasikan isi representasi, kita harus mampu membedakan, memisahkan dan bergabung kembali bagian-bagian gambar, dan karena itu harus memiliki imajinasi dan akal. Untuk berpikir tentang bendera hitam kita harus dapat menganalisis warna, memisahkan kualitas ini dari orang lain, atau bagian dalam gambar dari gambar lain, dan mengklasifikasikan dengan hal-hal hitam lainnya, sehingga menunjukkan bahwa konsep hitam berlaku untuk semua seperti objek dan gambar mereka. Imajinasi melakukan manipulasi ini, memungkinkan kita untuk menghasilkan gambar dari obyek yang kita belum melihat sebenarnya dari gambar hal-hal yang kita alami, dan dengan demikian juga menghasilkan gambar untuk inteligensi dan nubuat.
Selain persepsi akal, retensi dan imajinasi, Ibnu Sina menempatkan estimasi ( WAHM ). Ini adalah fakultas untuk mencerap non-rasional 'niat yang ada dalam objek yang masuk akal individu. Domba lari serigala karena memperkirakan bahwa binatang dapat melakukannya bahaya; estimasi ini lebih dari representasi dan imajinasi, karena itu termasuk niat yang tambahan untuk bentuk yang dirasakan dan disarikan dan konsep binatang.Akhirnya, mungkin ada fakultas yang mempertahankan isi WAHM , makna gambar. Ibnu Sina juga bergantung pada fakultas akal sehat, yang melibatkan kesadaran kerja dan produk dari semua fakultas lainnya, yang interrelates fitur ini.
Dari fakultas, imajinasi memiliki peran utama dalam pemikiran. Perbandingan dan konstruksi gambar dengan makna yang diberikan memberikan akses ke universal dalam yang mampu berpikir yang universal dengan memanipulasi gambar (lihat Universal ). Namun, Ibnu Sina menjelaskan proses menggenggam yang universal, ini munculnya universal dalam pikiran manusia, sebagai hasil dari suatu tindakan pada pikiran oleh Intelek Aktif.Kecerdasan ini adalah yang terakhir dari sepuluh intelek kosmik yang berdiri di bawah Tuhan. Dengan kata lain, manipulasi gambar tidak dengan sendirinya mendapatkan sebuah pemahaman universal begitu banyak seperti melatih pikiran untuk berpikir universal ketika mereka diberikan kepada pikiran oleh Intelek Aktif. Setelah tercapai, proses menjalani dalam pelatihan menginformasikan pikiran sehingga yang terakhir dapat hadir langsung ke Intelek Aktif bila diperlukan. Akses langsung semacam ini penting karena jiwa tidak memiliki setiap fakultas untuk mempertahankan universal dan karena itu berulang kali membutuhkan akses segar untuk Intelek Aktif.
Sebagai titik tertinggi di atas Akal Aktif, Tuhan, intelek murni, juga merupakan objek tertinggi pengetahuan manusia. Semua pengalaman akal, logika dan fakultas-fakultas jiwa manusia karena itu diarahkan pada menangkap struktur dasar realitas sebagaimana berasal dari sumber itu dan, melalui berbagai tingkat yang turun ke Intelek Aktif, menjadi tersedia bagi pemikiran manusia melalui akal atau, dalam kasus nabi, intuisi. Dengan konsepsi ini, maka, ada hubungan erat antara logika, pikiran, pengalaman, memahami struktur akhir dari realitas dan pemahaman tentang Allah. Sebagai intelek tertinggi dan paling murni, Tuhan adalah sumber semua hal yang ada di dunia. Yang kedua berasal dari yang intelek murni tinggi, dan mereka diperintahkan menurut sebuah keharusan bahwa kita dapat memahami dengan menggunakan pemikiran konseptual rasional (lihat Neoplatonisme dalam filsafat Islam ). Interkoneksi ini menjadi lebih jelas dalam metafisika Ibnu Sina.
Metafisika meneliti keberadaan seperti itu, "eksistensi absolut '( al-wujud al-mutlaq ) atau eksistensi sejauh itu ada. Ibnu Sina bergantung pada satu sisi pada perbedaan dalam Aristoteles Sebelum Analytics antara prinsip-prinsip dasar untuk pemahaman ilmiah atau matematika dunia, termasuk empat penyebab, dan di sisi lain subjek metafisika, penyebab utama atau akhir dari semua hal - Tuhan. Dalam kaitannya dengan isu pertama, Ibnu Sina mengakui bahwa observasi keteraturan di alam gagal untuk membangun kebutuhan mereka. Paling-paling itu evinces adanya hubungan hal seiring antara peristiwa. Untuk menetapkan keharusan terlibat dalam kausalitas, kita harus mengakui bahwa keteraturan hanya kebetulan akan mungkin terjadi selalu, atau bahkan sama sekali, dan tentu saja tidak dengan keteraturan bahwa peristiwa dapat menunjukkan (lihat Kausalitas dan kebutuhan dalam pemikiran Islam ). Dengan demikian, kita dapat berharap bahwa keteraturan tersebut harus merupakan hasil diperlukan sifat penting dari objek yang bersangkutan.
Dalam mengembangkan perbedaan antara prinsip-prinsip dan subjek metafisika, Ibnu Sina membuat perbedaan lain antara esensi dan eksistensi, satu yang berlaku untuk segala sesuatu kecuali Allah. Esensi dan eksistensi yang berbeda dalam bahwa kita tidak dapat menyimpulkan dari esensi sesuatu yang harus ada (lihat Keberadaan ). Esensi hanya mempertimbangkan hakikat segala sesuatu, dan sementara ini mungkin diwujudkan dalam situasi nyata tertentu atau sebagai item dalam pikiran dengan kondisi yang menyertainya, namun esensinya dapat dipertimbangkan untuk dirinya sendiri selain itu realisasi mental dan fisik. Esens ada dalam supra-kecerdasan manusia dan juga dalam pikiran manusia. Selanjutnya, jika esensi dari keberadaan berbeda dalam cara Ibnu Sina mengusulkan, maka baik keberadaan dan non-eksistensi dari esensi mungkin terjadi, dan masing-masing membutuhkan penjelasan.
Perbedaan di atas masuk ke dalam subyek utama metafisika, yaitu Allah dan bukti keberadaannya. Para sarjana mengusulkan bahwa yang paling rinci dan komprehensif argumen Ibnu Sina untuk keberadaan Allah terjadi di bagian 'Metafisika' dari al-Shifa ' ( Gutas 1988 ; Mamura 1962 ; Morewedge 1972 ). Kita tahu dari Kategori Aristoteles bahwa keberadaan tersebut penting atau mungkin. Jika sebuah eksistensi hanya mungkin, maka kita bisa berpendapat bahwa hal itu akan mengandaikan keberadaan yang diperlukan, karena sebagai eksistensi mungkin semata, itu tidak perlu ada dan akan membutuhkan beberapa faktor tambahan untuk membawa tentang keberadaannya daripada non-eksistensinya. Artinya, keberadaan mungkin, agar ada, harus telah diharuskan oleh sesuatu yang lain. Namun sesuatu yang lain tidak dapat lain hanya mungkin karena keberadaan kedua akan sendiri berdiri membutuhkan beberapa necessitation lain untuk mewujudkannya, atau akan mengakibatkan kemunduran yang tak terbatas tanpa menjelaskan mengapa keberadaan sekadar mungkin tidak ada. Dari titik ini, Ibnu Sina mengusulkan bahwa penyebab penting dan efeknya akan hidup berdampingan dan tidak dapat menjadi bagian dari rantai tak terbatas; perhubungan sebab dan akibat harus memiliki sebab pertama, yang ada tentu untuk dirinya sendiri: Allah (lihat Tuhan, argumen untuk keberadaan § 1 ).
Dari bukti keberadaan Allah, Ibnu Sina melanjutkan dengan menjelaskan bagaimana dunia dan berasal dari Allah urutannya. Sedangkan Aristoteles (§ 16) sendiri tidak berhubungan Intelek Aktif yang mungkin tersirat dalam Di Jiwa III dengan penyebab, pertama-pemikiran yang universal ditemukan di dalam Kitab XII Metafisika nya, kemudian komentator karyanya (misalnya, Alexander dari Aphrodisias ) mengidentifikasi dua, membuat Intelek Aktif, prinsip yang membawa tentang perjalanan intelek manusia dari kemungkinan untuk aktualitas, ke penyebab pertama alam semesta. Bersama dengan hal ini adalah bukti keberadaan Allah yang melihat dia tidak hanya sebagai penggerak utama tetapi juga sebagai ada yang pertama. Diri Allah-pengetahuan terdiri dalam tindakan kekal yang menghasilkan atau membawa tentang kecerdasan pertama atau kesadaran. Ini kecerdasan pertama conceives atau cognizes perlunya keberadaan Allah, kebutuhan eksistensinya sendiri, dan keberadaannya sendiri sebagai mungkin. Dari tindakan-tindakan pembuahan, existents lain muncul: kecerdasan lain, jiwa surgawi dan tubuh surgawi, masing-masing. Yang terakhir merupakan lingkup pertama dari alam semesta, dan ketika kecerdasan kedua terlibat dalam tindakan kognitif sendiri, itu merupakan tingkat bintang tetap serta lain tingkat kecerdasan yang, pada gilirannya, menghasilkan kecerdasan lain dan tingkat lain dari tubuh. Intelijen seperti terakhir yang berasal dari tindakan berturut-turut mengetahui adalah Akal Aktif, yang menghasilkan dunia kita. Emanasi tersebut tidak dapat melanjutkan tanpa batas, walaupun yang dapat melanjutkan dari intelijen, tidak setiap kecerdasan yang mengandung aspek yang sama akan menghasilkan efek yang sama. Kecerdasan berturut-turut telah berkurang daya, dan intelek aktif, berdiri kesepuluh dalam hierarki, tidak lagi memiliki kekuatan untuk memancarkan makhluk kekal.
Tak satu pun dari proposal oleh Ibnu Sina memberikan alasan untuk menyangka bahwa ia berkomitmen untuk mistisisme (untuk pandangan yang berlawanan, lihat Mistik filsafat dalam Islam § 1 ). Sehingga yang disebut 'filsafat Timur', biasanya dipahami mengandung doktrin mistik, tampaknya menjadi sebuah penemuan sepenuhnya Barat yang selama dua ratus tahun terakhir telah dibaca ke dalam karya Ibn Sina (lihat Gutas 1988). Namun demikian, Ibnu Sina menggabungkan Aristotelianisme dengan kepentingan agama, berusaha untuk menjelaskan nubuat memiliki dasar dalam keterbukaan langsung dari pikiran nabi untuk Intelek Aktif, melalui mana hal tengah silogisme, yang silogisme diri mereka sendiri dan kesimpulan mereka menjadi tersedia tanpa prosedur bekerja keluar bukti. Kadang-kadang Nabi keuntungan wawasan melalui imajinasi, dan mengungkapkan pandangannya dalam hal figuratif. Hal ini juga mungkin bagi imajinasi untuk mendapatkan kontak dengan jiwa bola tinggi, yang memungkinkan Nabi untuk membayangkan masa depan dalam beberapa bentuk figuratif. Mungkin juga ada varietas lain nubuat.
Dalam semua urusan dengan nubuatan, pengetahuan dan metafisika, Ibnu Sina mengambil bahwa entitas yang terlibat adalah jiwa manusia. Dalam al-Shifa ' , ia mengusulkan bahwa jiwa harus menjadi substansi inkorporeal karena pikiran intelektual sendiri terpisahkan. Agaknya ia berarti bahwa pemikiran yang koheren, yang melibatkan konsep dalam beberapa urutan tentu, tidak dapat ada dalam bagian intelek yang berbeda dan masih tetap berpikir logis tunggal. Untuk menjadi satu kesatuan yang koheren, sebuah pikiran yang koheren harus dimiliki oleh kecerdasan tunggal yang bersatu daripada, misalnya, satu intelek memiliki satu bagian dari pemikiran, jiwa lain bagian terpisah dari pikiran dan kecerdasan ketiga belum memiliki bagian yang berbeda sepertiga dari pikiran yang sama. Dengan kata lain, sebuah pikiran yang koheren terpisahkan dan dapat hadir sebagai semacam ini hanya untuk intelek yang juga sama bersatu atau terpisahkan. Namun, materi korporeal habis dibagi, sehingga kecerdasan terbagi yang diperlukan untuk berpikir koheren tak dapat korporeal. Karena itu harus inkorporeal, karena mereka adalah hanya dua kemungkinan yang tersedia.
Untuk Ibnu Sina, bahwa jiwa adalah inkorporeal menyiratkan juga bahwa itu harus abadi: pembusukan dan penghancuran tubuh tidak mempengaruhi jiwa. Pada dasarnya ada tiga hubungan dengan tubuh jasmani yang juga mungkin mengancam jiwa, tetapi, Ibnu Sina mengusulkan, tak satu pun dari hubungan ini berlaku dari jiwa inkorporeal, yang karenanya harus abadi. Jika tubuh adalah penyebab keberadaan jiwa, atau jika tubuh dan jiwa tergantung satu sama lain tentu untuk keberadaan mereka, atau jika jiwa logis tergantung pada tubuh, maka kehancuran atau pembusukan tubuh akan menentukan eksistensi jiwa . Namun, tubuh bukanlah penyebab jiwa dalam salah satu dari empat indra sebab, keduanya adalah zat, korporeal dan inkorporeal, dan karena itu sebagai zat mereka harus independen satu sama lain, dan perubahan tubuh dan meluruh sebagai akibat dari independennya penyebab dan zat, bukan karena perubahan dalam jiwa, dan karena itu tidak berarti bahwa setiap perubahan dalam tubuh, termasuk kematian, harus menentukan eksistensi jiwa. Bahkan jika munculnya jiwa manusia menyiratkan peran bagi tubuh, peran hal ini korporeal hanya kebetulan.
Untuk penjelasan bahwa penghancuran tubuh tidak memerlukan atau menyebabkan kehancuran jiwa, Ibnu Sina menambahkan argumen bahwa penghancuran jiwa tidak dapat disebabkan oleh apa pun. Obyek yang sudah ada komposit tunduk pada kehancuran; Sebaliknya, jiwa sebagai makhluk inkorporeal sederhana tidak tunduk pada kehancuran. Selain itu, karena jiwa tidak senyawa materi dan bentuk, dapat dihasilkan tetapi tidak menderita kehancuran yang menimpa segala sesuatu yang dihasilkan yang terdiri dari bentuk dan materi. Demikian pula, bahkan jika kita bisa mengidentifikasi jiwa sebagai senyawa, untuk itu untuk memiliki kesatuan bahwa senyawa sendiri harus terintegrasi sebagai satu kesatuan, dan prinsip kesatuan jiwa harus sederhana, dan, sejauh prinsip melibatkan komitmen ontologis untuk eksistensi, yang sederhana dan inkorporeal karena itu harus dihancurkan (lihat Jiwa dalam filsafat Islam ).
Dari kelanggengan jiwa timbul pertanyaan tentang karakter jiwa, apa yang jiwa mungkin mengharapkan di dunia yang berasal dari Allah, dan apa posisinya akan berada di dalam sistem kosmik. Sejak Ibnu Sina menyatakan bahwa jiwa mempertahankan identitas mereka ke keabadian, kita juga mungkin bertanya tentang nasib mereka dan bagaimana hal ini ditentukan. Akhirnya, karena Ibnu Sina juga ingin menganggap hukuman dan ganjaran kepada jiwa-jiwa seperti itu, ia perlu menjelaskan bagaimana mungkin ada baik takdir dan hukuman.
Kebutuhan untuk hukuman tergantung pada kemungkinan kejahatan, dan pemeriksaan Ibnu Sina berpendapat bahwa kejahatan moral dan lainnya menimpa individu bukan spesies. Kejahatan biasanya hasil disengaja hal yang lain menghasilkan yang baik. Tuhan memproduksi lebih baik daripada yang jahat ketika ia memproduksi dunia ini bersifat bumi, dan meninggalkan praktik sangat baik karena 'jahat langka' akan menjadi kekurangan dari yang baik. Misalnya, api berguna dan karenanya baik, bahkan jika itu merugikan orang pada kesempatan (lihat Kejahatan, masalah ). Tuhan mungkin telah menciptakan sebuah dunia lain keberadaan yang sepenuhnya bebas dari hadir jahat di satu ini, tapi itu akan menghalangi semua barang yang lebih besar yang tersedia di dunia ini, meskipun kejahatan jarang juga mengandung. Demikianlah, Allah menghasilkan sebuah dunia yang berisi kebaikan dan kejahatan dan agen, jiwa, bertindak di dunia ini; imbalan dan hukuman yang didapat selama keberadaannya di luar dunia ini adalah hasil dari pilihan di dunia ini, dan ada baik takdir dan hukuman karena dunia dan order yang tepat apa yang memberikan jiwa-jiwa pilihan antara baik dan jahat.
Mengidentifikasi bahasa puisi sebagai imajinatif, Ibnu Sina bergantung pada kemampuan fakultas imajinasi untuk membangun gambar untuk berpendapat bahwa bahasa puisi dapat menanggung perbedaan antara premis, argumen dan kesimpulan, dan memungkinkan untuk konsepsi dari silogisme puitis. Definisi Aristoteles tentang silogisme adalah bahwa jika laporan tertentu diterima, maka pernyataan-pernyataan tertentu lainnya juga harus selalu diterima (lihat Aristoteles § 5). Untuk menjelaskan struktur silogisme bahasa puitis, Ibnu Sina pertama mengidentifikasi tempat puitis seperti kemiripan yang dibentuk oleh penyair yang menghasilkan 'efek luar biasa penderitaan atau kesenangan' (lihat Puisi ).
Kemiripan essayed oleh penyair dan perbandingan mereka mengemukakan dalam puisi, saat ini adalah mencolok, asli dan sebagainya, menghasilkan 'efek luar biasa' atau 'perasaan heran di pendengar atau pembaca. 'Malam kehidupan' membandingkan rentang dari hari dan kehidupan, membawa konotasi hari untuk menjelaskan beberapa karakteristik umur. Untuk menemukan ini menggunakan bahasa puitis yang bermakna, saran adalah bahwa kita perlu melihat perbandingan sebagai kesimpulan silogisme. Sebuah premis dari silogisme ini akan bahwa hari-hari memiliki rentang yang menyerupai atau sebanding dengan perkembangan kehidupan. Kemiripan ini mencolok, novel dan wawasan, dan pemahaman penjajaran atas hari dan kehidupan mengarah subjek untuk merasa heran atau terkejut. Berikutnya, kesenangan terjadi dalam pertimbangan silogisme puitis sebagai dasar persetujuan imajinatif kita, sejalan persetujuan, misalnya, silogisme demonstratif: sekali kita telah menerima premis, kita dituntun untuk menerima asosiasi dan konstruksi imajinatif yang hasilnya; begitu kita menerima perbandingan antara hari dan hidup, kita dapat memahami dan menghargai perbandingan antara usia tua dan malam. Ibnu Sina juga menemukan paralel lain antara bahasa puisi dan argumen bermakna, menunjukkan bahwa kesenangan dalam persetujuan imajinatif bisa diharapkan dari mata pelajaran lain, setuju karena itu lebih dari ekspresi preferensi pribadi. Ini validitas bahasa puisi memungkinkan Ibnu Sina berpendapat bahwa kecantikan dalam bahasa puisi memiliki nilai moral yang menopang dan tergantung pada hubungan keadilan antara anggota otonom dari suatu komunitas. Dalam komentarnya tentang Aristoteles Poetics , bagaimanapun, ia menggabungkan ini dengan klaim bahwa berbagai jenis bahasa puisi akan sesuai dengan berbagai jenis karakter. Komedi sesuai orang-orang yang dasar dan kasar, sementara tragedi menarik penonton karakter yang mulia (lihat Estetika dalam filsafat Islam ).
Versi Latin dari beberapa karya Ibnu Sina mulai muncul di awal abad ketiga belas. Karya terbaik filsafat yang dikenal untuk diterjemahkan adalah miliknya Kitab al-Shifa ' , meskipun terjemahannya tidak termasuk bagian pada matematika atau bagian besar dari logika. Terjemahan dibuat di Toledo termasuk Kitab al-Najat dan Kitab al-ilahiyat (Metafisika) secara keseluruhan. Bagian lain pada ilmu alam diterjemahkan di Burgos dan untuk Raja Sisilia. Gerard dari Cremona diterjemahkan Ibnu Sina al-Qanun fi al-tibb (Canon di Kedokteran) . Di Barcelona, ​​pekerjaan filosofis, bagian dariKitab al-nafs (Kitab Soul) , diterjemahkan di awal abad keempat belas. Bekerja lembur pada logika, al-wa-'l Isharat-tanbihat , tampaknya telah diterjemahkan sebagian dan dikutip dalam karya-karya lain. Komentar-Nya di Di Soul diketahui Thomas Aquinas dan Albert Agung , yang mengutip mereka secara ekstensif dalam diskusi mereka sendiri.
Terjemahan ini dan lainnya karya Ibnu Sina terdiri inti dari tubuh literatur yang tersedia untuk studi. Pada awal abad ketiga belas, karya-karyanya tidak hanya dipelajari dalam kaitannya dengan Neoplatonis seperti Agustinus dan Duns Scotus , tetapi digunakan juga dalam studi Aristoteles .Akibatnya, mereka dilarang di 1210 ketika sinode di Paris melarang membaca Aristoteles dan 'summae' dan 'commenta' karyanya. Kekuatan larangan itu lokal dan hanya menutupi pengajaran subjek ini: teks-teks itu dibaca dan diajarkan di Toulouse pada 1229. Sebagai sebagai akhir abad keenam belas ada terjemahan lainnya dari karya pendek oleh Ibnu Sina ke dalam bahasa Latin, misalnya dengan Andrea Alpago dari Belluno (lihatAristotelianisme, abad pertengahan § 3; Islam filsafat: transmisi ke Eropa Barat ; Penerjemah ).
KEMAL SALIM
Copyright © 1998, Routledge.

Daftar karya
Ibnu Sina (980-1037) Sirat al-Syaikh al-ra'is (Kehidupan Ibnu Sina) , ed. dan trans. KAMI Gohlman, Albany, NY: State University of New York Press, 1974. (Edisi-satunya kritis dari otobiografi Ibnu Sina, ditambah dengan bahan dari biografi oleh muridnya Abu 'Ubaid al-Juzjani Sebuah terjemahan yang lebih baru Otobiografi muncul dalam D. Gutas,. Avicenna dan Tradisi Aristotelian: Pengantar Membaca Filosofi Avicenna Pekerjaan , Leiden: Brill, 1988).

Ibnu Sina (980-1037) al-wa-'l Isharat-tanbihat (Keterangan dan peringatan) , ed. S. Dunya, Kairo, 1960; bagian diterjemahkan oleh SC Inati,Keterangan dan teguran, Bagian Satu: Logika , Toronto, Ontario: Institut Kepausan untuk Studi Abad Pertengahan, 1984, dan. Ibnu Sina dan Mistisisme, Keterangan dan peringatan: Bagian 4 , London : Kegan Paul Internasional, 1996. (Terjemahan bahasa Inggris sangat berguna untuk apa ia menunjukkan konsepsi filsuf logika, jenis silogisme, tempat dan sebagainya.)

Ibnu Sina (980-1037) al-Qanun fil-obat (Canon di Kedokteran) , ed. I. a-Qashsh, Kairo, 1987. (Karya Ibn Sina pada obat.)

Ibnu Sina (980-1037) Risalah fi sirr al-qadar (Essay on Rahasia Takdir) , trans. G. Hourani dalam Alasan dan Tradisi dalam Etika Islam , Cambridge: Cambridge University Press, 1985. (Menyediakan wawasan ke daerah diabaikan pemikiran Ibnu Sina.)

Ibnu Sina (980-1037) Danishnama-i 'ala'i (Kitab Pengetahuan Ilmiah) , ed. dan trans. P. Morewedge, The Metaphysics dari Ibnu Sina , London: Routledge Kegan Paul dan, 1973. (Ini adalah terjemahan dari karya metafisik dalam bahasa Persia.)

Ibnu Sina ( c. 1014-1020) al-Shifa '(Penyembuhan) . (Pekerjaan utama Ibnu Sina di Filsafat. Dia mungkin mulai menulis al-Shifa ' di 1014, dan selesai di 1020. edisi kritis dari teks Arab telah diterbitkan di Kairo, 1952-83 awalnya di bawah pengawasan I. Madkour ; membaca edisi ini diberikan di bawah).

Ibnu Sina ( c. 1014-1020), al-mantiiq (Logika) , Bagian 1, al-Madkhal (Isagog ) , ed. G. Anawati, M. El-Khodeiri dan F. al-Ahwani, Kairo: al-Matbaah al-Amiriyah, 1952, trans. N. Shehaby, Logika proposisional Ibn Sina , Dordrecht: Reidel, 1973. (Volume I, Bagian 1 dari al-Shifa ' .)

Ibn Sina ( c. 1014-20) al-'Ibarah (Interpretation) , ed. M. El-Khodeiri, Cairo: Dar al-Katib al-'Arabi, 1970. (Volume I, Part 3 of al-Shifa ' .)

Ibnu Sina ( c. 1014-1020), al-Giyas (silogisme) , ed. S. Zayed dan I. Madkour, Kairo: Organisme Général des Imprimeries Gouvernementales, 1964. (Volume I, Bagian 4 dari al-Shifa ' .)

Ibnu Sina ( c. 1014-1020) al-Burhan (Demonstrasi) , ed. AE Affifi, Kairo: Organisme Umum des Imprimeries Gouvernementales, 1956. (Volume I, Bagian 5 dari al-Shifa ' .)

Ibnu Sina ( c. 1014-1020) al-Jadal (Dialectic) , ed. AF Al-Ehwany, Kairo: Organisme Umum des Imprimeries Gouvernementales, 1965. (Volume I, Bagian 7 dari al-Shifa ' .)

Ibnu Sina ( c. 1014-1020), al-Khatabah (Retorika) , ed. S. Salim, Kairo: Imprimerie Nationale, 1954. (Volume I, Bagian 8 dari al-Shifa ' .)

Ibn Sina ( c. 1014-20) al-Ilahiyat (Theology) , ed. ID Moussa, S. Dunya dan S. Zayed, Cairo: Organisme General des Imprimeries Gouvernementales, 1960; ed. dan trans. RM Savory dan DA Agius, 'Ibn Sina on Primary Concepts in the Metaphysics of al-Shifa ' , di Logikos Islamikos , Toronto, ont.: Pontifical Institute for Mediaeval Studies, 1984; trans. GC Anawati, La métaphysique du Shifa ' , Etudes Musulmanes 21, 27, Paris: Vrin, 1978, 1985. (This is the Metaphysics of al-Shifa ' , Volume I, Book 5.)

Ibnu Sina ( c. 1014-1020) al-AFS (Jiwa) , ed. GC Anawati dan S. Zayed, Kairo: Organisme Umum des Imprimeries Gouvernementales, 1975, ed.F. Rahman, Avicenna De Anima, Menjadi Bagian Psikologi Kitab al-Shifa ' , London: Oxford University Press, 1959. (Volume I, Bagian 6 darial-Shifa ' .)

Ibnu Sina ( c. 1014-1020) Kitab al-Najat (Kitab Keselamatan) , trans. F. Rahman, Psikologi Avicenna: Sebuah Terjemahan bahasa Inggris dari Kitab al-Najat, Buku II, Bab VI dengan historis-filosofis Catatan dan Perbaikan Tekstual pada Edisi Kairo , Oxford: Oxford University Press, 1952. (The psikologi dari al-Shifa ' .)
Referensi dan bacaan lebih lanjut
Alexander dari Aphrodisias ( c. 200) De anima (Di Soul) , di labia Scripta , 2.1 ed. I. Bruns, Berlin, 1887; ed. AP Fontinis, The Anima De Alexander dari Aphrodisias , Washington, DC: University Press of America, 1979. (Komentar kemudian Penting pada Aristoteles.)

Davidson, HA (1992) Alfarabi, Avicenna dan Averroes pada Akal: mereka kosmologi, Teori Intelek Aktif, dan Teori dari Akal Manusia , New York: Oxford University Press. (Sebuah pertimbangan yang matang teori Ibnu Sina dari intelek dalam hubungannya dengan filsuf Helenistik dan Arab.)

Fakhry, M. (1993) Teori Etika dalam Islam , edisi 2, Leiden: Brill. (Berisi materi pada pemikiran etika Ibnu Sina.)

Goodman, L. (1992) Ibnu Sina , London: Routledge. (Sebuah pengantar yang berguna untuk fitur sentral dari teori-teori filsafat Ibnu Sina.)

Gutas, D. (1988) Ibnu Sina dan Tradisi Pendahuluan, Aristotelian untuk Membaca Pekerjaan Filosofis Ibnu Sina , Leiden: Brill. (Sebuah laporan yang sangat baik dari pertimbangan yang masuk ke dalam konstruksi Ibnu Sina korpus , buku berisi terjemahan dari sejumlah teks yang lebih kecil, pertimbangan hati-hati metode dan kritik tajam, antara lain, ascriptions mistisisme Ibn Sina. ini mungkin buku yang paling berguna untuk keterlibatan dengan pekerjaan filsuf saat ini tersedia dalam bahasa Inggris.)

Inati, S. (1996) 'Ibnu Sina , dalam SH Nasr dan O. Leaman (eds) Sejarah Filsafat Islam , London: Routledge, ch. 16, 231-46. (Panduan analisis yang komprehensif untuk pikirannya.)

Janssens, JL (1991) Sebuah Bibliografi Beranotasi tentang Ibnu Sina (1970-1989), Termasuk Publikasi bahasa Arab dan Persia dan Turki dan Rusia referensi , Leuven: Leuven University Press. (Sebuah alat yang sangat diperlukan untuk studi Ibn Sina dan bekerja baru pada filsuf, meskipun akan segera perlu diperbarui.)

Kemal, S. (1991) The Poetics dari Alfarabi dan Avicenna , Leiden: Brill. (Sebuah studi filosofis Ibn Sina puisi filosofis dan hubungannya dengan epistemologi dan moralitas.)

Mamura, ME (1962) 'Beberapa Aspek Teori Avicenna Pengetahuan Allah Particulars' , Jurnal Masyarakat Oriental Amerika 82: 299-312.(Tulisan ini, bersama dengan orang-orang dari Morewedge (1972) dan Rahman (1958), yang mani pemahaman kontemporer pemikiran Ibnu Sina.)

Mamura, ME (1980) 'Bukti Ibnu Sina dari Kontinjensi untuk Keberadaan Allah dalam Metafisika al Shifa ' , Studi Abad Pertengahan 42: 337-52. (Sebuah eksposisi yang jelas dari bukti.)

Morewedge, P. (1972) 'Analisis Filosofis dan Ibnu Sina "Esensi-Keberadaan" pembedaan " , Jurnal Masyarakat Oriental Amerika 92: 425-35. (Penjelasan menyambut implikasi dari perbedaan pusat untuk bukti Ibnu Sina keberadaan Allah.)

Nasr, SH (1996) 'Filsafat Oriental Ibnu Sina " , dalam SH Nasr dan O. Leaman (eds) Sejarah Filsafat Islam , London: Routledge, ch. 17, 247-51. (Pertahanan Ringkas dan menarik dari ide itu Ibnu Sina benar-benar memiliki sistem mistis khas Filsafat.)

Rahman, F. (1958) 'Esensi dan Keberadaan dalam Avicenna' , Abad Pertengahan dan Renaissance Studi 4: 1-16. (Versi A juga muncul dalamHamdard Islamicus 4 (1): 3-14 Makalah ini mempertimbangkan kegunaan filosofis perbedaan esensi dari eksistensi..)


Sumber : http://www.muslimphilosophy.com/ip/rep/H026