Assalamualaikum Wr. Wb

Jumat, 19 Agustus 2011

Cara Berbuka puasa yang baik dan benar serta sehat

Kaskus (23/08/09) - Tips sehat buka puasa di bulan Ramadhan perlu diperhatikan agar tetap segar kuat dan fit dalam beraktivitas baik di dalam rumah maupun di luar rumah (kantor, toko, mall, pabrik, warung, dll).

Perubahan jadwal makan pastinya akan membuat proses metabolisme tubuh juga berubah sehingga perlu penyesuaian di awal-awal bulan puasa. Demikian juga asupan karbohidrat, protein dan vitamin yang sangat mendukung kinerja alat tubuh secara optimal otomatis berubah takarannya, terutama dalam waktu konsumsinya.

Kalau di hari-hari biasa, acara ngemil dapat dilakukan kapan saja dan sebenarnya turut membantu mencukupi kebutuhan akan karbohidrat, protein dan vitamin. Namun saat Ramadhan tiba, silahkan diteruskan kebiasaan tersebut dan dijamin tidak mendapat pahala berpuasa 

Mudah-mudahan tips sehat berbuka puasa ini dapat membantu untuk menjaga tubuh sahabat Rumah Islami tetap segar fit dan kuat sepanjang hari di bulan suci Ramadhan. Biar mudik Lebarannya tetap prima 


Agar Kondisi Tetap Prima Kendati Tengah Berpuasa

Jangan lupa selalu mengkonsumsi makanan bergizi baik pada saat sahur atau berbuka puasa. Walau menu sederhana, yang penting mengandung lima unsur gizi lengkap seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral.

Upayakan untuk mencegah dehidrasi tubuh dengan banyak minum air putih pada malam hari. Hal ini penting dilakukan, karena pada siang hari aktivitas kita cenderung banyak mengeluarkan keringat baik di ruangan terbuka atau ber-AC.

Pada saat berbuka, awali buka puasa Anda dengan makanan atau minuman hangat dan manis seperti kolak, setup, ataupun minuman manis lainnya. Tapi ingat, jangan mengkonsumsi minuman yang mengandung soda, karena dapat menimbulkan akibat buruk bagi perut Anda.

Jangan langsung minum air dingin atau es, sebaliknya biasakanlah berbuka dengan minuman yang hangat. Perut yang kosong bisa menjadi kembung, bila Anda langsung berbuka puasa dengan air dingin, karena asam lambung dalam tubuh kita akan terbentuk semakin banyak.

Kemudian beristirahatlah kurang lebih satu jam sebelum menyantap hidangan berbuka yang telah dihidangkan. Tujuannya untuk memberikan keseimbangan terlebih dahulu pada pencernaan kita. Ingat, jangan mengkonsumsi makanan berlebihan dan makanan asinan.

Berbuka puasa hendaknya dilakukan secara bertahap dan tidak terburu-buru agar lambung tidak "kaget". Dengan demikian kerja lambung tidak terlampau berat. Untuk meringankan kerja pencernaan, kunyah makanan dengan baik.

Agar Anda mampu menahan rasa lapar, perbanyaklah mengkonsumsi jenis makanan berserat yang banyak terdapat dalam sayur dan buah. Tubuh kita memerlukan waktu lebih lama untuk mencerna makanan yang banyak mengandung serat.

Selain memperbanyak makanan berserat dan makanan yang mengandung protein, sebaiknya Anda juga menyediakan jenis makanan yang mengandung vitamin dan mineral serta makanan tambahan agar tubuh tetap segar bugar sepanjang hari.

Vitamin yang penting dikonsumsi setiap hari adalah vitamin A, B, dan C. Tapi kalau Anda sudah makan buah berwarna kuning atau merah, sayur berwarna hijau tua, kacang-kacangan, maka tak perlu khawatir kekurangan vitamin tersebut.

Bagi penderita sakit lambung makanan yang sebaiknya dihindari adalah ketan, mie, daging berlemak, ikan dan daging yang diawetkan, sayuran mentah, sayuran berserat, minuman yang mengandung soda, dan bumbu yang tajam (cuka, cabai, asam). Jenis makanan tersebut bisa menimbulkan gas yang berpengaruh meningkatkan produksi asam lambung.

Bagi mereka yang berat badannya melebihi berat badan ideal, sebaiknya selama berpuasa pun tetap menghindari makanan yang tinggi kolesterolnya, misalnya lemak hewan, margarin, mentega. Selain itu, sebaiknya Anda menghindari makanan yang manis-manis, seperti dodol, sirup, cokelat, kue tar, es krim. "Selain lebih banyak mengkonsumsi sayur, buah, dan daging tanpa lemak, pengolahan makanannya pun sebaiknya jangan digoreng."

Sedang bagi mereka yang terlalu kurus, selama berpuasa sebaiknya menambah porsi susunya dan menghindari makanan yang sulit dicerna seperti sayuran berserat kasar (daun singkong, daun pepaya).

Bagi mereka yang berusia lanjut, aturlah pola makan saat berbuka puasa juga secara bertahap. Makanlah jumlah yang lebih sedikit, namun dilakukan beberapa kali.

Pasien Diabetes Harus Banyak Minum Air Jika Ingin Puasa

Merry Wahyuningsih - detikHealth

img
(Foto: thinkstock)
Jakarta, Risiko dehidrasi rentan mengintai pasien diabetes yang sedang berpuasa. Bila ingin tetap puasa, pasien diabetes disarankan untuk banyak minum air yang diatur frekuensinya dari setelah buka puasa hingga menjelang sahur.

Tidak semua penderita diabetes diperbolehkan berpuasa karena bisa menyebabkan penurunan gula darah yang berakibat serius. Yang diperbolehkan puasa adalah yang memiliki risiko rendah, yaitu memiliki gula darah yang terkontrol, tidak mengonsumsi obat yang menyebabkan hipoglikemia (kadar gula rendah) dan tidak ada komplikasi.

Namun walaupun diperbolehkan berpuasa, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan pasien diabetes, yaitu masalah risiko dehidrasi dan hipoglikemia.

"Kadar gula yang tinggi di darah dan kencing akan membuat pasien diabetes rentan mengalami dehidrasi, apalagi saat puasa," ujar dr Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD, PhD, dari Divisi Metabolik Endokrin, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, saat dihubungi detikHealth, Selasa (2/8/2011).

Jika kadar gula darah dalam tubuh seseorang tinggi, maka glukosa yang tidak bisa dimetabolisme akan ikut terbuang melalui urine. Hal ini menyebabkan urine menjadi lebih kental, sehingga membutuhkan air untuk mengencerkannya. Air yang digunakan ini diambil dari dalam tubuh, sehingga saat tubuh sedang berpuasa risikonya menjadi dehidrasi.

"Seluruh pasien diabetes yang ingin puasa harus disarankan untuk mencicil minum dari setelah dia buka puasa hingga menjelang sahur. Sedikit nggak apa-apa asal frekuensinya sering, tapi sebaiknya banyak minum," lanjut dokter yang punya hobi fotografi ini.

Selain memperbanyak minum saat buka puasa dan sahur, pasien diabetes yang ingin berpuasa juga harus selalu memperhatikan kadar gula darahnya, terutama pada hari atau minggu-minggu awal puasa.

"Di hari-hari atau minggu-minggu pertama puasa, pasien diabetes sangat rentan mengalami hipoglikemia (kadar gula darah rendah), sehingga harus rutin memeriksa kadar gula darah. Paling tidak 3 kali sehari, jam 9 pagi, 12 siang dan jam 5 sore, terutama 3 hari pertama," lanjut ahli molekuler diabetes pertama di Indonesia ini.

dr Dante juga menuturkan bahwa pasien diabetes harus memperhatikan waktu minum obatnya. Obat yang dapat menyebabkan hipoglikemia harus diminum saat buka puasa, bukan pada saat sahur.

"Dosisnya juga sebaiknya diturunkan. Kalau pasien saya biasanya diturunkan setengah dari dosis yang biasa. Dokter juga harus memantau pasiennya yang menderita diabetes," tutur dr Dante.



sumber :http://www.detikhealth.com/read/2011/08/02/085451/1694364/766/pasien-diabetes-harus-banyak-minum-air-jika-ingin-puasa?ld991107763

Kamis, 18 Agustus 2011

Fadhilah Ber-Tasawuf


Sayyidi Syaikh Abdul Wahhab as Sya’rani Rhm bercerita: “Aku melihat Nabi SAW di dalam tidurku, maka aku berkata: ‘Ya Rasulullah! Bahwasanya hamba sekarang ini seperti kanak-kanak yang baru belajar Ilmu Tasawuf”. Maka sabda Nabi SAW: “Baca (perhatikan) olehmu akan perkataan kaum Ahlus shufi itu, maka bahwasanya orang yang mubtadi (pemula) yang baru belajar Ilmu Tasawuf itu, yaitu Wali Allah. Adapun orang yang berilmu Tasawuf ini, maka yaitu seperti bintang yang tiada dapat dihinggakan akan dia (ketinggiannya)”.
Imam al Ghazali menukil dalam kitab Ihya’nya daripada perkataan sebagian ‘Arifin:

مَنْ لَـمْ يَكُـنْ لَّه نَصِيْبٌ مِنْ عِلْـمِ الْـقَوْمِ يَـخَافُ عَلَيْهِ سُوْءُ الْـخَاتِـمَةِ وَأَدَّنِيْ نَصِيْبٌ مِنْهُ التَّصَوُّف مِنْهُ التَّصْدِيْقُ وَالتَّسْلِيْمُ لأَهْلِه

“Barang siapa yang tiada mengetahui bagian-bagian dari Ilmu kaum Shufi dikhawatirkan mati dalam keadaan Su-ul Khatimah dan sekurang-kurangnya bagian itu adalah membenarkan (Tashdiq) dan berserah diri terhadap ahlinya (Taslim)”.
Syaikh Junaid al Baghdadi Rhm berkata:

التَّصْدِيْقُ بِعِلْمِنَا هذَا وِلاَيَةُ الصُّغْرى
“Orang yang membenarkan Ilmu kami ini (yakni Ilmu Tasawuf ini adalah termasuk daripada Wali Allah yang kecil”.
Syaikh Abu Yazid al Busthami Qs. Berkata:

إِذَا رَأَيْتَ أَحَدًا يـُحْسِنُ الظَّنّ بِكَلَامِ أَهْلِ هذَا الطَّرِيْقِ فَقُلْ لَه يَدْعُوْلَكَ فَإِنَّه مُـجَابُ الدَّعْوَةِ


“Jika engkau melihat seseorang berhusnuz-zhan dengan perkataan Ahli Thariqah ini (Shufi), maka katakanlah agar engkau dido’akan, karena sesungguhnya ia menjadi mustajab do’anya”.

Ruwaim Rhm berkata:
مَنْ آمَنَ بِكَلَامِنَا هذَا وَلَوْ مِنْ وَّرَآءِ سَبْعِيْنَ حِـجَابًا فَهُوَ مِنْ أًهْلِه
“Barang siapa mempercayai perkataan kami ini (Ahli Shufi) ini meskipun ia berada di belakang 70 hijab (dinding), maka sesungguhnya ia termasuk daripada Ahlinya”.
Syaikh Zakaria Khandalawi dalam kitab Fadhilah Tabligh-nya mengemukakan beberapa keterangan hadits:
 Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Luqman al Hakim berkata kepada anaknya: '‘Wahai anakku, hendaknya engkau menyertai para Ulama dan dengarkan ucapan-ucapan ahli, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan tanah yang mati dengan air hujan”.
 Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: “Siapakah sahabat yang paling baik bagi kami?” Jawabnya: “Seseorang yang apabila kamu melihatnya,
 kamu akan teringat kepada Allah. Apabila kamu mendengar pembicaraannya, pengetahuanmu mengenai Islam akan bertambah. Dan apabila kamu melihat kelakuannya, kamu akan teringat hari kiamat”.
 Dalam hadits lain disebutkan bahwa hamba Allah yang terbaik adalah orang yang apabila kamu melihatnya, kamu akan teringat kepada Allah, Allah SWT berfirman:

يَآ أَيّـُهَا الَّذِيْنَ أمَنُوا اتَّـقُوا اللهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصَّادِقِيْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama Shiddiqin (orang-orang yang benar)”. (At Taubah: 119)
Para ahli tafsir telah menafsirkan bahwa orang-orang Shiddiqin dalam ayat ini maksudnya adalah para Ulama Ahli Shufi dan para kekasih Allah (Awliya). Karena barang siapa berdekatan dengan mereka dan berkhidmah kepada mereka, akan mendapatkan tarbiyah dan kekuatan iman.
Dan masih banyak lagi keutamaan orang-orang yang menjalani Ilmu Tasawuf itu, yang tak dapat diuraikan di sini, dan mencukupilah kiranya apabila kita lihat uraian imam al Ghazali dalam kitab-kitabnya.
(Hikayat)
Syaikh Abdul Wahhab as Sya’rani di dalam kitabnya Madarijus Salikin mengisahkan suatu suatu peristiwa yang terjadi pada diri Syaikh Junaid Rhm, bahwa suatu jama’ah yang menuntut ilmu di Baghdad meninggalkan Guru fiqihnya, dan bergabung duduk bersama dalam halaqah Sufi al Junaid, sehingga membuat marah gurunya itu, sampai-sampai menghina dengan kata-katanya atas golongan Shufi. Maka disuruhlah gurunya itu untuk datang kepada al Junaid.
Maka berkatalah al Junaid kepada guru tersebut: “Wahai saudaraku, jika seorang hamba yang ingin bermaksud bertemu dengan kekasihnya memiliki 2 pilihan, ada yang sampai kepada kekasihnya dengan perjalanan kira-kira 30 tahun lamanya dan pilihan lainnya sampai kepada kekasihnya itu dengan waktu singkat kira-kira setahun lamanya. Maka manakah yang anda pilih?” Guru syariat itu berkata: “Tentu aku memilih jalan yang paling dekat dan cepat”. Berkata al Junaid: “Benar”. Lalu berkata guru tersebut: “Thariqah (jalan) kami adalah jalan yang paling dekat kepada Hadhrat Allah Ta’ala Al Haqq daripada thariqah (jalan)mu”. Maka berkatalah al Junaid: “Jalan dzikir kepada Allah itu lebih dekat/ mudah sampai kepada Allah daripada jalan mengetahui hukum-hukumNya, dikarenakan jalan syariat itu berhubungan dengan makhluk, sedangkan ‘jalan’ dengan dzikrullah itu berhubungan langsung dengan Allah Ta’ala Al Haqq”.
Guru syariat itu akhirnya berkata: “Apakah bukti kebenaran ucapan kamu itu?” Maka seru al Junaid kepada yang hadir: “Ambillah batu ini dan lemparlah kepada orang-orang Sufi yang faqir yang sedang berdzikir”. Maka ketika dilempar, berteriaklah mereka disertai ucapan ‘Allah, Allah’, dikarenakan asyiknya akan dzikrullah. Kemudian al Junaid memerintahkan mengambil batu yang lain untuk dilempar ke tengah-tengah jama’ah fuqaha. Dan ketika dilempari batu itu, maka terlihatlah jama’ah itu marah semuanya sambil berkata: ‘Tidak boleh engkau melakukan pelemparan seperti tadi, perbuatanmu itu haram!’
Menyaksikan perbedaan mencolok tadi, akhirnya sang guru syariat mengakui keunggulan dan kebenaran al Junaid: ‘Aku mohon ampun kepada Allah atas apa-apa yang menyalahi akan engkau, sekarang benarlah perbuatanmu tadi’. Lalu ia menjadi sahabat al Junaid dan mengambil thariqah daripada al Junaid, sampai ia menjadi sahabatnya yang paling dekat.


Imam Qusyairi mengatakan: “Manusia adakalanya terpukau pada ayat dan hadits, adakalanya cenderung pada penggunaan akal dan pikirannya. Bagi manusia pada umumnya, sesuatu yang tampak ghaib bagi mereka menjadi tampak jelas bagi kalangan Shufi. Bagi khalayak, pengetahuan merupakan tumpuan, namun bagi kalangan Shufi pengetahuan itu didapat dari Al Maujud, Allah Al Haq. Mereka adalah sekumpulan hamba yang senantiasa berjumpa dengan Allah SWT (Ahlul Wishal), sementara manusia pada umumnya berpihak pada pencarian bukti (Ahlul Istidlal). Para Shufi itu adalah sebagaimana yang diungkapkan penyair:

Malamku, bersama WajahMu, cemerlang
Sedang kegelapan menyelimuti manusia
Manusia dalam kegelapan yang gulita
Sedang kami dalam cahaya siang benderang.
Tidak satupun zaman dalam periode Islam, melainkan selalu ada seorang Syeikh dari para tokoh Shufi ini, yang mempunyai ilmu tauhid dan kepimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan umat dari kalangan para ulama pada waktu itu benar-benar telah berpasrah diri kepada Syeikh tersebut, bertawadhu’ dan menyerap barakah darinya. Kalau saja tiada keistimewaan dan citra khususiyyahnya niscaya akan terjadilah persoalan sebaliknya. Inilah yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy Syafi’i Ra. Datanglah Syaiban ar Ra’yi.
Ahmad bin Hanbal berkata: “Wahai Abu Abdullah , aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian pengetahuan”. Maka asy Syafi’i berkata, “Jangan anda lakukan!” Namun Ahmad tetap saja berupaya. Ahmad berkata kepada Syaiban, “Apa pendapatmu bila ada orang lupa akan shalatnya dari shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia tidak mengerti shalat mana yang terlupakan? Apa kewajiban bagi orang tersebut, wahai Syaiban?” Syaiban menjawab, “Wahai Ahmad, itulah hati yang lupa kepada Allah SWT. Kewajibannya ia harus belajar adab, sehingga ia tidak lupa Tuannya”. Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban Syaiban. Ketika sadar, as Syafi’i berkata kepada Ahmad, “Bukankah sudah kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila orang yang buta huruf seperti dia dari kalangan mereka (kaum Shufi)) saja demikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”


Dikisahkan bahwa Ahmad bin Hanbal sangat sering mengunjungi Bisyr Harits al Hafi. Ia begitu mempercayai kata-kata Bisyr sehingga murid-muridnya pernah mencela sikapnya itu.
“Pada saat ini tidak ada orang yang menandingimu di bidang hadits, hukum, teologi, dan setiap cabang ilmu pengetahuan, tetapi saat engkau menemani seorang berandal. Pantaskah perbuatanmu itu?”
“Mengenai setiap bidang yang kalian sebutkan tadi, aku memang lebih ahli daripada Bisyr”, jawab Ahmad bin Hambal, “Tetapi mengenai Allah ia lebih ahli daripadaku”.


Diriwayatkan bahwa ada seorang ahli fiqih dari kalangan Fuqaha besar mempunyai majelis halaqah yang berdekatan dengan halaqah Dulaf asy Syibli di Masjid al Manshur. Faqih besar itu dipanggil dengan nama Abu Amran, yang meremehkan halaqah dan ucapan-ucapan asy Syibli. Suatu hari para murid Abu Amran bertanya kepada asy Syibli tentang masalah haid, dengan tendensi (maksud) ingin mempermalukannya. Asy Syibli menjawab dengan berbagai pandangan ulama mengenai masalah tersebut serta menyebutkan soal khilafiyah dalam masalah haid. Abu Amran langsung berdiri, mencium kepala asy Syibli sambil berkata, “Wahai Abu Bakar , engkau telah menyerap sepuluh pandangan tentang masalah haid yang belum pernah aku dengar sama sekali. Sedangkan yang kuketahui hanya tiga pandangan saja”.
Dikatakan, “Abul Abbas Suraij adalah seorang ulama fiqih yang pernah menghadiri majelis al Junaid Ra. Dan mendengarkan penuturannya. Kemudian Abul Abbas ditanya, “Apa pendapatmu tentang ucapan itu?” Ia menjawab, “Aku tidak mengerti apa yang diucapkan al Junaid. Namun aku tahu ucapan itu merupakan lompatan, yang bukan tergolong lompatan kebatilan”.
Dikatakan kepada Abdullah bin Sa’id bin Kilab, Anda berbicara pandangan masing-masing ulama. Lalu di sana ada seorang tokoh yang dipanggil dengan nama al Junaid. Lihatlah, apakah anda kontra atau tidak?” Abdullah lalu menghadiri majelis al Junaid. Ia bertanya kepada al Junaid tentang tauhid, lalu Junaid menjawabnya. Namun Abdullah kebingungan. Lantas kembali bertanya kepada al Junaid, “Tolong anda ulang ucapan tadi bagiku!” Al Junaid mengulangi, namun dengan ungkapan yang lain. Abdullah lalu berkata, “Wah, ini lain lagi, aku tidak mampu menghafalnya. Tolonglah anda ulangi sekali lagi!” Lantas al Junaid pun mengulanginya, tetapi dengan ungkapan yang lain lagi. Abdullah berkata, “Tidak mungkin bagiku memahami apa yang anda ucapkan. Tolonglah anda uraikan untuk kami!” Al Junaid menjawab, “Kalau anda memperkenankannya, aku akan menguraikannya”. Setelah dijelaskan dengan uraian panjang lebar, lalu Abdullah berdiri, dan berkata akan keutamaan al Junaid beserta keunggulan moralnya. “Apabila prinsip-prinsip kaum Shufi merupakan prinsip yang paling shahih, dan para Syeikhnya merupakan tokoh besar manusia, ulamanya adalah yang paling alim di antara manusia. Bagi para murid yang tunduk kepadanya, jika sang murid itu termasuk ahli salik dan penempuh tujuan mereka, maka para Syeikh inilah yang menjaga apa yang teristimewa, berupa terbukanya keghaiban. Karenanya, tidak dibutuhkan lagi bergaul (terkait) dengan orang yang ada di luar golongan ini. Bila ingin mengikuti jalan Sunnah, sementara dirinya tidak sanggup untuk mandiri dalam hujjah, lalu ingin menahapi wilayah bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia bertaklid kepada Ulama salafnya. Dan hendaknya melintasi jalan generasi Shufi ini, sebab mereka lebih utama dari yang lain”.
Al Junaid berkata, “Jika anda mengetahui bahwa Allah memiliki ilmu di bawah atap langit ini yang lebih mulia daripada ilmu Tasawuf, di mana kita berbicara di dalamnya dengan sahabat-sahabat dan teman kita, tentu aku akan berjalan dan mencari ilmu tadi”.


Adapun tujuan utama mendalami Tasawuf adalah untuk mencapai Ma’rifatullah yang sebenar-benarnya (hakiki), dan faedahnya sampai kepada Allah Ta’ala dengan tersingkapnya hijab (dinding) yang membatasi dirinya yang dhaif dengan Allah Yang Quddus. Jadi bisa dikatakan bahwa tujuan terakhir dan utama dari semua pelaksanaan ibadah seorang hamba adalah mengenal Tuhan yang sebenar-benarnya yang dikatakan sebagai Makrifatullah. Dan dengan mempelajari ilmu Tasawuf itulah merupakan kunci mengenal Allah melalui pengenalan dirinya yang dhaif lagi faqir.
Adapun jalan untuk bermakrifat itu ada 2 cara:
1. Mulazamatudz Dzikri, terus menerus berada dalam dzikir (ingat) akan Alah Ta’ala.
2. Mukhalafa, yakni terus menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat melupakan Allah Ta’ala.
Sebagian ahli Tasawuf berkata: “Permulaan Tasawuf adalah ilmu pengetahuan, pertengahannya kekal mengerjakan ibadah dan akhirnya adalah mauhibiyyah, yaitu turunnya pemberian/ karunia Allah”.
Maka ilmu pengetahuan itu untuk membukakan kehendak. Amal ibadah menolong segala apa yang dimaksud. Dan pemberian (anugerah Allah) menyampaikan kepada apa yang dicita-citakan.
Nama-nama lain ilmu Tasawuf itu antara lain: ilmu Batin, ilmu Qalbi (hati), ilmu Laduni, ilmu Mukasyafah, ilmu Asrar, ilmu Maknun, ilmu Hakikat, dan lain-lain.


FATWA-FATWA ULAMA' AHLUSSUNNAH TENTANG TASAWUF

Tasawuf (Tasawwuf) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.

 فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.

Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik? (Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47)

 Para ulama besar kaum muslimin sama sekali tidak menentang tasawuf, tercatat banyak dari mereka yang menggabungkan diri sebagai pengikut dan murid tasawuf, para ulama tersebut berkhidmat dibawah bimbingan seorang mursyd tarekat yang arif, bahkan walaupun ulama itu lebih luas wawasannya tentang pengetahuan syari’at Islam, namun mereka tetap menghormati para syaikh yang mulia, hal ini dikarenakan ilmu2 syari’at yang diperoleh dari jalur pendidikan formal adalah ilmu lahiriah, sedangkan untuk memperoleh ilmu batiniyah dalam membentuk “qalbun salim / akhlak yang mulia”, seseorang harus menyerahkan dirinya untuk berkhidmat dibawah bimbingan seorang mursyd Tarekat yang sejati. (yang silsilah keilmuannya jika dirunut keatas akan sampai kepada Nabi Muhammad SAW)

IMAM AL- GHAZALI
(450-505 H./1058-1111 M)
Imam Ghazali tentang tasawuf : “Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, hal. 131].

Dalam bukunya an-Nusrah an-Nabawiahnya mengatakan bahwa mendalami dunia tasawuf itu penting sekali. Karena, selain Nabi, tidak ada satupun manusia yang bisa lepas dari penyakit hati seperti riya, dengki, hasud dll. Dan, dalam pandangannya, tasawuf lah yang bisa mengobati penyakit hati itu. Karena dalam ilmu tasawuf konsentrasi mempelajari pada tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur’an al-karim. Pertama, selalu melakukan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt. Dan ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur, sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas.

DR. YUSUF AL-QARDHAWI

(Ketua Ulama Islam Internasional dan juga guru besar Universitas al Azhar – Beliau merupakan salah seorang ulama Islam terkemuka abad ini) didalam kumpulan fatwanya mengatakan : “Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian ruhaniah, ubudiyyah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu.”

Beliau juga berkata, “Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang marifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam ruhani, semua itu tidak dapat diingkari.”

EMPAT ORANG IMAM MAZHAB SUNNI, semuanya mempunyai seorang guru mursyd tarekat. Melalui mursyd tarekat tersebut mereka mempelajari Islam dalam sisi esoterisnya yang indah dan sangat agung. Mereka semua menyadari bahwa ilmu syariat harus didukung oleh ilmu tasawuf sehingga akan tercapailah pengetahuan sejati mengenai hakikat ibadah yang sebenarnya.

IMAM ABU HANIFAH (85 H -150 H)

(Nu’man bin Tsabit - Ulama besar pendiri mazhab Hanafi)
Beliau adalah murid dari Ahli Silsilah Tarekat Naqsyabandi yaitu Imam Jafar as Shadiq ra . Berkaitan dengan hal ini, Jalaluddin as Suyuthi didalam kitab Durr al Mantsur, meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah berkata, “Jika tidak karena dua tahun, aku telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.

IMAM MALIKI

(Malik bin Anas - Ulama besar pendiri mazhab Maliki) juga murid Imam Jafar as Shadiq ra, mengungkapkan pernyataannya yang mendukung terhadap ilmu tasawuf sebagai berikut :
“Man tasawaffa wa lam yatafaqa faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatasawaf faqad tafasaq, wa man tasawaffa wa taraqaha faqad tahaqaq”.
Yang artinya : “Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih Kebenaran dan Realitas dalam Islam.” (’Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, juz 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).

IMAM SYAFI’I (Muhammad bin Idris, 150-205 H)

Ulama besar pendiri mazhab Syafi’i berkata, “Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu:
1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.”
(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, juz 1, hal. 341)

IMAM AHMAD BIN HANBAL (164-241 H)

Ulama besar pendiri mazhab Hanbali berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka” (Ghiza al Albab, juz 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)

SYAIKH FAKHRUDDIN AR RAZI (544-606 H)

Ulama besar dan ahli hadits) berkata :
“Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan hati mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah pada seluruh tindakan dan perilaku .” (I’tiqad al Furaq al Musliman, hal. 72, 73)

IMAM AL MUHASIBI (243 H./857 M)

Imam al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok yang selamat” . Dan Allah yang lebih mengetahui bahwa satu itu adalah Golongan orang TASAWUF. Dia menjelaskan dengan mendalam dalam Kitab al- Wasiya hal. 27-32.

IMAM AL QUSHAYRI (465 H./1072 M)

Imam al-Qushayri tentang Tasawuf: “Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali wali- Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyaf).

Dan Dia membuka kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya .” [ar-Risalat al-Qushayriyyah, hal. 2]

IMAM NAWAWI (620-676 H./1223-1278 M)

Dalam suratnya al-Maqasid: “Ciri jalan sufi ada 5:
menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata menghindari ketergantungan kepada orang lain, bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit, selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, hal. 20]

IBNU KHALDUN (733-808 H)

Ulama besar dan filosof Islam berkata, “Jalan sufi adalah jalan salaf, yakni jalannya para ulama terdahulu di antara para sahabat Rasulullah Saww, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in. Asasnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan serta kesenangan dunia.” (Muqadimah ibn Khaldun, hal. 328)

IMAM JALALUDDIN AS SUYUTI

(Ulama besar ahli tafsir Qur’an dan hadits) didalam kitab Ta’yad al haqiqat al ‘Aliyyah, hal. 57 berkata, “Tasawuf yang dianut oleh ahlinya adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Ilmu ini menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi Saww dan meninggalkan bid’ah.”

TAJUDDIN AS SUBKI

Kitab Mu’iid an-Na’iim, hal. 190, tentang Tasawuf : “Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah”
Dia berkata pula : “Mereka adalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia”

IBNU ‘ABIDIN

Ulama besar, Ibn ‘Abidin dalam Rasa’il Ibn cAbidin (p. 172-173) menyatakan: ” Para pencari jalan ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut. Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka”. [Majallat al-Muslim, 6th ed., 1378 H, p. 24].

SYEIKH RASYID RIDHA

Dia berkata,”Tasawuf adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri danmempertanggung jawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi” [Majallat al-Manar, tahun pertama hal. 726].

MAULANA ABUL HASAN ALI AN-NADWI

Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi anggota the Islamic-Arabic Society of India and Muslim countries. Dalam, Muslims in India, , p. 140-146, “Para sufi ini memberi inisiasi (baiat) pada manusia ke dalam keesaan Allah dan keikhlasan dalam mengikuti Sunah Nabi dan dalam menyesali kesalahan dan dalam menghindari setiap ma’siat kepada Allah SWT. Petunjuk mereka merangsang orang-orang untuk berpindah ke jalan kecintaan penuh kepada Allah”
“Kita bersyukur atas pengaruh orang-orang sufi, ribuan dan ratusan ribu orang di India menemukan Tuhan mereka dan meraih kondisi kesempurnaan melalui Islam”

ABU ‘ALA AL MAUDUDI

Dalam Mabadi’ al-Islam (hal. 17), “Tasawuf adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul saw, di mana sesorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka (Cinta), dan seseorang meniadakan dari segala sesuatu selain cinta Allah dan Rasul” “Tasauf mencari ketulusan hati, menyucikan niat dan kebenaran untuk taat dalam seluruh perbuatannya.”
   
Seperti itulah pengakuan para ulama besar kaum muslimin tentang tasawuf. Mereka semua mengakui kebenarannya dan mengambil berkah ilmu tasawuf dengan belajar serta berkhidmat kepada para syaikh tarekat pada masanya masing-masing. Oleh karena itu tidak ada bantahan terhadap kebenaran ilmu ini, mereka yang menyebut tasawuf sebagai ajaran sesat atau bid’ah adalah orang-orang yang tertutup hatinya terhadap kebenaran Allah SWT.
Ringkasnya, belajar Tasawuf dengan memilih Tarekat yang benar, Tarekat yang mu’tabaroh (yang diakui keabsahannya di dunia Islam) dari segi silsilah guru dan ajarannya dari dahulu maupun sekarang, adalah sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran Islam, memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan meningkatkan kebahagiaan serta kedamaian.

Dengan ilmu Tasawuf manusia dapat lebih mengenal diri sendiri, dengan demikian akan lebih mengenal Tuhannya. Sehingga manusia mendapatkan keselamatan dari kebodohan dunia serta dari godaan keindahan materi. Dan hanya Allah SWT yang lebih mengetahui niat hamba-hamba-Nya yang tulus.
* * * * * * * * * * * * *
Laa ilaha illa allah
Tiada Tuhan kecuali Allah

Laa ma’buda illa allah
Tiada yang disembah kecuali Allah

Tasawuf Sarana untuk Menjawab Problem Moralitas Umat Islam



Judul Buku : Tasawuf Sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi
Penulis : Dr KH Said Aqil Siroj
Penerbit : Pustaka irVan, Tangerang
Cetakan : Kedua, 2008
Tebal : 473 halaman
Peresensi : Mashudi Umar*


Dunia tasawuf  bukan hanya sekedar perbincangan soal moralitas. Jika moralitas terpotret dari wujud perilaku manusia secara fisik, tasawuf menekankan hakikat moralitas itu sendiri. Pada dimensi tasawuf, sebuah moralitas masih dipersoalkan; apakah berdasarkan diri pada ketulusan, keikhlasan semata mengharap kerelaan Tuhan (mardhatillah) atau sebaliknya? Dunia lahiriah mungkin cukup dengan suatu tindakan konkret yang selaras dengan etika formal yang kemudian secara yuridis dianggap sah. Namun dunia batin adalah sebuah penjelajahan dan pelatihan yang terus menerus dilakukan tanpa henti, tanpa jeda dan putus asa.

Pembedaan antara lahiriah dan semesta batin memang sangat lembut dan halus (lathif). Dunia lahiriah mungkin saja mudah ditangkap karena memang tampak di mata. Akan tetapi siapa sangka, bahwa dunia batin begitu menyemesta, mendalam, berliku, dan penuh tebing rahasia. Meski demikian bukan berarti agama terlalu rumit untuk dipahami, sebagaimana Sabda Rasulullah, ‘ad-din yusron’ (agama itu kemudahan).

Karena agama melihat manusia pada dimensi tubuh dan jiwanya. Agama merumuskan tatanan, aturan serta petunjuk yang bersifat konprehensif dan holistik bagi tubuh dan jiwa manusia. Artinya bahwa manusia mempunyai keharusan-keharusan ntuk berdisiplin sekaligus menyadari bahwa jiwanya  secara mutlak membutuhkan keilahian.

Dalam dunia tasawuf, ada pepatah yang sangat populer “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu”, artinya barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia akan mengetahui tuhannya.

Tasawuf sebenarnya merupakan bagian dari penelaahan rahasia dibalik teks-teks Ilahiah. Secara ringkas Al-Qur’an menjelaskan konsepsi tasawuf dalam bentuk dorongan manusia untuk menjelajahi dan menundukkan hatinya serta tidak tergesa-gesa untuk puas pada aktivitas dan ritual yang bersifat lahiriah.

Menurut Imam Jakfar Al-Shadiq, cara mengenali dan mendekati Allah adalah melalui mujahadah atau kesungguhan hati-sebagaimana perilaku para ahli makrifat.

Dengan demikian, bisa dikatakan tasawuf adalah suatu “revolusi spritual” (saurah ruhiyah), tidak seperti dimensi keagamaan lainnya, tasawuf akan selalu memperbaharui dan menyemai kekosongan jiwa manusia. Kelimpahruahan materi yang mewarnai kehidupan dunia bukanlah dianggap hal yang sangat penting. Sebaliknya kelimpahruahan hatilah yang menjadi penopangnya. Sang sufi adalah mereka yang kaya hatinya, tapi tidak pasif terhadap kenyataan hidup. Kehidupan di dunia ini bagi sang sufi adalah sebuah fakta yang tidak bisa dihindari dan diingkari.

Teladan-teladan kesufian bisa dilihat dalam sejarah Islam seperti khalifah Umar Ibn Abdul Aziz, seorang raja yang bersikap asketis atau zuhud, Jabir Ibn Hayyan, Junaid Al-Baghdadi atau dikenal dengan pangeran sufi, Abu Hasan Asy-Syadzili dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa para sufi sesungguhnya tidaklah berjarak total dari dunia. Sang sufi hanya memagari dunia melalui medium training sehingga tercapai ketenangan dan keteduhan jiwa (an-nafsu al-muthmainnah).

Penjelajahan yang begitu mendalam yang dilakukan para pakar sufi inilah yang kerapkali memicu perbedaan pandangan. Perbedaan ini terjadi bukan karena pertentangan ide, melainkan lebih pada perbedaan dalam pendalaman hati menuju pengenalan dan kedekatan kepada Allah. Logika yang linear dan baku barangkali akan sulit menerima kata-kata yang muncul yang dianggap kontroversi seperti perkataan Al-Hallaj “ana al-haq” (Akulah Allah Yang Maha Benar) atau ucapan Abu Yazid Al-Busthami “subhani” (Mahasuci Aku). Kata-kata yang terucap spontan dari hasil kondisi ekstasis yang dialami sang sufi ini disebut syatahat. Sementara syatahat itu sendiri sering menimbulkan reaksi dan bahkan juga kecaman dari sebagian orang yang tidak senang.

Dalam sejarah Islam, bagaimana kita bembaca Al-Hallaj, akan paham hululnya itu harus menanggung resiko eksekusi yang luar biasa keji dari penguasa saat itu. Putusan eksekusi ini ternyata berdasarkan legetimasi dari para fuqaha mazhab Zhahiri yang dikenal sangat tekstualis. Sesungguhnya Al-Hallaj dikenal sebagai sufi yang sangat berpihak kepada rakyat kecil dan membela kaum minoritas seperti Syi’ah Qaramithah dan kaum nom-Muslim.

Di era modern ini, berbagai krisis menimpa kehidupan manusia, mulai dari krisis sosial, krisis struktural sampai pada krisis spritual. Modernitas dengan segenap kemajuan tekhnologi dan pesatnya industrialisasi membuat manusia kehilangan orientasi. Kekayaan materi kian menumpuk, tapi jiwa dibiarkan kosong. Seiring dengan logika dan orientasi yang kian modern, kerja dan materi lantas menjadi aktualisasi kehidupan masyarakat.

Ekses negatif dari modernitas inilah yang menjadi salah satu pemicu bagi tumbuhnya hasrat pada spritualisme. Ketika kehidupan begitu melelahkan, kebudayaan melahirkan kegersangan ruhaniah dan pendulumpun berbalik. Spritualisme menjadi sangat digemari oleh mereka yang dahulu menolak prinsip-prinsip ruhani dalam hidup. Manusia lantas menggemari kearifan tradisional yang mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan pada dimensi fitrahnya yang menebar harum semerbak hidup bermakna. Sehingga dalam Islam tasawuf sebagai primadona.

Disamping membahas soal tasawuf, buku ini dilengkapi dengan wacana-wacana kontemporer untuk menambah dan mengemplementasikan dunia tasawuf ke realitas sosial. Seperti makna terorisme dan jihad yang belakangan ini marak kembali, ini penting diaktualisasikan pemahamannya, supaya tidak salah memahami bagi umat Islam. menurut pandangan Kiai Said, Islam diturunkan ke bumi ini sebagai pedoman untuk umat manusia dalam mengemban misi idealnya sebagai khalifah Allah.

Dengan kata lain, Islam dituntut untuk selalu menjaga keharmonisan hidup di tengah karakter yang ada dalam dirinya: ifsad fil-ard (cendrung membuat kerusakan dimuka bumi) dan safk al-dimak (berpotensi konflik antar sesamanya). Sehingga cita-cita Islam sebagai rahmat lil’alamin benar-benar terwujud di muka bumi ini. Kehadiran buku ini penting untuk dibaca dan diaktualisasikan dalam kehidupan nyata baik oleh mahasiswa, masyarakat, pendidik dan pelaku tasawuf itu sendiri sebagai bahan referensi dan kekayaan wacana. 

*Peresensi adalah mantan redaktur eksekutif majalah AL-FIKR IAI Nurul Jadid Paiton, Probolinggo



Rabu, 17 Agustus 2011

TENTERAMKAN JIWA DENGAN BERZIKIR KEPADA ALLAH SWT

Pondok Pesantren Suryalaya-Tasikmalaya-Indonesia
Allah SWT berfirman:

ألا بذكر الله تطمئن القلوب

Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah jiwa (hati) menjadi damai (tenteram)

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ

“Tidaklah kalian ketahui bahwa hati hamba-hamba Allah SWT yang beriman itu dibahagiakan oleh Allah dengan banyak berdzikir kepada-Nya” (QS. Al-Hadid:16)
Bulan suci Ramadhan merupakan salah satu cara Allah memberikan kebahagiaan kepada hamba-hamba-Nya; terutama kebahagiaan batin, yaitu melalui peningkatan kualitas iman dan taqwa. Sementara itu di antara sarana untuk meningkatkan mutu dan kualitas keimanan dan ketaqwaan adalah berdzikir kepada Allah. Karena itulah, pada bulan suci ini umat Islam sangat dianjurkan untuk memperbanyak ibadah di antaranya adalah dzikir.

Standar dzikir yang diharapkan adalah tidak hanya sekadar gerakan lisan namun memiliki bekas dan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Dengan dzikir yang banyak diharapkan mampu menghadirkan nur (cahaya) Allah SWT, begitu pula memberikan ketenangan dan ketenteraman jiwa. Karena itu, semakin kuat iman seseorang maka akan semakin banyak pula dzikirnya kepada Allah SWT.
Dzikir kepada Allah juga menjadi alat hamba yang beriman untuk menghapus dosa-dosanya sebagaimana janji Allah SWT dalam Al-Quran:

وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Allah mempersiapkan pengampunan dosa dan ganjaran yang mulia bagi kaum muslimin dan muslimat yang berdzikir.” (QS. Al-Ahzab:35)
Sebagaimana dzikir kepada Allah SWT merupakan sarana untuk menerangi pikiran dan mental guna mencapai taraf kesadaran ketuhanan yang Maha Tinggi. Lebih jauh lagi dzikir juga akan membawa ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan hidup sebagaimana firman-Nya:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan berdzikir maka hati akan menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’ad: 28).
Pentingnya berdzikir juga diungkapkan dalam sebuah hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Darda Nabi saw bersabda:

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ قَالُوا بَلَى قَالَ ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى

“Maukah aku beritahukan sebaik-baik amal dan lebih tinggi derajatnya dan lebih bersih di sisi Raja (Allah) kalian, dan sebaik-baik pemberian daripada emas dan uang, dan sebaik-baik kalian dari bertemu musuh lalu kalian memenggal leher mereka atau kalian yang terpenggal, mereka berkata: mau, nabi bersabda: Dzikir kepada Allah SWT”. (Bukhari Muslim)
Begitu pun dengan berdzikir dapat membangkitkan selera ibadah serta menuju akhlaq yang mulia. Karena dzikir selain merupakan pekerjaan hati dengan selalu mengingat Allah SWT setiap saat dan dalam semua kondisi. Namun juga merupakan kerja lisani (ucapan), kerja aqli (menangkap bahasa Allah di balik setiap gerak alam), dan kerja jasadi(dengan melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya).
Idealnya dzikir itu berangkat dari kekuatan hati, ditangkap oleh akal, dan dibuktikan dengan ketaqwaan, amal nyata di dunia ini. Karena itu praktek dzikir tidak terbatas pada satu kondisi dan tempat tertentu; kapan dan dimana saja dapat dilakukan bahkan dalam kondisi hadats (tidak bersuci) juga boleh dilakukan; baik dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring seperti firman Allah:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار
“(yaitu) orang-orang yang selalu berdzikir (mengingat) kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”. (QS. Ali Imran: 191).
Baik dzikir yang dilakukan secara formal atau non formal, di Masjid, di Mushalla, di rumah, di kantor, atau di jalanan sekalipun; Allah berfirman:

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang” (QS. An-nur: 36),
dan bisa juga dilakukan sendiri-sendiri atau berjamaah (dalam majelis). Dengan berdzikir berarti mengundang rahmat Allah SWT, dan doa para malaikat. Dengan banyak berdzikir kepada-Nya, maka sesuai janji Allah, Dia akan menyelamatkan umat dari semua bentuk kezhaliman, kegelapan dan kemaksiatan. Dalam hadits Abu Hurairah dan Abu Said Al-Khudri dijelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah duduk suatu kaum yang berdzikir menyebut nama Allah kecuali akan dinaungi para malaikat, dipenuhi mereka oleh rahmat Allah dan diberi ketenangan, karena Allah menyebut-nyebut nama mereka di hadapan malaikat yang ada di sisinya.” (Muslim, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dan dengan berdzikir kepada Allah SWT, maka Allah SWT juga akan selalu bersama orang yang berdzikir, dan dengan demikian pertolongan dan rahmat Allah SWT juga akan selalu tercurahkan kepadanya. Sementara itu, Bulan suci Ramadhan ini merupakan kesempatan berharga bagi setiap muslim untuk meningkatkan volume dzikir kepada Allah SWT guna menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Itulah beberapa hal penting yang mungkin dapat kita jadikan landasan untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia ini dan juga sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan akhirat nanti.

Selasa, 16 Agustus 2011

Jangan Buka Puasa Dengan Air Es

Semua umat muslim yang menjalankan ibadah  puasa disarankan untk tidak berbuka dengan air es karena dapat menyebabkan konstraksi pada lambung.


Demikian disampaikan Sekretaris Ikatan Dokter Indonesia Kalimantan Barat Dr Nursyam MKes.
“Biasanya saat berbuka umat muslim langsung menghilangkan dahaga dengan air es, saya sarankan sebaiknya hal tersebut jangan dilakukan, karena dapat menyebabkan konstraksi pada lambung,” katanya 
Dia menyarankan saat berbuka puasa ada baiknya dibuka dengan meminum air manis hangat kuku untuk menstabilkan lambung yang kosong selama menjalankan puasa.
Setelah lima sampai sepuluh menit, silahkan minum air es karena kondisi perut sudah stabil. Namun alangkah baiknya jika diisi dulu dengan makanan yang manis seperti kurma dan kolak,” tuturnya.
Nursyam menjelaskan, selama puasa 14 jam lambung dalam keadaan kosong. Jika langsung diisi dengan air dingin, maka lambung akan terkejut dan menyebabkan konstraksi.
Mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kubu Raya itu menambahkan, dalam menjalankan puasa, pada saat akan tidur malam dan saat sahur ada baiknya memperbanyak minum air putih sampai dua liter.
Selain itu dengan memperbanyak makan sayur dan buah berserat juga bisa menjaga daya tahan tubuh serta memperlambat lapar. Selain itu, makanan berserat juga bisa menahan daya tampung air di dalam lambung.