لَوْاَنَّكَ لَاتَصِلُ اِلَيْهِ اِلَّا بَعْدَ فَنَاءِ مَسَاوِيْكَ وَمَحْوِ دَعَاوِيْكَ لَمْ تَصِلُ اِلَيْهِ اَبَدًا وَلَكِنْ اِذَا اَرَادَ اَنْ يُوَصِّلَكَ اِلَيْهِ غَطَّى وَصْفَكَ بِوَصْفِهِ وَنَعْتَكَ بِنَعْتِهِ فَوَصَّلَكَ اِلَيْهِ بِمَا مِنْهُ اِلَيْكَ لَابِمَا مِنْكَ اِلَيْهِ.
Jika sekiranya engkau tidak dapat wushul kepada Allah kecuali setelah fananya segala kemauan syahwat dan bersihnya sifat pengakuanmu, maka engkau tidak akan dapat wushul selama-lamanya. Akan tetapi jika Allah berkehendak mewushulkanmu kepada-Nya, maka Allah menutup sifatmu dengan sifat-Nya dan kebiasaanmu dengan kebiasaan-Nya. Allah mewushulkanmu kepada-Nya dengan sesuatu dari-Nya kepadamu bukan dengan sesuatu darimu kepada-Nya.
Dalam buku manaqibnya, Lujjaini Daany, As-Syekh Abdul Qodir al-Jilani r.a berkata: “Seseorang hatinya tidak akan dibuka untuk berma’rifat dengan Allah SWT kecuali mereka yang hatinya kosong dari pengakuan manusiawi dan keresahan kehidupan”.
Konsep yang ditawarkan asy-Syekh Ahmad Ibnu Athaillah r.a di atas; Apabila Allah berkehendak mewushulkanmu kepada-Nya maka Allah menutup sifatmu dengan sifat-Nya dan kebiasaanmu dengan kebiasaan-Nya, Allah mewushulkanmu kepada-Nya dengan sesuatu dari-Nya kepadamu bukan dengan sesuatu darimu kepada-Nya. Maksudnya; konsep itu adalah konsep secara hakikat. Yakni ketika Allah berkehendak membuka hati hamba-Nya untuk menerima nur ma’rifat dari-Nya, maka Allah yang menurunkan nur itu dari atas ke bawah. Artinya pemahaman akan urusan ketuhanan itu semata hanya terbit dari kehendak-Nya yang azali.
Adapun konsep yang ditawarkan oleh asy-Syekh Abdul Qodir al-Jilani r.a adalah konsep secara syar’i. Yakni metode yang harus dilakukan seorang hamba supaya hatinya mendapatkan futuh untuk menerima nur ma’rifat dari Ma’budnya. Kehendak tersebut harus dimulai oleh seorang hamba dari bawah mendaki keatas untuk menggapai karunia-karunia tuhannya.
******************
Seorang hamba wajib memulai terlebih dahulu untuk wushul kepada tuhannya. Mereka harus mendaki ke atas, dengan ibadah lahir untuk mengembarakan ruhaniyah. Namun demikian ibadah lahir itu hanya sebagai perwujudan pengabdian yang hakiki kepada-Nya. Dengan melaksanakan mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah. Mereka mensucikan diri baik lahir maupun batin dari segala kotoran basyariyah yang menjadikannya terhalang wushul kepada Allah Rabbul Alamiin.
Dengan mujahadah tersebut, seperti orang melaksanakan meditasi, mereka berusaha mengembalikan seluruh kehendak hadits secara manusiawi untuk dipertemukan kepada kehendak Allah yang azaliyah. Apabila di dalam perjalanan itu Allah berkehendak membuka pintu hati hamba-Nya, maka kehendak-Nya yang azali itu akan diturunkan ke bawah sehingga dua kehendak yang berbeda itu bertemu di tengah jalan. Kehendak yang satu mendaki dan yang satunya menurun.
Allah Maha Kuasa dengan segala kehendaknya: “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”. QS:81/29. Jika usaha seorang hamba dibiarkan saja tanpa ada fasilitas dan penerimaan dari atas sebagai karunia Allah, atau hanya dengan usahanya sendiri seorang hamba berusaha dapat wushul kepada tuhannya. Dengan itu mereka harus membersihkan segala pengakuan nafsu dan keresahan-keresahan hatinya, maka selamanya mereka tidak akan dapat wushul kepada tuhannya.
Sebabnya; “Apabila Allah berkehendak mewushulkanmu kepada-Nya, Allah menutup sifatmu dengan sifat-Nya dan kebiasaanmu dengan kebiasaan-Nya, maka Allah mewushulkanmu kepada-Nya dengan sesuatu dari-Nya kepadamu bukan dengan sesuatu darimu kepada-Nya”. Ketika manusia mampu memfanakan kemauan dan amaliyahnya yang hadits, maka sifat basyariyah yang fana dalam dimensi fana itu akan menjadi sifat yang qodim di dalam kefanaan. Hal itu bisa terjadi, karena yang fana telah ditutupi oleh sifat-sifat-Nya yang qodim. Itu sesungguhnya semata-mata terjadi karena kehendak Allah yang azali. Meski secara lahir kehendak yang azali itu seakan terbit dari kehendak manusia yang hadits.
Allah yang menciptakan seluruh makhluk dengan kehendaknya yang azali. Ketika makhluk itu berkehendak dalam dimensi yang hadits, maka kehendak itu tentunya terbit dari kehendak-Nya yang azali tersebut. Hanya saja karena manusia sebagai kholifah bumi. Dengan hak huriyatul irodah atau kebebasan memilih yang mereka miliki. Manusia harus berkehendak dan berbuat. Bagi orang yang matahatinya tertutup, kehendaknya itu seakan tidak ada hubungan sama sekali dengan kehendak Penciptanya. Hal itu seperti itu bisa terjadi, penyebabnya karena matahati orang tersebut belum mendapatkan futuh dari tuhannya.
Pahit Selalu Obat, Meski Obat Tidak Selalu Pahit.
Manusia harus memulai dengan kehendak dan amal yang dilakukan. Mereka harus bermujahadah di jalan Allah untuk membersihkan hatinya dari kotoran manusiawi supaya Allah membuka pintu hati itu untuk menerima nur ma’rifat dari-Nya. Padahal orang tidak dapat membersihkan dirinya dari kotoran kecuali setelah hati itu terlebih dahulu kotor. Jika jiwa manusia tidak kotor, apa yang harus dibersihkan darinya ???.
Oleh karena itu keresahan hidup di dunia, seperti akibat difitnah, dihina dan dihianati. Keresahan seperti itu di dalam dada seorang hamba yang beriman mutlak harus ada. Meskipun keresahan itu sejatinya terbit dari akibat perbuatan dosa yang mereka lakukan. Keresahan hidup itu adalah obyek yang harus dibersihkan dari hati orang beriman. Namun demikian keresahan itu harus benar-benar mampu dibersihkan. Jika tidak, berarti hati mereka selamanya tidak akan mendapatkan futuh dari tuhannya.
Ketika seorang hamba yang arifin sadar bahwa ia harus berbuat benah-benah. Mereka harus menggosok segala keresahan yang ada di dalam hatinya, baik keresahan yang terbit akibat perbuatan maksiat maupun akibat kemusykilan hati terhadap prilaku dan sikap umatnya yang terkadang menyakitkan hati. Mereka menghadapkan kesakitan dan kekecewaan hati itu kepada kemurahan Allah. Menggosok penyakit hati itu dengan dzikir dan mujahadah, mengembalikan segala keresahan di alam fana kepada hakekat pengaturan-Nya secara azaliyah di alam qodim. Hasilnya, keresahan itu sedikit demi sedikit akan mengalir keluar dari tempatnya bagaikan air sungai yang tercemar keluar menuju muara.
Keresahan hati itu kemudian ditampung oleh keluasan air samudera yang suci lagi jernih. Ketika air yang kotor dan najis itu telah bersatu dalam kesatuan air samudera yang luas, maka yang kotor dan najis itu akan kembali menjadi bersih dan suci. Ketika keresahan hati yang sempit telah ditampung oleh ilmu Allah yang maha luas, maka keresahan sesaat akan menjelma menjadi kedamaian yang abadi. Keadaan tersebut bukan karena najis yang sedikit itu menjadi hilang ketika ditelan air samudera, akan tetapi menjadi tawar setelah menjadi bagian dalam kesatuan yang tidak terbatas.
Itulah gambaran isi dada seorang ulama sejati. Setiap saat harus menampung kesusahan umatnya sehingga isi dadanya hanya dipenuhi kotoran manusiawi. Rongga dada mereka hanya dipenuhi urusan dan kesusahan orang lain sampai-sampai melupakan kesusahannya sendiri. Namun demikian, apabila proses kesucian hati ternyata harus dimulai dari kotoran basyariyah, maka kotoran yang mengotori hati seorang hamba yang arifin tersebut, setelah kotoran itu mampu membangkitkan kesadaran yang hakiki akan kedho’ifan dan kehina’an diri, berarti kotoran itu sejatinya adalah rahmat yang didatangkan dari kehendak yang azali pula.
Apabila dengan kotoran manusiawi itu ternyata mereka menjadi orang yang tawadhu’ di hadapan Allah maupun kepada sesama makhluk. Kotoran itu mampu menumbuhkan rasa takut yang kuat kepada keadilan Rabbul Alamin. Membangkitkan harapan dalam kekuatan azam untuk bertaubat dengan taubatan nasuha. Melahirkan semangat untuk berbuat benah-benah dan meningkatkan amal sholeh serta pengabdian. Maka datangnya kotoran itu akan menjadi lebih baik daripada datangnya kebersihan hati orang lalai yang dapat mengakibatkan tertutupnya pintu taubat dan malas menjalankan ibadah.
Nabi Adam a.s mendapat musibah dengan diturunkan oleh Allah dari maqom kemuliaan di surga kepada maqom kehinaan di dunia adalah sebab dosa yang diperbuatnya. Demikian juga Nabi Yunus a.s ditahan di dalam perut ikan di dalam lautan dalam waktu yang lama, sebab kesalahan yang diperbuatnya dan juga kaum Tsamud dihancurkan hingga sama rata dengan tanah. Itu semua akibat dosa-dosa yang mereka perbuat. Allah telah mengabarkan keadaan kaum Tsamud dengan firman-Nya: “Maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyamaratakan mereka (dengan tanah)”. QS:91/11.
Dosa pertama dan kedua seperti juga dosa yang ketiga. Meskipun dosa-dosa tersebut sama-sama menjadikan sebab datangnya musibah, namun musibah yang diakibatkan dosa pertama dan kedua adalah musibah yang menjadikan hati seorang hamba menjadi suci dan bersih. Sedangkan dosa yang ketiga adalah dosa yang menyebabkan tertutupnya pintu do’a dan pintu taubat. Dosa yang pertama dan kedua adalah dosa yang terbit dari hati seorang hamba yang beriman dan tidak berdaya sedangkan dosa yang ketiga adalah dosa yang muncul dari hati orang yang kafir dan menentang.
Meskipun ketiganya sama-sama dosa yang dapat berakibat datangnya musibah, tetapi oleh karena dosa tersebut terbit dari hati yang berbeda, hasil akhirnya juga menjadi berbeda. Musibah yang pertama dan kedua menjadi sebab seorang hamba menjadi mulia sedangkan musibah yang ketiga menjadi sebab kehancuran suatu kaum hingga rata dengan tanah. Namun demikian, hendaknya setiap individu takut kepada Allah untuk berbuat dosa dan kesalahan. Hal itu disebabkan, ketika seseorang sudah terlanjur berbuat dosa dan kesalahan, berarti ia telah mendaftarkan dirinya menjadi “Orang daftar tunggu”. Orang yang berbuat dosa tersebut hanya menunggu dua kemungkinan, menerima musibah di dunia atau siksa yang pedih di akhirat, kecuali apabila Allah berkehendak mengampuni dosa-dosa orang tersebut.
Meskipun Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Rahmat Allah lebih besar daripada dosa hamba-Nya. Namun demikian, tidak ada seorangpun dapat mengetahui bahwa dosa-dosa yang mereka perbuat akan mendapat pengampunan dari-Nya. Yang pasti, tidak ada satupun perbuatan dosa ditolak dan lepas dari perhitungan di hadapan keadilan-Nya. Dosa sekecil apapun, di hadapan keadilan Allah akan diperhitungkan dengan seadil-adilnya. Kita berlindung dengan-Nya dari kejahatan dan kejelekan yang terjadi. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS.An-Nur(24);21)
Yang mengotori hati seorang hamba adalah kehendaknya sendiri dalam mengikuti langkah-langkah setan di dalam perbuatan keji dan mungkar. Sedangkan yang mensucikan hatinya adalah pengampunan dan rahmat Allah serta kehendak-Nya di dalam memfasilitasi segala amal ibadah. Meskipun seorang hamba berusaha sekuat tenaga untuk mensucikan hatinya dari akibat dosa yang telah diperbuat, seandainya tidak ada karunia Allah kepadanya, selamanya hati itu tidak akan kembali menjadi suci seperti sediakala.
Jadi, jalan menuju wushul itu bukan hanya dengan ibadah dan mujahadah saja, tetapi juga dengan merasa berdosa sehingga orang bertaubat kepada Allah. Namun demikian, dengan jalan-jalan tersebut manusia harus mampu fana diri di hadapan Allah. Di dalam perjalanan itu mereka harus mampu mengembalikan segala kehendak dan amal yang hadits kepada kehendak dan amal Allah yang qodim. Apabila dengan itu Allah berkehendak menurunkan futuh kepada hamba-Nya, maka seorang hamba dengan segala pengembaraannya akan berhasil wushul kepada tuhannya.
Namun demikian, yang menjadikan sebab wushul itu bukan kehendak dan amal ibadah seorang hamba, tetapi karena kehendak dan amal ibadah itu sejatinya hanya terbit dari kehendak Allah yang azali. Tanda-tandanya, ketika seorang hamba mampu melebur kehendaknya yang hadits kepada kehendak Allah yang qodim dalam kesatuan amal yang dilakukan., maka berarti amal tersebut dilakukan oleh seorang hamba yang akalnya di bumi dengan menggunakan konsep bumi sedangkan hatinya di langit dengan menggunakan konsep langit. Itulah tanda-tanda manusia yang sempurna. (malfiali, Maret 2009)
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar