Pertanyaan tentang hakikat teknologi sebenarnya sudah muncul sejak zaman Yunanikuno (Aristoteles). Saat itu dikenal terma filsafat: techne dan poiesis. Heidegger mengungkap hal ini dalam bukunya The Question Concerning Technology (1977). Techne dapat dijelaskan sebagai pengetahuan tentang cara memproduksi atau mentransfomasikan, sedangkan poiesisadalah sebuah penyingkapan, yang dengannya sesuatu yang baru hadir dimuka bumi. Pada masa modern filsafat teknologi tidak hanya membahas techne, poiesisdan kaitannya dengan dunia-kehidupan saja, tapi juga artifak atauteknofak yang tak dapat dipungkiri mempengaruhi kehidupan dan jugakesadaran.
Heideggeradalah salah satu filsuf yang membuka diskursus filsafat teknologi.Karakter dan hakikat teknik (teknologi) bahkan sudah dibicarakan olehHeidegger dalam buku besarnya Being and Time(1927), yang kemudian dtuntaskan dalam bukunya The Question Concerning Technology(1977). Menurut Heidegger hakikat teknologi adalah bukan sesuatu yang bersifat teknologis, melainkan enframing;membuat, mencipta atau mentransformasikan (yang kemudian mengungkapkansesuatu yang baru). Yang teknologis kemudian dimengerti bukansemata-mata yang teknis tetapi juga yang reflektif filosofis.
Refleksi filosofis tentang teknologi telah mencipta tanggapan yang berbeda-bedatentang hakikat teknologi. Di Amerika misalnya dikenal sebuah gerakanatau perkumpulan anti-teknologi. Gerakan ini bernama Neo-Luddite. Namaini berasal dari Luddisme, yaitu sebuah gerakan anti industrialisasi diInggris pada awal abad 19. Gerakan ini sering dikisahkan sebagaigerakan merusak mesin yang dilakukan oleh para buruh karena mengancamlahan kerjanya, salah satunya diperkirakan orang yang bernama Ned Ludd.Demikianlah Luddisme dikenal. Sekarang kita mengenal neo-ludditesebagai gerakan anti teknologi. Gerakan yang mempunyai manifesto bahwa:biosphere itu lebih utama dari technosphere. Mesinmisalnya menurut Neo-Luddite merupakan dekadensi dalam peradaban. Iatelah mengambil alih kerja (keterampilan tangan/seni)manusia—memproduksi secara massal. Gerakan ini bahkan menolakproduksi/percetakan buku atau kertas—padahal dikenal sebagai gerakankaum intelektual. Alasannya, produksi buku (kertas) secara masal telahmenghabiskan hutan-hutan di Eropa. Selain itu menurut mereka budayabaca buku telah menghilangkan tradisi bercerita atau mendongeng.
Filsafat teknologi tentu tidak terbatas pada bagaimana relasi manusia dengan artifak (dan teknofak) itu dapat dijelaskan. Jacques Ellul, seorangpemikir dari Perancis dalam bukunya The Technological Society (1964) melihat teknologi (lebih spesifik dunia teknik) sebagai entitas yang otonom, manusia tidak bisa mengontrol dan mengatasi kemajuan teknik.Hanya teknologi yang dapat mengontrol dan mengatasi dirinya sendiri. Dengan kata lain, implikasi etis, sosiologis dan ekologis dari kemajuan teknikhanya dapat diatasi oleh teknik itu sendiri. Untuk mengatasi persoalan limbah industri misalnya diperlukan teknologi baru untuk mengolah atau mengatasi permasalahan limbah. Sehingga teknik terus menerus maju untukmengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya. Ia bergerakdengan sendirinya layaknya sebuah organisme–bagian dari laju evolusikehidupan. Karena itu ia tidak dapat dikontrol, seperti monsternya Frankenstein.
BahkanTeknologi di sini diandaikan seperti roh absolut Hegel yang bergeraksecara masif mengontrol dan menguasai dunia-kehidupan. Tidak ada kekuatan selain dunia teknik itu sendiri. Karena teknik adalah syaratbagi kehidupan. Dengan kata lain orang yang tidak menggunakan atau antiteknologi (teknik) akan dengan sendirinya tersingkir dan tereliminasidari dunia-kehidupan.
Gagasan Ellul tentu saja terkesan ambisius. Mengapa kita tidak bisa mengontrolnya? Bukankah semua itu kreasi manusia? Banyak pemikir melihat bahwa determinisme teknik adalah konsekuensi dari ideologi modernisme, yang di dalamnya terdapat gagasan ideologis tentangkemajuan dan perubahan. Sehingga gagasan deterministik mengandaikan sebuah kondisi sejarah yang tak terelakkan, kita hidup dalam sebuah keniscayaan sejarah yang menempatkan dunia teknik sebagaisyarat-syaratnya.
DonIhde, ahli fenomenologi dari Amerika menanggapi dengan berbeda soal determinisme ini, bahkan dalam beberapa hal menolaknya. Ia mengupaster lebih dahulu relasi teknologi dan kebudayaan manusia. Argumendiawali dengan penjelasan tentang relasi hermeneutis dalam kontekskultural, yaitu sebuah interpretasi yang terjadi ketika suatu budayamenangkap atau menerima artifak teknologi kebudayaan lain. Don Ihdemelihat bahwa ada kegiatan hermeneutis ketika teknologi sebagaiinstrumen kultural dimaknai dan diinterpretasikan secara berbeda; Yaituketika terjadi transfer teknologi (Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth, 1990: 125).
Nilai praktis teknologi dalam proses transfer teknologi dapat diinterpretasikan secara berbeda bahkan tidak dimengerti. Namun bila nilai praktis dapat dimengerti, proses transfer teknologi menjadi mudah. Dapat dikatakan tidak ada kegiatan hermeneutis. Orang PapuaNugini misalnya dapat mengkonversikan pisau/kapak dari batu menjadi pisau/kapak dari besi karena nilai praktis yang dapat dimengerti atausama. Berbeda ketika mereka pertama kali melihat senapan. Mereka tidakmengerti nilai praktis senapan. Perlu adanya kegiatan hermeneutis sebelum senapan menjadi penting dan berguna. Jadi sama seperti kita pertama kali melihat komputer atau teknologi lainnya. Orang yang tidak mengerti nilai praktis teknologi tentunya akan bertanya-tanya ketikamelihat benda teknologi tersebut.
Nilai praktis memberikan persepsi yang berbeda dalam melihat teknologi.Setiap budaya misalnya mempunyai teknologi yang sama, namun mempunyai nilai praktis yang berbeda. Di Cina pada awalnya bubuk mesiu digunakan untuk petasan, perayaan-perayaan, berbeda dengan di Barat yang menggunakan bubuk mesiu untuk senjata, peperangan. Begitu juga tenaga angin (kincir angin), ia juga sama-sama dipakai di Barat dan juga diTimur (Iran). Namun nilai praktisnya berbeda, di Barat tenaga angin membawa banyak kegunaan, sedangkan di Iran hanya untuk tenaga irigasi.Jadi setiap budaya mempunyai ekspresi berbeda tentang teknologi yang digunakannya. Masing-masing mempunyai nilai praktisnya sendiri.
Berdasarkan interpretasi antropologis, Don Ihde kemudian menyimpulkan bahwa teknologi itu inheren dengan kebudayaan. Bila kita melihat contoh diatas benarlah bahwa setiap artifak kebudayaan itu mengandung nilai teknologisnya sendiri. Setiap budaya menggunakan instrumen teknologi(artifak) sesuai dengan tradisi yang diturunkan, dan ia bersifat unik.Karena itu teknologi inheren dengan budaya itu sendiri. Maka pertanyaanpun beralih, apakah budaya itu dapat dikontrol atau tidak? Atau apakah budaya itu bersifat determinisitik?
Tentu tidak semudah itu mengatakan bahwa apakah budaya itu dapat dikontrol atau tak dapat dikontrol (deterministik). Kata kontrol dalam konteksini bermasalah. Karena dalam nalar Don Ihde relasi manusia-teknologi(budaya) sudah mengandaikan adanya kegiatan “mengontrol” dan“dikontrol” (Technology and the Lifeworld, 1990: 140). Untuk itu budaya-teknologi tidak dapat dipertanyakan apakah ia dapat dikontrol atau tidak. Teknologi bukanlah monster yang berdiri bebas dan otonom. Karena ia digunakan dan bersifat intensional, artinya manusia mempunyai kebebasan untuk mengontrol dan dikontrol. Dalam konteks inilah Don Ihde menolak asumsi metafisika deterministik dari teknologi.
Ketika setiap budaya mempunyai ekspresi yang berbeda tentang teknologi, maka teknologi dipahami bersifat non-netral. Bahkan Ihde melihat bahwa teknologi itu bersifat ambigu. Ketika teknologi dimaknai sebagai kode-kode budaya maka ia pun dapat dimaknai secara berbeda. Karenanyateknologi sebagai bagian inheren dari budaya bersifat kontekstual dan mempunyai ciri multistabil (Technology and the Lifeworld,1990: 144). Multistabilitas ini dapat dipahami sebagai pandangankhas/unik setiap budaya dalam memahami dan menjelaskan dunianya. Jadirelasi teknik dan relasi hermeneutis setiap budaya dalam menjelaskan dan memahami dunia itu berbeda-beda.
Karena pengalaman kebudayaan berbeda-beda maka persepsi tentang teknologi punberbeda. Mulstabilitas yang terjadi pada relasi manusia-teknologi inidapat dicontohkan dalam sistem navigasional. Orang Barat mempunyaisistem yang baik untuk navigasi kapal, tapi tetap tidak bisamentransfer teknologi navigasionalnya ke suku-suku di Pasifik Selatan.Artinya suku di Pasifik Selatan itu tetap tidak mengerti teknologinavigasional orang Barat yang bersifat hermeneutis/representasional(penggunaan kompas misalnya). Mereka tetap mempunyai teknologinyasendiri, seperti membaca arah lewat pola-pola ombak atau polabintang-bintang (relasi kemenubuhan).
Gagasan determinisme teknologi tak dapat dimungkiri juga terkait dengan fenomena kesadaran dan relasinya dengan artifak-artifak teknik.Habermas misalnya melihat bahwa kemajuan teknik (teknologi) akhirnya menentukan kesadaran masyarakat modern. Self-understandingmasyarakat modern tentang dunianya menurut Habermas dimediasikan oleh apropriasi hermeneutis terhadap budaya teknologi yang bergerak secara teleologis. Ini memberikan sebuah asumsi bahwa jaring-jaring logika teknik kemudian menjadi determinan utama kesadaran. Aksi-intensi kemudian ditentukan oleh logika dan hukum yang berlaku dalam duniateknologi.
Akibatnya menurut Habermas pengejawantahan rasio melulu bersifat teknis, artinya dimensi praksis rasio adalah kegiatan produktif yang hanyamengungkapkan nilai-nilai efesien dan fungsional. Dimensi praksis rasiokemudian semata-mata dimengerti sebagai aplikasi teknis yang merupakan penerapan sains dan rasionalitas. Hal inilah yang kemudian menggejala dalam bentuk kontrol teknis terhadap alam. Sehingga tujuan utama pencerahan (emansipasi sosial ) terlupakan. Ilmu pengetahuan kemudian semata-mata dimengerti sebagai moda atau cara bagaimana mengontrol dan memanipulasi alam. Inilah yang membuat masyarakat modern tenggelam dan terarahkan oleh dimensi teknis dari pengetahuan. Padahal tujuan utama pencerahan adalah emansipasi sosial yang terkait dengan kesadaran bahwa lewat pengetahuan kita dapat melepaskan diri dari segala dogmatisme dankepicikan.
Berbicara tentang teknologi dalam konteks filsafat tentu tak lepas dari persoalan bagaimana kita secara ontologis memahami dunia lewat instrumen teknik. Dalam nalar Heideggerian hal ini menyangkut bagaimana interaksi kita terhadap dunia dapat dijelaskan dan diatasi melalui instrumen.
Seperti kita ketahui pada zaman kuno dunia dijelaskan lewat mitos, manusia mengkonstruksikan sebuah sistem untuk menjelaskan dunianya lewatpengandaian-pengandaian mitologis. Sekarang manusia menggunakan atau menciptakan instrumen untuk menjelaskan dan memahami dunia. Instrumen teknologi secara perseptual kemudian merepresentasikan realitas. Kita menggunakan teropong (teleskop) untuk melihat benda-benda di kejauhan,termometer untuk mengukur suhu, atau mikroskop untuk melihat partikel-partikel yang tak dapat dilihat secara telanjang oleh mata. Dunia dihadirkan lewat instrumen teknologi.
Don Ihde membuat isitilah hermeneutika teknik untuk menjelaskan fenomena tersebut di atas. Menurutnya, teknologi itu sendiri adalah sebuah teks.Kita secara interpretif memahami dunia lewat artifak teknologi sebagai sebuah teks (Technology and the Lifeworld, 1990: 81). Lebihjauh Hermenutika teknik adalah moda tentang bagaimana manusia menginterpretasikan, membaca, dan memahami dunianya lewat artifak teknologi. Misalnya pilot tidak melihat secara langsung dunia,melainkan membaca lewat panel kontrol. Manusia dalam hal ini menggambarkan dunia lewat sebuah teks atau instrumen teknologi.
Dalam hermenutika teknik juga dikenal relasi kemenubuhan. Ini berarti instrumen teknologi dipahami sebagai kepanjangan atau ekstensi darifungsi tubuh. Artinya secara transparan dunia ditampilkan oleh instrumen. Tidak ada jarak antara manusia dengan teknologi dalam relasi kemenubuhan. Hal ini dapat di ilustrasikan demikian: (I-Technology)-World.Aku dan teknologi menjadi satu berhadapan dengan dunia. Jadi seperti seorang buta dengan tongkatnya. Teknologi adalah tongkat yang digunakanuntuk membaca dan mengatasi dunia. (Aku-Tongkat)-Dunia. Relasi kemenubuhan dalam konteks teknologi adalah relasi yang telah ada sejakmanusia primitif. Sejak manusia mulai membuat instrumen dari batu.Membuat instrumen untuk memperluas kemampuan atau fungsi organ-organtubuhnya. Instrumen teknik adalah mimesis dari fungsi tubuh manusia.
Sekarang artifak teknologi telah meluas tidak hanya sebatas nilai efesiensi dan fungsionalitas. Teknologi baru yang berhubungan dengan dunia-kehidupanmanusia sekarang terkait dengan nilai-nilai yang mengundung unsurpermainan. Bahkan di negara kurang maju ia menjadi semacam perhiasansaja atau fashion. Misalnya ada suku-suku di Afrika yang tidak dapatmenerima dan mengerti budaya jam, mereka kemudian menganggap jam tangansebagai gelang perhiasan. Fungsionalitas jam tangan dalam hal ini tak dapat dimengerti.
Gagasan Ellul tentu saja terkesan ambisius. Mengapa kita tidak bisa mengontrolnya? Bukankah semua itu kreasi manusia? Banyak pemikir melihat bahwa determinisme teknik adalah konsekuensi dari ideologi modernisme, yang di dalamnya terdapat gagasan ideologis tentangkemajuan dan perubahan. Sehingga gagasan deterministik mengandaikan sebuah kondisi sejarah yang tak terelakkan, kita hidup dalam sebuah keniscayaan sejarah yang menempatkan dunia teknik sebagaisyarat-syaratnya.
DonIhde, ahli fenomenologi dari Amerika menanggapi dengan berbeda soal determinisme ini, bahkan dalam beberapa hal menolaknya. Ia mengupaster lebih dahulu relasi teknologi dan kebudayaan manusia. Argumendiawali dengan penjelasan tentang relasi hermeneutis dalam kontekskultural, yaitu sebuah interpretasi yang terjadi ketika suatu budayamenangkap atau menerima artifak teknologi kebudayaan lain. Don Ihdemelihat bahwa ada kegiatan hermeneutis ketika teknologi sebagaiinstrumen kultural dimaknai dan diinterpretasikan secara berbeda; Yaituketika terjadi transfer teknologi (Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth, 1990: 125).
Nilai praktis teknologi dalam proses transfer teknologi dapat diinterpretasikan secara berbeda bahkan tidak dimengerti. Namun bila nilai praktis dapat dimengerti, proses transfer teknologi menjadi mudah. Dapat dikatakan tidak ada kegiatan hermeneutis. Orang PapuaNugini misalnya dapat mengkonversikan pisau/kapak dari batu menjadi pisau/kapak dari besi karena nilai praktis yang dapat dimengerti atausama. Berbeda ketika mereka pertama kali melihat senapan. Mereka tidakmengerti nilai praktis senapan. Perlu adanya kegiatan hermeneutis sebelum senapan menjadi penting dan berguna. Jadi sama seperti kita pertama kali melihat komputer atau teknologi lainnya. Orang yang tidak mengerti nilai praktis teknologi tentunya akan bertanya-tanya ketikamelihat benda teknologi tersebut.
Nilai praktis memberikan persepsi yang berbeda dalam melihat teknologi.Setiap budaya misalnya mempunyai teknologi yang sama, namun mempunyai nilai praktis yang berbeda. Di Cina pada awalnya bubuk mesiu digunakan untuk petasan, perayaan-perayaan, berbeda dengan di Barat yang menggunakan bubuk mesiu untuk senjata, peperangan. Begitu juga tenaga angin (kincir angin), ia juga sama-sama dipakai di Barat dan juga diTimur (Iran). Namun nilai praktisnya berbeda, di Barat tenaga angin membawa banyak kegunaan, sedangkan di Iran hanya untuk tenaga irigasi.Jadi setiap budaya mempunyai ekspresi berbeda tentang teknologi yang digunakannya. Masing-masing mempunyai nilai praktisnya sendiri.
Berdasarkan interpretasi antropologis, Don Ihde kemudian menyimpulkan bahwa teknologi itu inheren dengan kebudayaan. Bila kita melihat contoh diatas benarlah bahwa setiap artifak kebudayaan itu mengandung nilai teknologisnya sendiri. Setiap budaya menggunakan instrumen teknologi(artifak) sesuai dengan tradisi yang diturunkan, dan ia bersifat unik.Karena itu teknologi inheren dengan budaya itu sendiri. Maka pertanyaanpun beralih, apakah budaya itu dapat dikontrol atau tidak? Atau apakah budaya itu bersifat determinisitik?
Tentu tidak semudah itu mengatakan bahwa apakah budaya itu dapat dikontrol atau tak dapat dikontrol (deterministik). Kata kontrol dalam konteksini bermasalah. Karena dalam nalar Don Ihde relasi manusia-teknologi(budaya) sudah mengandaikan adanya kegiatan “mengontrol” dan“dikontrol” (Technology and the Lifeworld, 1990: 140). Untuk itu budaya-teknologi tidak dapat dipertanyakan apakah ia dapat dikontrol atau tidak. Teknologi bukanlah monster yang berdiri bebas dan otonom. Karena ia digunakan dan bersifat intensional, artinya manusia mempunyai kebebasan untuk mengontrol dan dikontrol. Dalam konteks inilah Don Ihde menolak asumsi metafisika deterministik dari teknologi.
Ketika setiap budaya mempunyai ekspresi yang berbeda tentang teknologi, maka teknologi dipahami bersifat non-netral. Bahkan Ihde melihat bahwa teknologi itu bersifat ambigu. Ketika teknologi dimaknai sebagai kode-kode budaya maka ia pun dapat dimaknai secara berbeda. Karenanyateknologi sebagai bagian inheren dari budaya bersifat kontekstual dan mempunyai ciri multistabil (Technology and the Lifeworld,1990: 144). Multistabilitas ini dapat dipahami sebagai pandangankhas/unik setiap budaya dalam memahami dan menjelaskan dunianya. Jadirelasi teknik dan relasi hermeneutis setiap budaya dalam menjelaskan dan memahami dunia itu berbeda-beda.
Karena pengalaman kebudayaan berbeda-beda maka persepsi tentang teknologi punberbeda. Mulstabilitas yang terjadi pada relasi manusia-teknologi inidapat dicontohkan dalam sistem navigasional. Orang Barat mempunyaisistem yang baik untuk navigasi kapal, tapi tetap tidak bisamentransfer teknologi navigasionalnya ke suku-suku di Pasifik Selatan.Artinya suku di Pasifik Selatan itu tetap tidak mengerti teknologinavigasional orang Barat yang bersifat hermeneutis/representasional(penggunaan kompas misalnya). Mereka tetap mempunyai teknologinyasendiri, seperti membaca arah lewat pola-pola ombak atau polabintang-bintang (relasi kemenubuhan).
Gagasan determinisme teknologi tak dapat dimungkiri juga terkait dengan fenomena kesadaran dan relasinya dengan artifak-artifak teknik.Habermas misalnya melihat bahwa kemajuan teknik (teknologi) akhirnya menentukan kesadaran masyarakat modern. Self-understandingmasyarakat modern tentang dunianya menurut Habermas dimediasikan oleh apropriasi hermeneutis terhadap budaya teknologi yang bergerak secara teleologis. Ini memberikan sebuah asumsi bahwa jaring-jaring logika teknik kemudian menjadi determinan utama kesadaran. Aksi-intensi kemudian ditentukan oleh logika dan hukum yang berlaku dalam duniateknologi.
Akibatnya menurut Habermas pengejawantahan rasio melulu bersifat teknis, artinya dimensi praksis rasio adalah kegiatan produktif yang hanyamengungkapkan nilai-nilai efesien dan fungsional. Dimensi praksis rasiokemudian semata-mata dimengerti sebagai aplikasi teknis yang merupakan penerapan sains dan rasionalitas. Hal inilah yang kemudian menggejala dalam bentuk kontrol teknis terhadap alam. Sehingga tujuan utama pencerahan (emansipasi sosial ) terlupakan. Ilmu pengetahuan kemudian semata-mata dimengerti sebagai moda atau cara bagaimana mengontrol dan memanipulasi alam. Inilah yang membuat masyarakat modern tenggelam dan terarahkan oleh dimensi teknis dari pengetahuan. Padahal tujuan utama pencerahan adalah emansipasi sosial yang terkait dengan kesadaran bahwa lewat pengetahuan kita dapat melepaskan diri dari segala dogmatisme dankepicikan.
Berbicara tentang teknologi dalam konteks filsafat tentu tak lepas dari persoalan bagaimana kita secara ontologis memahami dunia lewat instrumen teknik. Dalam nalar Heideggerian hal ini menyangkut bagaimana interaksi kita terhadap dunia dapat dijelaskan dan diatasi melalui instrumen.
Seperti kita ketahui pada zaman kuno dunia dijelaskan lewat mitos, manusia mengkonstruksikan sebuah sistem untuk menjelaskan dunianya lewatpengandaian-pengandaian mitologis. Sekarang manusia menggunakan atau menciptakan instrumen untuk menjelaskan dan memahami dunia. Instrumen teknologi secara perseptual kemudian merepresentasikan realitas. Kita menggunakan teropong (teleskop) untuk melihat benda-benda di kejauhan,termometer untuk mengukur suhu, atau mikroskop untuk melihat partikel-partikel yang tak dapat dilihat secara telanjang oleh mata. Dunia dihadirkan lewat instrumen teknologi.
Don Ihde membuat isitilah hermeneutika teknik untuk menjelaskan fenomena tersebut di atas. Menurutnya, teknologi itu sendiri adalah sebuah teks.Kita secara interpretif memahami dunia lewat artifak teknologi sebagai sebuah teks (Technology and the Lifeworld, 1990: 81). Lebihjauh Hermenutika teknik adalah moda tentang bagaimana manusia menginterpretasikan, membaca, dan memahami dunianya lewat artifak teknologi. Misalnya pilot tidak melihat secara langsung dunia,melainkan membaca lewat panel kontrol. Manusia dalam hal ini menggambarkan dunia lewat sebuah teks atau instrumen teknologi.
Dalam hermenutika teknik juga dikenal relasi kemenubuhan. Ini berarti instrumen teknologi dipahami sebagai kepanjangan atau ekstensi darifungsi tubuh. Artinya secara transparan dunia ditampilkan oleh instrumen. Tidak ada jarak antara manusia dengan teknologi dalam relasi kemenubuhan. Hal ini dapat di ilustrasikan demikian: (I-Technology)-World.Aku dan teknologi menjadi satu berhadapan dengan dunia. Jadi seperti seorang buta dengan tongkatnya. Teknologi adalah tongkat yang digunakanuntuk membaca dan mengatasi dunia. (Aku-Tongkat)-Dunia. Relasi kemenubuhan dalam konteks teknologi adalah relasi yang telah ada sejakmanusia primitif. Sejak manusia mulai membuat instrumen dari batu.Membuat instrumen untuk memperluas kemampuan atau fungsi organ-organtubuhnya. Instrumen teknik adalah mimesis dari fungsi tubuh manusia.
Sekarang artifak teknologi telah meluas tidak hanya sebatas nilai efesiensi dan fungsionalitas. Teknologi baru yang berhubungan dengan dunia-kehidupanmanusia sekarang terkait dengan nilai-nilai yang mengundung unsurpermainan. Bahkan di negara kurang maju ia menjadi semacam perhiasansaja atau fashion. Misalnya ada suku-suku di Afrika yang tidak dapatmenerima dan mengerti budaya jam, mereka kemudian menganggap jam tangansebagai gelang perhiasan. Fungsionalitas jam tangan dalam hal ini tak dapat dimengerti.
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, dunia teknologi kemudiansemakin sulit dimengerti. Artinya cara kerja/sistem (teknis) artifakteknologi itu dalam beberapa hal hanya dipahami oleh para ilmuwan atauteknisi saja. Sekarang artifak teknologi tidak lagi sebatas instrumen untuk membaca dan memahami dunia. Ia telah meluas dan membentuk dunianya sendiri. Yang teknis tidak lagi terkait dengan pengalaman konkret, seperti analogi tongkat di atas. Teknologi tidak hanya memberikan makna intrumental dan fungsional saja. Ia juga secaraontologis membentuk dunianya sendiri.
Dapat dikatakan dunia teknologi pada masa modern terbagi menjadi dua: duniamakna dan dunia teknis yang tersembunyi. Seperti yang ungkapkan olehDr. Karlina Supelli (dalam seminar terbatas “Technology and the Lifeworld“) bahwa ada pemilahan analitis dalam dunia-teknologi, yaitu ranah makna dan ranah teknis.
ranah teknis dapat dinterpretasikan sebagai dunia yang hanya dipahami denganbaik oleh oleh para teknisi. Misalnya kebanyakan orang tidak mengertimengapa AC bisa membuat udara menjadi dingin atau mengapa besi bisa terbang di udara. Ini berbeda dengan dunia makna yang menjelaskan artifak teknologi sebatas fungsionalitasnya saja. Dengan kata laininstrumen tersebut sudah siap pakai. Kita tinggal menggunakannya saja,dalam beberapa hal kita tidak mempedulikan teknik atau cara kerjanya.Radio atau televisi dapat langsung kita nikmati, kita terkadang tidak menyadari bahwa di dalamnya ada dunia teknik yang bekerja. Dunia teknis kemudian menjadi dunia yang selalu terbungkus. Dunia yang makin lamamakin sulit dimengerti, semakin asing.
Sumber : http://murdani.webs.com/apps/blog/show/2491888-memahami-filsafat-teknologi
Dapat dikatakan dunia teknologi pada masa modern terbagi menjadi dua: duniamakna dan dunia teknis yang tersembunyi. Seperti yang ungkapkan olehDr. Karlina Supelli (dalam seminar terbatas “Technology and the Lifeworld“) bahwa ada pemilahan analitis dalam dunia-teknologi, yaitu ranah makna dan ranah teknis.
ranah teknis dapat dinterpretasikan sebagai dunia yang hanya dipahami denganbaik oleh oleh para teknisi. Misalnya kebanyakan orang tidak mengertimengapa AC bisa membuat udara menjadi dingin atau mengapa besi bisa terbang di udara. Ini berbeda dengan dunia makna yang menjelaskan artifak teknologi sebatas fungsionalitasnya saja. Dengan kata laininstrumen tersebut sudah siap pakai. Kita tinggal menggunakannya saja,dalam beberapa hal kita tidak mempedulikan teknik atau cara kerjanya.Radio atau televisi dapat langsung kita nikmati, kita terkadang tidak menyadari bahwa di dalamnya ada dunia teknik yang bekerja. Dunia teknis kemudian menjadi dunia yang selalu terbungkus. Dunia yang makin lamamakin sulit dimengerti, semakin asing.
Sumber : http://murdani.webs.com/apps/blog/show/2491888-memahami-filsafat-teknologi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar