Badruddin Muhammad
PENDAHULUAN
Ken Wilber, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dalam bukunya yang bertitel Psikologi Agama, ketika membicarakan situasi hubungan sains dan agama, di antaranya menyebutkan bahwa sains telah melakukan penolakan terhadap agama. Inilah pendekatan baku dari kaum positivis dan empiris yang menjadi aliran utama modernitas. Dalam pandangan tokoh-tokoh, seperti Auguste Comte, Sigmun Freud, Karl Marx, Bertrand Russel, agama hanyalah sisa-sisa dari pengalaman masa kecil manusia yang terus dibawa setelah dewasa. Pada kepribadian yang dewasa, kesetiaan pada agama adalah tanda patologi, kemampuan berpikir logis yang rendah dan inautentisitas eksistensional. Tuhan tidak ada karena tidak bisa diamati baik oleh mikroskop maupun teleskop.
Paparan dalam alinea di atas, merupakan akibat logis dari proses modernisasi yang dilakukan oleh dunia Barat sejak abad pertengahan, tepatnya sejak Renaissans, telah mampu merubah paradigma dunia dari teosentris yang menghegemuni mistisisme dan wahyu sebagai ciri utama pra-modern, menuju antroposentris yang merupakan karakter dasar zaman modern. Modernisme menghendaki pembedaan (differentiation) yang tegas antara agama dengan masalah kehidupan duniawi, seperti ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan lainnya, di mana pada gilirannya modernisme melahirkan paham sekuler yang menghendaki adanya pemisahan atau tidak melibatkan urusan-urusan agama ke dalam masalah kehidupan seperti di atas. Hal ini, tentunya, disamping membawa dampak positif juga telah melahirkan dampak negatif. Dampak positifnya, modernisasi telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi kehidupan manusia. Sedangkan dampak negatifnya, modernisasi telah melahirkan multikrisis yang belum pernah dialami pada abad-abad sebelumnya. Krisis makna hidup, kehampaan spiritual, dan tersingkirnya agama dari kehidupan manusia hampir menghinggapi seluruh manusia di muka bumi ini. Capra mengatakan bahwa pada awal dua dasa warsa terakhir dari abad ke-20 manusia berada dalam sebuah krisis global yang akut, yaitu krisis krisis kompleks dan multi-dimensional yang sendi-sendinya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan, ekonomi, kualitas lingkungan dan relasi sosial dan politik. Krisis ini, masih menurut Capra, juga menyangkut dimensi-dimensi intelektual moral dan spiritual.
Kenyataan seperti di atas, menjadi tantangan bagi para pemikir Islam untuk senantiasa berupaya mencari dan menemukan jalan keluar. Sebagian dari mereka mencari jalan keluar dengan menggunakan cara-cara dan semangat kemodernan yang lahir dari Barat sendiri, sedangkan sebagian yang lain dengan berusaha mernahami realitas dalam perspektif nilai-nilai tradisional yang ada dalam Islam. Yang kedua ini bukanlah suatu upaya untuk kembali pada tradisi pra-modernisme yaitu sakralisasi, melainkan desekularisasi yang merujuk pada cita-cita prinsip keseimbangan (equiliblrium) antara kebenaran transcendental dan kebenaran obyektif bumi.
Nashr, sebagai seorang pemikir muslim kontemporer yang sebagian besar kehidupan intelektualnya banyak dihabiskan di Barat, menyaksikan secara langsung berbagai ekses negatif modernisasi saat ini. Barat yang menjadi sumber penyebab krisis modern kini merasakan krisis multi-dimensional. Untuk keluar dari krisis ini, Nashr menyerukan kepada mereka kembali kepada hikmah spiritual agama dan membatasi diri dalam mengejar kesenangan duniawi, mengendalikan nafsu, menjadi humanis-rasional dan memperhatikan tetangga mereka, baik manusia maupun bukan manusia; lingkungan, binatang dan alam. Seruan-seruan tersebut mungkin terlaksana, bila mereka menyadarinya, dan jika ada kekuatan spiritual yang mengekang kecenderungan buruk di dalam jiwa mereka. Sementara tragedi yang berlangsung di Timur (baca: masyarakat Islam), ialah sedang mengulang atau justru sedang menuju kepada kesalahan yang dibuat oleh Barat, yaitu menciptakan masyarakat dengan peradaban modern yang sejujurnya justru menjadi penyebab krisis. Untuk di Timur, Nashr menyarankan agar pembaharuan pemikiran Islam dilakukan dengan menggali dan mengkaji kembali khazanah warisan pemikiran Islam klasik dan tidak mengambil konsep-konsep modernisme Barat sebagai model.
TRADISI DAN SPIRITUALITAS ISLAM DALAM PANDANGAN NASHR
Yang dimaksud dengan tradisi, sebagaimana digunakan dalam pengertian tekniknya dalam tulisan Nas}r yang berjudul Knowledge and the Secred dan sudah diindonesiakan oleh Suharsono, adalah kebenaran-kebenaran atau prinsi-prinsip tentang Ilahi, yang semula dinampakkan atau dinyatakan untuk kemanusiaan dan, kenyataannya, meliputi semua sektor kosmik, melalui sejumlah tokoh yang dianggap sebagai utusan, nabi, avata>ra, logos, atau agen-agen penerus lainnya, sepanjang dengan pencabangan dan aplikasi prinsip-prinsip tersebut dalam bidang yang berbeda, termasuk hukum dan struktur sosial, seni simbolisme, sains dan cabang-cabang pembahasan Pengetahuan Tertinggi, sepanjang dengan makna pencapaiannya. Dengan demikian, terma tradisi menyiratkan sesuatu yang sakral, seperti disampaikan kepada manusia melalui wahyu (divine revelation, vision from God to man) ... Tradisi bisa berarti al-di>n dal;am pengertian seluas-luasnya, yang mencakup semua aspek agama dan pencabangannya; bisa pula disebuat al-sunnah, yaitu apa saja yang – didasarkan pada model-model sakral – sudah menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumnya dipahami; bisa juga siartikan al-silsilah, yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada sumber, seperti tampak demikian gamlang di dalam sufisme. Karenanya, tradisi mirip sebuah pohon , akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat Ilahi dan darinya tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang zaman. Kitab suci al-Qur'an dan Hadits sebagaimana halnya merupakan instruksi lisan bagi penerimanya, Nabi Yang diberkati, merupakan akar dan batang bagi pohon tradisi Islam.
Dari paparan di atas tampak jelas bahwa yang dimaksud dengan tradisi oleh Nas}r adalah ekternalisasi nilai-nilai agama sehingga menjadi cara pandang (world view), sikap (attitude) dan tindakan (action). Hal ini berbeda dengan apa yang di katakan oleh al-Jabiri, menurutnya tradisi adalah budaya manusia yang diterima oleh satu generasi dari generasi sebelumnya, sehingga generasi yang sekarang bukan hanya belajar kebenaran dari generasi sebelumnya, malainkan juga ia telaj belajar kesalahan dari generasi sebelumnya secara turun-temurun. Demikian, menurut al-Jabiri, jelas sekali ketika ia memaparkan bagaimana formasi nalar Arab (Islam) terbentuk – salah satunya melalui bahasa – yang kemudian melahirkan tradisi dan budaya, ia mengatakan: "Jika demikian halnya, ketika karakteristik bahasa berhubungan erat dengan karakteristik masayarakt penuturnya, maka masyarakat akan mendapatkan pengalaman tentang benar dan salah di dalam bahasa dan mereka meneruskannya pada generasi-generasi berikutnya. Artinya kesalahan yang menjadi bagian dari masa lalu yang ditransmisikan melalui bahasa pada generasi berikutnya ikut membatasi cara pandang masyarakat penuturnya terhadap alam, kebenaran, kebaikan dan keindahan."
Dengan pengertian tradisi menurut Nas}r, yang berbeda jauh dengan apa yang disampaikan oleh al-Ja>biri, maka tidak sulit untuk memperoleh pemahaman tentang adanya relasi yang kuat antara apa yang dimaksud dengan taradisi dan spiritual. Tradisi yang mirip sebuah pohon, maka di jantung pohon itu berdiam agama dan nilai-nilai spiritual.
Pada bagian pendahuluan dari buku Islamic Spirituality, Nas}r menyatakan bahwa spiritualitas dalam Islam tidak terpisahkan dari kesadaran terhadap Dzat Yang Maha Esa, yaitu Allah dan kehidupan yang dijalani menurut keinginan-Nya. Doktrin tauhid menjadi pusat dari segala praktik yang dilakukan manusia. Allahbakhsh K. Brohi menyebutnya sebagai sikap siapa saja dari setiap muslim yang memandang atau merefleksikan Tuhan sebagai sesatu yang vital yang menentukan norma atau prinsip hidup. Al-Qur'an dipandang sebagai norma atau prinsip hidup bagi orang-orang yang beriman, jika mereka ingin selamat.
Dari sini, spiritualitas Islam merupakan kesadaran yang mengajak manusia untuk menjadikan Tuhan dengan segala representasinya; keesaan, sifat-sifat dan nama-nama-Nya yang agung (al-asma>' al-husna>), dan Kalam Suci-Nya sebagai model pokok dari segala bentuk ekspresi kemakhlukan manusia. Itu sebabnya, segala bentuk tata kehidupan umat Islam mempunyai spiritualitas, sejauh didasarkan pada kesadaran keesaan Tuhan, sebagaimana diujarkan oleh Al-Quran dan berdasarkan teladan Nabi. Tujuannya adalah memperoleh sifat-sifat ketuhanan (ila>hiyyah) dengan jalan meraih kebaikan-kebaikan yang dimiliki-Nya dalam kadar sempurna.
Ini artinya, kehidupan spiritual dalam Islam didasarkan pada rasa takut disertai rasa pengharapan (al-khauf wa al-raja>'), kepatuhan (at}-t}a'ah), dan cinta (al-h}ubb) kepada-Nya. Dengan demikian, semua tindakan manusia timbul dari kesadaran batiniahnya sebagai makhluk teomorfis. Bentuk-bentuk seni Islam, seperti kaligrafi, dalam sejarahnya telah diarahkan sebagai salah satu cerminan prinsip keesaan Ilahi itu. Praktik-praktik ibadah formal, seperti shalat, puasa, menunaikan zakat, haji dan yang lain, juga merupakan akar spiritualitas Islam.
Karena itu, Nasr menegaskan bahwa spiritualitas Islam merupakan realitas yang senantiasa hidup dan harus dikemukakan sebagaimana adanya dan bukan sebagai sosok bangkai yang dipotong-potong menurut pandangan dunia yang asing baginya. Sumber dan dasar spiritualitas Islam, yaitu Al-Qur'an dan al-Hadits sebagai instruksi lisan, Nabi, kehidupan, dan ucapannya, juga ritus-ritus yang menjadi pilar keimanan Islam, seperti puasa, haji, jihad (bersungguh-sungguh dalam berjuang di jalan Allah). Dalam konteks ini, rahasia-rahasia ibadah (asra>r al-ibada>t) akan dirasakan secara spiritual oleh setiap orang yang beriman (believer) ketika menjalankan ritus-ritus agama dan pada saat yang bersamaan akan ditemukan makna batiniahnya.
SEKULERISME BARAT DAN KEHAMPAAN SPIRITUAL
Pada era yang sering disebut modern ini, obsesi keduniaan manusia tampak lebih dominan mewarnai ketimbang spiritual. Kemajuan teknologi, sains dan segala hal yang bersifat duniawi, jarang disertai dengan nilai spiritual. Akibatnya, jiwa pun menjadi kering, hampa dan membutuhkan siraman ruhani yang dapat menyejukkannya. Kehampaan jiwa sebagai dampak peradaban modern, menurut Nas}r, bersumber dari penegasian terhadap hal-hal yang bersifat spiritual (ru>h}iyyah) dan penyingkiran terhadap nilai-nilai (ma'nawiyyah) secara gradual dalam kehidupan manusia. Manusia Barat modern mencoba hidup dengan alam yang kasat mata. Mereka bahkan mencoba membunuh Tuhan dan menyatakan kebebasan dari kehidupan akhirat. Akibatnya kekuatan dan daya manusia mengalami eksternalisasi. Selanjutnya dengan eksternalisasi ini manusia Barat menaklukkan dan mengeksploitasi dunia dengan semena-mena tanpa batas. Manusia Barat modern membuat hubungan baru dengan alam melalui proses desakralisasi alam. Alam dipandang tak Iebih dari sekedar objek dan sumber daya yang perlu dimanfaatkan dan dieksploitasi seoptimal mungkin.
Menurut Nashr, manusia Barat modern memperlakukan alam seperti pelacur. Mereka menikmati dan mengeksploitasi alam demi kepuasan dirinya tanpa rasa kewajiban dan tanggungjawab apa pun. Sikap inilah yang kemudian melahirkan berbagai krisis dunia modern yang menjalar tidak hanya dalam kehidupan spirtitual, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulanya, demikian Nashr, terma modern berarti sesuatu yang terpisah dari Yang Transenden, dari prinsip-prinsip langgeng yang dalan realitas mengatur materi dan yang diberikan kepada manusia melalui wahyu dalam pengertiannya yang paling universal.
Dalam kata pengantar bukunya Man and Nature, sebagaimana juga dikutip oleh Ali Maksum, Nashr menegaskan, satu dekade telah lewat... Sepanjang masa itu kesadaran akan krisis lingkungan yang serius yang telah diprediksi sebelumnya tiba-tiba muncul dalam benak manusia Barat modern. Hari-hari khusus telah ditetapkan sebagai hari penyelamat bumi (hari lingkungan hidup) di Amerika, sebagian di Eropa dan Jepang. Hutan-hutan dibabat habis untuk memproduksi kertas yang nantinya digunakan untuk menuliskan berrbagai aspek krisis lingkungan. Puncaknya, diselenggarakan konferensi intemasional di Stockholm pada tahun 1972, yang khusus membahas bagaimana menanggulangi dampak krisis lingkungan tetsebut.
Dalam menganalisa krisis lingkungan, Nashr bertolak dari pemahaman sufiyyah (kaum sufi) terhadap doktrin al-Qur’an yang menegaskan bahwa alam merupakan teofani (tajalliy) Tuhan yang menyelimuti dan sekaligus mengungkap kebesaran Tuhan. Lingkungan alam adalah tanda-tanda (ayat) Tuhan yang tampak (al-syuhud). Dalam hal ini Nas}r membagi wahyu Tuhan ke dalam dua kategori, wahyu tertulis (recorded Qur’an, al-Qur’an al-tadwini) yakni al-Qur’an dalam bentuk Kitab Suci; dan wahyu yang terhampar (the Qur’an of creation, al-Qur’an al-takwini) yakni alam semesta (cosmos) ini. Dalam ungkapan lain, Tuhan itu adalah “Lingkungan” tertinggi yang mengelilingi dan mengatasi manusia. Al-Qur’an sendiri menyebutnya Tuhan itu sebagai Al-Muhith (Yang Serba Mencakup). Al-Muhith itu sendiri juga berarti lingkungan.
Kesadaran akan ke-ih}a>t}ah-an Allah, merupakan sebuah upaya untuk menjembatani jurang yang memisahkan manusia dari Tuhannya. Dengan melaksanakan segala kewajiban syariat dan memperbanyak dzikir untuk mengingat-Nya, berusaha memperkecil perbedaan antara Tuhan yang Mahasuci dan ruh manusia yang kotor karena pengaruh hawa nafsu, pada hakikatnya, manusia melakukan pembersihan jiwa dari segala bentuk kotoran pengaruh nafsu dan pembersihannya harus kembali mengingat (zikir) kepada Tuhan. Mengingat Tuhan berarti melihat-Nya di mana-mana dan mengalami realitas-Nya sebagai Al-Muhith itu. Mengingat Tuhan sebagai al-Muh}i>t} berarti menyadari terus menerus kualitas kesakralan alam, fenomena alam sebagai ayat-ayat Tuhan. Dan kehadiran lingkungan alam dapat dirasakan sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan, manakala nilai-nilai ila>hiyyah senantiasa hadir dalam dirinya. Artinya seorang yang memiliki spiritualitas agama atau mukmin sejati, senantiasa merasakan ada hubungan dengan Tuhan (Genuine believers in God often feel the they "have dealings with God"), dan ini melahirkan sebuah tanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan.
Jadi, krisis lingkungan tak lain disebabkan oleh penolakan manusia terhadap Tuhan sebagai “al-Muh}i>t}” yang sesungguhnya, yang mengelilingi sekaligus memelihara kehidupan mereka. Perusakan lingkungan bermula dari sikap manusia modern yang memandang alam sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dari “Lingkungan” Ilahi. Konsep lingkungan ini sangat terkait erat dengan konsep manusia, karena itu harus mendapat perhatian serius.
Islam memandang manusia difungsikan sebagai khali>fatulla>h di muka bumi, dimana segala perbuatannya harus menjadi sebuah pengabdian (ibadah) kepada-Nya karena dalam hakikat penciptaannya ia sebagai 'abdulla>h (hamba Allah). Sebagai hamba Allah, manusia harus pasif di hadapan Tuhan dan menerima apa pun rahmat yang diturunkan dari¬Nya. Sementara sebagai khalifah Allah, manusia harus aktif di dunia, memelihara keharmonisan alam, dan menyebarluaskan rahmatTuhan yang diturunkan kepadanya sebagai pusat ciptaan. Hal ini bisa dicapai oleh manusia manakala ia berusaha memperoleh titik keseimbangan antara iman dan ilmu. Ilmu – dalam pandangan positivisme – yang dicapai dengan akal dan pengamatan rasional dengan ukuran kuantitatif, dapat membentuk manusia sebagai penguasa dunia. Sedangkan iman yang dicapai dengan rasa melalui pengamatan irfa>nie dan karena itu bersifat kualitatif, dibentuk oleh agama, membentuk manusia menjadi hamba Allah.
Praktek kekhalifahan manusia yang tidak lagi menerima posisi asalnya sebagai hamba Allah dan tidak mau menunaikan amanah serta kewajibannya, telah menjadi ancaman paling serius bagi lingkungan. Inilah yang dilakukan oleh manusia modern Barat yang sejak abad ke 17 M. mengembangkan sains dan teknologi yang dilandasi dominasi dan penjajahan atas alam, memandang alam sebagai musuh manusia dan terus menerus mengeksploitasi dan menghancurkan lingkungan. Semua ini dilakukan atas dasar hak manusia yang dianggap absolut atas dirinya.
Barat mengembangkan peradaban modernnya sejak abad renaisans merupakan eksperimen yang gagal dan sedemikian parah, sehingga umat manusia menjadi ragu apakah ada cara lain di masa mendatang. Hal ini terjadi karena manusia modern Barat telah memberontak Tuhan dan menciptakan sains dan teknologi yang tidak berlandaskan cahaya intelek, tetapi hanya berdasarkan kekuatan akal semata-mata untuk mendapat data melalui panca indera. Peradaban modern Barat dibangun hanya di atas landasan konsep manusia yang tidak menyertakan hal yang paling esensial dari manusia sendiri. Manusia modern, kata Nas}r, telah membakar tangannya ke dalam api yang mereka nyalakan sendiri. Mereka mengalami keterpurukan dibawah peradaban yang mereka bangun sendiri. Mereka lupa siapa diri mereka yang sebenarnya. Akibatnya, masyarakat Barat, yang sering digolongkan the post indus¬trial society. suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran material sedemikan rupa dengan perangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis, gagal memperoleh kebahagiaan hidup, melainkan malah dihinggapi kegelisahan dan kecemasan yang diakibatkan oleh kemewahan hidup yang mereka raih. Mereka telah menjadi pemuja sains dan teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaan mereka terreduksi lalu terperangkap ke dalam jaringan system rasionalitas teknologi yang tidak manusiawi. Nas}r menggunakan dua istilah pokok, yaitu axis atau centre (pusat) dan rim atau periphery (pinggir) untuk membedakan dua kategori orientasi hidup manusia. Kehidupan di dunia ini tampaknya, dalam pandangan barat, tidak memiliki horizon spiri¬tual. Hal ini bukan berarti horizon spiritual tidak ada, tetapi karena yang menyaksiakan panorama kehidupan kontemporer ini seringkali adalah manusia yang hidup di pinggir (penphenj, rim) lingkaran eksistensi, sehingga ia hanya dapat menyaksikan segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Ia senantiasa tidak peduli dengan jari-jari lingkaran eksistensi dan sama sekali lupa dengan sumbu atau pusat (axis atau centre) lingkaran eksistensi yang dapat dicapainya dengan jari-jari tersebut. Masyarak Barat modern sedang berada di wilayah pinggiran, sedangkan eksistensinya sendiri bergerak menjauh dari pusat, baik yang menyangkut dirinya sendiri maupun dalam lingkungan kosmisnya. Mereka merasa cukup dengan perangkat ilmu dan teknologi, sebagai buah dari gerakan renaisans, sementara pemikiran dan paham keagamaan yang bersumber dari wahyu kian mereka tinggalkan. Dengan ungkapan yang lebih popular, masyarakat Barat telah memasuki the post Chistian era kemudian berkembang paham sekularisme.
Proses sekularisasi menyebabkan manusia modern kehilangan kesadaran atau kendali diri (self control) sehingga mudah dihinggapi penyakit rohaniah, ia lupa siapa dirinya, untuk apa hidup ini dan mau ke mana sesudahnya. Dalam hal ini Nas}r menjelaskan, masalah penghancuran lingkungan oleh teknologi, krisis ekologi dan semacamnya, semuanya bersumber dari penyakit amnesis atau pelupa yang diidap oleh manusia modern. Mereka telah lupa siapa dirinya dan hidup di pinggiran lingkaran eksistensi. Penghargaan manusia modern terhadap rasio, hanya mampu mengantarkan mereka memperoleh pengetahuan tentang dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal dan secara kuantitatif berubah-ubah. Dan pengetahuan yang bersifat eksternal itu mereka berupaya merekontruksi citra diri mereka. Dengan demikian manusia modern semakin jauh dari pusat eksistensi dan sernakin terperosok ke dalam jeratan pinggir eksistensi.
Akibat dari terlalu mengagungkan rasio, manusia modern Barat mudah dijangkiti penyakit kehampaan spiritual. Kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibangun di atas fondasi filsafat rasionalisme dan empirisme abad ke 17-18, tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek-aspek transenden, yang merupakan suatu kebutuhan vital dan hanya bisa digali dari sumber wahyu ilahi. Karena itu, jika mereka ingin mengakhiri kesesatan yang dibuatnya, maka mereka harus mengembalikan pandangan serta sikap hidup keagamaan senantiasa hadir dalam kehidupan mereka.
Dalam hal ini Nas}r menegaskan,
“Hajat untuk menangkap kembali pandangan tentang pusat (centre) bagi manusia modern lebih mendesak. Hal ini tampak pada dunia khayal yang mereka ciptakan di sekitar mereka sendiri, sehingga melupakan hilangnya nilai transendental dalam kehidupan mereka”. Pada kesempatan lain Nas}r juga menandaskan, “Adalah lebih benar dunia modern, tempat kehidupan manusia berada dalam situasi yang profan — terlepas dari nilai-nilai dasar — tempat aspek psikis manusia dipisahkan dari jiwanya yang berperan sebagai sumber kehidupan manusia itu sendiri; dan pengalaman ruang dan waktu - telah berubah selurunya, dan tempat rawa keterikatan dengan Yang Maha Mutlakpelan-pelan telah menghilang”.
Kenyataan seperti ini sangat jauh berbeda dengan manusia tradisional. Kalau manusia tradisional berusaha menjangkau realitas transenden, sebaliknya manusia modern dan kontemporer justru berusaha memutuskannya. Pandangan seperti ini sejalan dengan J. Henlihy yang menyatakan, “Manusia tradisional berusaha mengawinkan hati dan pikirannya dan membentuk persepsi ke dalam, yang kemudian memaksa keterbatasan dirinya untuk menerima realitas yang lebih tinggi. Sementara manusia kontemporer malah menceraikan pikiran dari hatinya, hanya untuk melahirkan ego formal yang lalu dikembangkan untuk bisa berhubungan dengan dinamika dunia modern”.’
Untuk membedakan pandangan hidup manusia tradisional dan manusia modernJ. Herlihy menggunakan istilah khas, hijab dan ilusi:
“Hijab dan ilusi adalah duo hal yang bertentangan dalam kebijaksanaan manusia; hi jab melindungi kebenaran, sementara ilusi mengaburkannya. Allah menciptakan hijab, misalnya antara materi dan ruh, anfara dunia yang terlihat dan dunia yang tak terlihat.... Manusia tradisionall berusaha untuk men yingkap atau niengangkat hijab itu, tetapi manusia modern berusaha untuk menghilangkan atau menghapusnya.”
Manusia modern yang telah menciptakan ilusi memandang dunia ini sebagai realitas kehidupan yang sebenarnya. Karena itu, mereka memahami hidup di dunia ini sebagai suatu kehidupan yang final, dan setelah itu tidak ada lagi kehidupan. Sebaliknya manusia tradisional memandang dunia ini bersifat sementara, dan setelah itu ada kehidupan lain yang abadi yang merupakan kehidupan yang sesungguhnya.
Nas}r melihat, kondisi manusia modern sekarang, karena mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar dan bersifat spiri¬tual, mereka gagal menemukan ketentraman batin, yang berarti tidak ada keseimbangan dalam diri. Hal ini akan semakin parah terlebih apabila tekanannya pada kebutuhan materi semakin meningkat sehingga keseimbangan akan semakin rusak.
Menurut Nas}r, agar manusia modern dapat menemukan kembali integritas dirinya dan alam secara utuh, ia harus berada pada titik pusat (ummatan wasat}an) dan mampu mengambil jarak dari kenyataan yang senantiasa berubah dan serba profan. Artinya, manusia modern harus mempertimbangkan kembali akan kehadiran Tuhan yang menjadi dasar (landasan) kebijakan. Manusia modern membutuhkan agama untuk mengobati krisis yang dideritanya.
TASAWUF SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF DALAM MENGATASI KRISIS MODERNISME
Tawaran Nas}r untuk mengatasi krisis multi-deminsional akibat modernisasi dengan tasawuf, merupakan solusi tepat dan bukanlah suatu hal yang berlebihan. Karena tasawuf – dalam tradisi Islam dan mistik dalam Kristen – merupakan suatu aspek ajaran yang dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan religius manusia , utamanya untuk melepaskan dahaga dan memperoleh kesegaran dalam mencari Tuhan, menyirami batin dan menghilangkan kehampaan spiritual. Nashr cukup serius memperkenalkan tasawuf kepada masyarakat Barat modern berdasarkan pengamatannya bahwa secara perlahan kekayaan Islam yang paling dalam berupa tasawuf mulai menarik perhatian sejumlah besar pria dan wanita di Barat, walaupun dalam waktu yang bersamaan proses westernisasi terus mengancam benteng peradaban Islam itu sendiri.
Menurut Nashr, hampir seluruh ajaran Islam tentang hal-hal yang bersifat metafisis dan ma’rifah (gnostic) terutama yang terdapat dalam tasawuf dapat memberikan jawaban terhadap berbagai kebutuhan intelektual dewasa ini. Dimensi spiritual dan tasawuf agaknya mempunyai tempat bagi, setidaknya kajian intelektual, masyarakat Barat modern setelah mereka ditimpa – salah satunya – patologi sosial dengan gejalanya yang merebak adalah kemewahan hidup di tengah perkembangan pesatnya teknologi, dehumanisasi yang dialaminya, antar-manusia saling memandang sebagai objek yang dapat memenuhi ambisinya. Kondisi inilah yang dikritik Nasr sebagai sebuah krisis. Barat dan peradabannya sebenarnya sudah banyak dikritik, termasuk dari kalangan mereka sendiri. Modernitas dinilai telah melakukan distorsi terhadap esensi hidup dan melakukan marginalisasi terhadap spiritualitas yang seharusnya menjadi sesuatu yang inheren, pokok dan utama dalam kehidupan manusia.
Karena itu, mereka mulai mencoba menengok ke dunia Timur, mencari-cari spiritualitas dalam Kristen maupun Budha atau sekedar berpetualang kembali kepada alam sebagai pelarian dari kebosanan dan kejenuhan akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam suasana seperti itu sudah saatnya dimensi batin Islam dalam tasawuf diperkenalkan kepada mereka sebagai alternatif. Karena selama berabad-abad mereka memandang Islam hanya dan sisi legal-for¬mal yang tidak memiliki kekayaan essoteris.
Nashr memutuskan bahwa tasawuf perlu diperkenalkan dan disosialisasikan kepada masyarakat Barat dengan beberapa tujuan antara lain: Pertama, untuk menyelamatkan kemanusiaan dari kebingungan dan kegelisahan yang mereka rasakan sebagai akibat dari hilanganya nilai-nlai spiritual. Kedua, untuk memperkenalkan lit¬erature atau ajaran essoteris Islam, baik terhadap masyarakat Islam sendiri yang mulai melupakannya maupun terhadap masyarakat non muslim (dalam hal ini masyarakat Barat modern). Ketiga, untuk menegaskan kembali bahwa aspek essoteris Islam (tasawuf) adalah jantung ajaran Islam. Tarikat atau jalan rohani (path of soul) yang dikenal dalam tasawuf merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan (essoteris) dalam Islam sebagaimana syari’at bersumber dari al-Quran dan Sunnah. Tasawuf menjadi jiwa risalah Islam, laksana hati dalam tubuh, yang tersembunyi dari pandangan luar (external view). Menurutnya, tarikat atau jalan spiritual (spiritual path) yang mana biasanya diketahui sebagai tasawuf atau sufisme merupakan sumber kehidupan yang paling dalam, yang mengatur seluruh organisme keagamaan dalam Islam.
Masyarakat Barat modern yang hanya mengakui keabsahan kaca mata ilmiah dan telah kehilangan penglihatan mata hati (intellectus) akan sulit mengembalikan kesadaran ketuhanannya apalagi untuk berdialog dengan-Nya. Mereka telah kehilangan “benang merah” yang menghubungkan manusia dengan titik pusat yang dipakai untuk melakukan pendakian spiritual menuju ma’rifah. Kesulitan mencapai titik pusat ini karena masyarakat Barat modern hidup mengandalkan kekuatan rasio (nalar) dan bergelimang dengan kemewahan materi. Untuk mengembalikan kesadaran ilahiah ini mereka harus melatih kekuatan intellectus dengan cara melaksanakan ajaran tasawuf. Dengan demikian akan tercapai keseimbangan (equilibrium) antara kekutan rasio yang berpusat di otak dan ketajaman mata hati (intellectus) yang berpusat di dada.
PENUTUP
Menurut Nashr, Sumber dimensi batiniah Islam yang paling mudah dijangkau, yaitu tasawuf. Praktik dimensi batin ini muncul tidak saja dalam dunia Sunni, tapi juga dalam mazhab Syi'ah Dua Belas Imam dan Ismailiyah. Nasr mengklaim, dalam sejarahnya tasawuf telah menjadi obat yang mampu melepaskan simpul keburukan yang menjerat kebeningan jiwa. Ilmu ini, menurutnya, menjadi psikoterapi sejati yang lebih unggul dari psikoterapi modern. Sebab, guru sufi menyembuhkan muridnya dengan sarana Ruh, mampu menenangkan dan sekaligus menyenangkan jiwa, serta memberinya cahaya yang terpancar dari-Nya sesuatu yang tak bisa dilakukan oleh psikoterapi modern.
Sebagian pengamat menilai gagasan Nashr bahwa tasawuf sebagai alternatif untuk mengatasi krisis umat manusia tersebut dalam banyak hal hanya cocok dan relevan untuk masyarakat pasca modernisme, yakni masyarakat Barat, sebaliknya kurang cocok dan relevan untuk masyarakat Islam yang tingkat budayanya sangat beragam.
Kita patut menghargai usaha-usaha serius dan gigih yang dilakukan Nasr. Sejauh ini, seperti ditunjukkan dalam berbagai karyanya, dialah intelektual muslim yang serius mengkaji tema spiritualitas Islam dengan berbagai dimensinya. Namun demikian, menurut penulis, Nashr sebagai orang yang menyaksikan langsung kehidupan modern di Barat, mestinya tidak hanya menggunakan ukuran-ukuran mikro-subyektif semata, tapi harus melihat realitas makro-obyektif bahwa di Barat spiritualitas dan religiusitas masih dipegangi – sebagaimana juga di dunia Timur – oleh sebagaian mereka. Realitanya – sebagaimana dapat diakses melalui berbagai media cetak maupun visual – bahwa kehidupan spiritual dan religi di Barat masih diminati. Ini terbukti banyaknya tempat-tempat ibadah di kampus dan perkantoran, termasuk juga di White House (Gedung Putih) ada semacam mushalla yang disebut dengan chaple, rumah sakit – dan ini sudah merupakan bagian dari sistem pelayanan – memberikan pelayanan doa bagi pasennya, terutama bagi pasen yang akan menjalani bedah (oprasi), Mike – Petinju si Leher Beton – Tyson masuk Islam di penjara karena pelayanan doa dari seorang muslim yang dengan suka rela mau mengunjunginya, di mall-mall terdapat biro-biro pelayanan doa dan konsultasi agama bagi yang membutuhkan, sementara di dunia Timur fenomena semacam ini tak pernah kita temukan. Wallahu A'lam bissawab.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Ade Muzaini. Upaya Transformasi Etika Esoteris ke Dalam Agenda Sosial, http://ikmas.iwebland.com/wacana.htm#_edn1
Al-Bagdadi, al-Junaid. “Rasa’il al-Junaid”, No. 6, dalam Ali Hasan Abdel Kader, The Life, Personality and Writings of al-Junaid. London: Luzac & Company Ltd.
Al-Jabiri, Muhammad Abed. 1989. Takwin al-‘aql al-‘arabi. Bairut, Markaz Dirasat al-Wihdah.
Al-Syirbasi, Ahmad. Al-Gazali wat-Tasawuf al-Islami. Kairo: Dar al-hilal.
Azra, Azumardi. 1994. Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi, dalam Ulumul Qur'an, Vol. IV, No. 1, th. 1994.
Brohi, Allahbakhsh K. "The Spiritual Significance of the Quran", dalam Seyyed H{ossein Nas}r (ed.). 1991. Islamic spitituality. New York: Crossroad.
Capra, Frithjof. "Science, Society and the Rising Culture", diterjemahkan oleh Thoyyibi. 1997. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Budaya. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Evans, C. Stephen. Philosophiy of Religion: Thingking about Faith. USA: Inter Nas}r, Seyyed H{ossein. 1991. Islamic spitituality. New York: Crossroad.
Ma'lof, Lois. 1986. Al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dar el-Machreq.
Maksum, Ali. 2003. Tasawuf sebagai Pembebas Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep Sayyed H{ossein Nas}r. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Versity.
Nas}r, Seyyed H{ossein. 1991. "The Quran as the Foundation of Islamic Spirituality", dalam Seyyed H{ossein Nas}r. Islamic Spirituality. New York: Crossroad.
__________________. "Knowledge and the Secred", diterjemahkan oleh Suharsono (et. Al.). 1997. Pengetahuan dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
__________________. "Traditional Islam in the Modern World", diterjemahkan oleh Lukman Hakim. 1994. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern. Bandung: Pustaka.
__________________. 1967. Man and Nature: the Spiritual Crisis of Modern Man. London: Allen and Unwin.
__________________. 1987. Islam: Life and Thought. USA: State University of New York Press.
__________________. 1984. Islam and the Plight of Modrn Man. Bandung: pustaka.
__________________. 1994. Ideals and Realitaes of Islam. San Francisco: Aquarian.
Naim, Ngainun. Tragedi Kemanusiaan di Era Globalisasi
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/1/12/op2.htm
Rahmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan.
Subekti, Sukma. 1986. Equilibrium Kehidupan: Titik Keseimbangan Ilmu dan Iman. Jakarta: PT Intermasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar