Assalamualaikum Wr. Wb

Kamis, 26 April 2012

KONSEP DAKWAH SUFI & RELEVANSINYA DIERA MODERN

Pengertian konsep dakwah sufi.

Konsep adalah rancangan atau idea atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret. Kata ini berasal dari bahasa Inggris yaitu concept yang bila di”bahasa arabkan” menjadi “mafhum”atau “nazhariyah”.

Adapun Dakwah :

1. Secara Etimologi

Kata dakwah (الدعوة ) artinya: "do’a", "seruan ", “panggilan”, "ajakan", "undangan", "dorongan" dan "permintaan", berakar dari kata kerja. "دعا“ yang berarti "berdo'a", "memanggil, "'menyeru","mengundang","mendorong", dan "mengadu".

Dakwah secara etimologis bebas nilai, artinya bisa mengajak kepada kebaikan atau ke jalan Allah bisa juga mengajak kepada kemungkaran, jalan setan atau berbuat maksiat seperti apa yang telah didramatisir oleh Zulaiha dengan mengajak Yusuf berbuat maksiat sebagaimana Firman Allah SWT:

Artinya:“Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cendrung untuk [memenuhi keinginan mereka], dan tentulah aku masuk orang-orang yang bodoh “.[Q.S.Yusuf/12.33].

2. Secara Terminologi

Dakwah adalah menyeru dan mengajak manusia untuk memahami dan mengamalkan ajaran islam sesuai dengan Al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad SAW

Sebagaimana Firman Allah Swt yang Artinya : "dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang rnenyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung." (QS Ali- Imran : 104).

Artinya:“Serulah [manusia] kepada jalan Tuhanmu.......[Q.S.An-Nahl/16.125].

Istilah "tasawuf" (sufiisme), berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safw yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi.

Adapun pengertian tasawuf secara termonologi sebagai berikut :

Imam Junaid dari Baghdad (m.910) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah".

Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan".

Sedangkan “sufi” adalah pelaku tasawuf itu sendiri. Kalau kita mengambil definisi tasawuf imam Junaid “sufi” adalah orang yang mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan sifat tercela. Tetapi kalau kita mengambil definisi tasawuf dari imam asy-syadzili maka “sufi” adalah orang yang melakukan latihan tersebut atau bisa disebut salik.”

Dari manapun definisi yang kita ambil, istilah para sufi berarti orang-orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin.

Jadi yang dimaksud dengan “ konsep dakwah sufi “ adalah rancangan atau ide mengajak manusia untuk memahami dan mengamalkan ajaran islam sesuai dengan Al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh salik.

Konsep dakwah sufi

Di sini kami ambil contoh konsep yang ditawarkan tokoh sufi besar yang mana menjadi salah satu mazhab tasawufnya NU yaitu Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab monumentalnya Ihya’ Ulumuddin. Kami akan banyak mengambil konsep- konsep beliau yang terekam pada bab Amar Ma’ruf Nahi Munkar, tetapi tidak menutup kemungkinan penulis mengambil dari referensi lain, terutama pada poin-poin yang mana Imam Al-Ghazali tidak menyinggung secara lengkap seperti yang akan pembaca dapatkan pada poin media dakwah sufi.

Dalam konsep dakwahnya Imam Al-Ghazali melibatkan beberapa unsur-unsur dakwah, meliputi : Da’i yaitu muhtasib (Komunikator) sebagai penyampai pesan dakwah, materi dakwah sebagai pesan dakwah yang disampaikan kepada mad’u yaitu muhtasab fih, mad’u (muhtasab ‘alaih) sebagai pendengar atau yang menerima pesan dakwah, dan nafsul-ihtisab yaitu media dakwah, dan metode serta saluran dakwah yang digunakan Imam Al-Ghazali dalam mencapai tujuan dakwah islamiyah. Berikut pemaparannya:

1. Da’i (Muhtasib)

Sesuai dengan namanya tugas seorang da’i (muhtasib) adalah seorang komunikator sebagai penyampai pesan dakwah (ajaran-ajaran Islam) yang disampaikan kepada mad’u (umat manusia). Menurut Imam Al-Ghazali, memberi petunjuk kepada orang lain adalah cabang dari memperoleh petunjuk dan demikian pula meluruskan orang lain adalah cabang dari istiqamah.

Dari pernyataan Imam Al-Ghazali diatas penulis menyimpulkan bahwa ukuran atau kadar baik tidaknya seorang da’i dapat dilihat dari perannya dalam meningkatkan kepekaan spiritualitas kemanusiaan atau sebaliknya. Apabila seorang da’i tersebut mampu mengajak mad’unya menuju jalan kebaikan rahmatan lil ‘alamin dengan merasakan keagungan sang khalik, lebih kreatif dalam menghadapi lingkungannya, lebih jauh melihat masa depannya, maka da’i tersebut telah berhasil dalam mensyiarkan dakwah islamiyah.

Namun sebaliknya apabila da’i tersebut tidak mampu mengajak mad’unya menuju jalan kebaikan rahmatan lil ‘alamin tetapi berbalik arah menuju jalan keburukan maka da’i tersebut gagal dalam mensyiarkan dakwah islamiyahnya.

Dalam kitab Ihya ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengemukakan seorang da’i (secara umum) dalam melaksanakan tugasnya memiliki syarat-syarat sebagai berikut:

a. Orang mukallaf muslim dan orang yang sanggup.

b. Islam, karena ia membela Islam.

c. Adil, seorang da’i harus bisa bersikap adil terutama dalam menyelesaikan suatu perselisihan.

d. Beriman, menurut Imam Al-Ghazali seorang da’i yang tidak beriman bukan termasuk ahli agama karena ia telah mengingkari pokok agama dan dengan keimananlah pertolongan bagi agama.

e. Shaleh.

f. Mengetahui tempat-tempat dakwah, batas-batasnya, jalan-jalannya, dan penghalang-penghalangnya agar ia dapat membatasi padanya, sesuai dengan batas agama.

g. Menjauhi diri dari dosa-dosa.

h. Memiliki budi pekerti, lemah lembut dan kasih sayang serta sabar dalam menjalankan dakwahnya.

2. Materi dakwah (Muhtasab fih)

Materi dakwah sebagai pesan dakwah yang di sampaikan kepada obyek dakwah mencakup semua aspek dalam agama islam ( islam, iman dan ihsan ). Para sufi tidak luput dari ketiganya ini, bisa banyak kita jumpai kitab-kitab tasawuf yang mencakup ketiganya ini. Sebagai contoh dalam bidang aqidah para sufi membahasnya dalam bab-bab pertama kitab-kitab tasawuf mereka, contoh kitab Risalah Qusyairiyah karya tokoh sufi agung Imam Al-Qusyairy dan kitab ihya’ ulumuddin karya Imam Al-Ghazali. Keduanya membahas aqidah di bab-bab pertama sebagai indikasi pentingnya aqidah dalam membentuk jati diri seseorang.

Ada materi dakwah yang sangat penting dalam dunia sufi yaitu pembersihan jiwa karena tatkala jiwa (hati) sudah bersih maka semua anggota badan akan bersih, juga sebagimana yang termaktum dalam sebuah hadis yang sangat populer : “tatkala ia bagus maka seluruh jasad akan menjadi bagus yaitu hati”.

Dalam rangkaian metode pembersihan hati, para sufi menetapkan dengan tiga tahap : Takhalli, Tahalli, dan Tajalli. Takhalli, sebagai tahap pertama dalam mengurus hati, adalah membersihkan hati dari keterikatan pada dunia. Hati, sebagai langkah pertama, harus dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak, istri, harta dan segala keinginan duniawi.

Tahalli, sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah SWT. Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi hati yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli, lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat.

Setelah tahap ‘pengosongan’ dan ‘pengisian’, sebagai tahap ketiga adalah Tajalli. Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap dalam wilayah Jalla Jalaluh, Allah Subhanahu Wata’ala. Ia lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam keridho’an-Nya. Pada tahap ini, para sufi menyebutnya sebagai ma’rifah, orang yang sempurna sebagai manusia luhur.

3. Mad’u (muhtasab ‘alaih)

Mad’u merupakan objek dakwah, yang bertindak sebagai pendengar atau yang menerima pesan dakwah yang disampaikan seorang da’i. Syaratnya adalah bahwa Muhtasab ‘Alaih dengan sifat yang menjadikan perbuatan yang dilarang daripadanya baginya itu munkar dan sedikit-dikitnya apa yang mencukupi dalam hal itu adalah bahwa ia adalah manusia dan tidak disyaratkan bahwa ia seorang mukallaf. Dan tidak disyaratkan bahwa ia adalah mumayyiz (yang dapat membedakan antara yang bermanfaat dan tidak manfaat).

4. Media dakwah (nafsul-ihtisab)

Para sufi terkenal sangat kreatif dalam menggunakan media dakwah karena kebanyakan para sufi berpahaman bahwasanya tidak semua yang baru itu merupakan bid’ah atau hal yang dilarang oleh agama, tetapi mereka lebih membagi bid’ah menjadi dua : bid’ah hasanah atau lebih layak dikatakan sunah hasah dan bid’ah dhalalah.

Ada beberapa media atau sarana yang digunakan para sufi dalam berdakwah diantaranya adalah :

a. Halaqatul zikir ( majlis zikir )

Sarana ini adalah sarana terpenting dari kebanyakan tarekat- tarekat sufi, kebanyakan tarekat sufi sangat menganjurkan para pengikutnya untuk sering zikir bersama karena dengan zikir bersama akan lebih membawa dampak yang positih terhadap jiwa para jamaah tarekat tersebut disamping banyak landasan-landasan dalil dari Al-quran dan sunnah yang menganjurkan zikir berjamaah.

b. Khalwah- khalwah Al-qur’an

Media ini sangat banyak kita temukan di Sudan, bisa dikatakan 80% dari tokoh- tokoh sufi (mursyid) memiliki khalwah Al-quran yaitu semacam pesantren yang khusus untuk menghafalkan Al-qur’an tanpa pungutan biaya sedikitpun. Semua kebutuhan ditanggung pemilik khalwah yang biasanya sering dapat sumbangan dari orang-orang dermawan untuk konsumsi para santri khalwah. Di khalwah itulah para santri digembleng dengan menghafal Al-quran sebagai pondasi awal memahami agama islam. Di Sudan santri-santri khalwah terdiri dari banyak usia dan yang paling banyak masih usia relatif muda kurang dari 10 tahun.

c. Masjid

Masjid merupakan media dakwah yang dijadikan Rasulullah SAW sebagai sarana dan tempat penggemblengan para sahabat RA dan dari masjid muncullah tokoh- tokoh yang banyak kita jadikan contoh. Karena itulah para sufi tidak lalai dalam memanfaatkan sarana ini sebagai media dakwah, di negara- negara muslim banyak kita temukan masjid- masjid tua yang didirikan para tokoh- tokoh sufi seperti banyak kita temukan juga di indonesia. Ambil contoh Masjid Agung Demak yang merupakan pusat perkumpulan Wali Songo, masjid agung menara kudus yang mempunyai ciri khas tertentu dengan adanya menara mirip dengan tempat ibadah orang hindu dan budha.

d. Zawiyah sufiah

Yaitu semacam tempat pertapaan (‘uzlah) para sufi yang jauh dari keramaian kota dan biasanya banyak ditemukan di gurun- gurun negara timur tengah. Sarana ini mereka gunakan untuk mendidik nafsu dan hati dari segala penyakitnya serta sarana untuk menggembleng para santri dalam menekuni dunia kesufian. Sarana ini banyak kita temukan di Libia, Maroko dan negara- negara lain di zaman penjajahan yang diantara tarekat yang banyak menggunakan media ini adalah Tarekah Sanusiyah yang terpusat di Libya.

e. Media tulis

Media ini merupaka media terpenting dalam setiap gerakan dakwah. Karena itulah para sufi tak luput memanfaatkan media ini sebagai sarana dakwah. Kalau kita mau masuk perpustakaan islam maka banyak sekali kita temukan kitab- kitab karya para tokoh-tokoh sufi. Ambil contoh kitab karya Imam Al-Ghazali bisa kita temukan begitu banyak, kitab karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan karya tokoh-tokoh yang lain.

f. Media internet

Media yang satu ini tidak dapat ditemukan di era- era dulu, tetapi pada era sekarang media ini sangat dilirik oleh semua kalangan karena jangkauannya yang luas tanpa batas ruang dan waktu. Begitu juga para sufi tidak mau ketinggalan dengan pemanfaatan media ini, sekarang banyak kita temukan situs-situs sufi dari berbagai Negara, contoh kecil di Indonesia ada situs www.sufinews.com.

5. Metode dakwah

Imam Al-Ghazali menerangkan metodologi dakwah yang digunakan dalam menyiarkan dakwah Islam. Terdapat beberapa tingkatan diantaranya adalah ta’aruf , melarang dengan pengajaran dan cara yang halus dan janganlah bersikap keras supaya tidak melampaui batas syara’ sehingga lebih banyak merusak daripada memperbaiki sehingga dalam tegurannya terdapat semacam pelanggaran. Bahkan, seandainya ada seseorang menolak atau menghadapinya dengan sikap yang tidak disukainya, maka janganlah ia melampaui batas syara’ dan melupakan teguran serta melakukan kemungkaran dalam teguran itu sendiri. Menurut Imam Al-Ghazali dalam teguran itu ada empat tingkatan yaitu memberitahu, menasehati, bersikap keras dalam perkataan, kemudian mencegah dengan paksaan. Tidaklah boleh terhadap raja dan penguasa, kecuali memberitahu dan menasehati. Adapun bersikap keras dan mencegah dengan paksa, maka sikap itu menggerakkan fitnah dan menimbulkan hal-hal yang lebih keji daripada yang mereka alami. Jika sikap keras itu berfaedah dan tidak menimbulkan perkara yang berbahaya, maka tidaklah mengapa. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

Artinya:” Barangsiapa dari kamu melihat perbuatan munkar, maka hendaklah ia ingkar dengan tangannya, kalau tidak mampu, maka dengan lisannya lalu kalau tidak mampu, maka dengan hatinya dan demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Jadi, menurut Imam Al-Ghazali dakwah Islamiyah itu tidak secara otomatis harus dikerjakan begitu saja, tetapi harus dilihat kepentingannya, adakah kemungkaran itu terjadi ditengah masyarakat? Sejauh mana kemungkaran itu dilakukan orang?

Setelah diketahui kemungkaran itu memang terjadi, barulah dipersiapkan konsep penanggulangannya untuk selanjutnya ditangani dengan memperhatikan tiga alternatif tadi yaitu melalui :

a. Kekuasaan atau wewenang yang ada pada dirinya, atau dilaporkan kepada pihak yang berwenang untuk ditangani

b. Peringatan atau nasihat yang baik dalam Al-quran disebut mau’idhoh hasanah

c. Ingkar dalam hati, artinya hati kita menolak tidak setuju

d. Pengajaran dan nasihat dengan perkataan yang baik dengan cara tutur kata yang lemah lembut sehingga akan terkesan di hati, menghindari sikap sinis dan kasar, serta tidak menyebut-nyebut kesalahan atau bersikap menghakimi orang yang diajak bicara.

Secara umum, karakteristik dakwah Islam harus mengacu pada pesan moral universal ajaran Islam yang mendasar dan mencerminkan nilai-nilai rahmatan li al-alamin sebagai manifestasi dari rasa kasih sayang, keikhlasan dan tanggung jawab yang merefleksikan kemaslahatan, kemanfaatan, kesejahteraan, dan bernilai guna bagi semua pihak seluruh makhluk. Baik untuk sesama muslim (ukhwah islamiyah), sesama manusia (ukhwah basyariyah), sesama makhluk, dan bahkan alam sekitar dan ekologinya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam Al-quran surat Al-Anbiya ayat 107:

Artinya. “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiya ayat 107)

Relevansi konsep dakwah sufi di era modern

Banyak orang yang meragukan relevensi konsep dakwah sufi di era modern ini. Mereka menganggap bahwasanya konsep dakwah sufi adalah konsep yang sudah usang dan tidak layak pakai lagi di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini. Bahkan ada yang beranggapan bahwa konsep dakwah sufi hanya cocok di era yang sudah lampau dan tidak akan pernah kembali lagi. Tapi kiranya orang yang meragukan hal tersebut menelaah kembali dan menguji konsep dakwah sufi tersebut maka dia akan tahu sampai seberapa relevansi konsep dakwah sufi di era sekarang. Pada sub ini kami merasa perlu mengutip banyak sebuah makalah yang ditulis oleh Aprilina hartanti dalam sebuah blogger kumpulan makalah psikologi.

Banyak cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi masalah yang muncul akibat modernisasi dan globalisasi dan salah satu cara yang hampir disepakati para ahli adalah dengan cara mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan akhlak tasawuf bagi mengatasi masalah tersebut adalah Husein Nashr. Menurutnya, faham sufisme ini mulai mendapat tempat di kalangan masyarakat (termasuk masyarakat barat) karena mereka mulai mencari-cari dimana sufisme yang dapat menjawab sejumlah masalah tersebut.

Sufisme perlu dimasyarakatkan pada kehidupan modern karena terdapat 3 tujuan yang penting yaitu :

a. Turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spiritual.

b. Memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoterik (kebatinan) Islam, baik terhadap masyarakat islam yang mulai melupakannya maupun non islam, khususnya terhadap masyarakat barat. Untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoterik Islam, yakni sufisme, yaitu jantung dari ajaran islam sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut , maka keringlah aspek-aspek lain ajaran islam

Relevansi tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syari’ah sekaligus. Ia bisa difahami sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan Tasawuf suluky, dan bisa memuaskan dahaga intelektual melalui pendekatan Tasawuf falsafy. Ia bisa diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan di tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah, yatiu Ka’bah, dan secara rohaniah mereka berlomba lomba menempuh jalan (tarekat) melewati ahwal dan maqam menuju kepada Tuhan yang Satu, Allah SWT. Tasawuf adalah kebudayaan Islam, oleh karena itu budaya setempat juga mewarnai corak Tasawuf sehingga dikenal banyak aliran dan tarekat.Telah disebut di muka bahwa ber-tasawuf artinya mematikan nafsu dirinya untuk menjadi Diri yang sebenarnya. Jadi dalam kajian Tasawuf, nafs difahami sebagai nafsu, yakni tempat pada diri seseorang dimana sifat-sifat tercela berkumpul, Al Ashlu Al Jami` Li As Sifat Al Mazmumah Min Al Insan. Nafs juga dibahas dalam kajian Psikologi dan juga filsafat. Dalam upaya memelihara agar tidak keluar dari koridor Al-Qur’an maka baik Tasawuf maupun Psikologi (Islam) perlu selalu menggali konsep nafs (dan manusia) menurut Al-Qur’an dan hadis.

Tasawuf dan modernitas pada dasarnya sejak awal perkembangan islam gerakan tasawuf mendapat sambutan luas di kalangan umat islam. Bahkan penyebaran islam di Indonesia lebih mudah berkat dakwah menggunakan pendekaatan tasawuf. Penekanan pada sisi esoteric agama (hal-hal yang bersifat batiniah dari agama) lebih mengundang daya tarik ketimbang eksoteriknya (Formalitas ritual agama) Salah satunya disebabkan oleh adanya persinggungan antara sisi esoteric dengan pergulatan eksistensi manusia. Kecenderungan animisme dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang mengandung keramat dan ruh-ruh leluhur yang bisa menjadi perantara kepada Tuhan) misalnya menyiratkan ketertarikan yang besar terhadap sisi esoteric itu. Faktor seperti inilah yang mendorong Hamka meneliti Tasawuf sebagaimana ia jelaskan dalam bukunya :“Tidaklah dapat diragukan lagi bahwasanya tasawuf adalah salah satu pusaka keagamaan terpenting yang mempengaruhi perasaan dan pikiran kaum muslimin (1981;20)

Luasnya pengaruh tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban islam menandakan tasawuf relevan dengan kebutuhan umat islam. Menurut Hamka tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan merasakan jantung dari keislaman.

Dalam masyarakat modern fenomena ketertarikan terhadap pengajian bernuansa tasawuf mencerminkan adanya kebutuhan untuk mengatasi problem alenasi yang diakibatkan modernitas. Modernitas memberikan kemudahan mhidup tetapi tidak selalu memberikan kebahagiaan Intisari ajaran tasawuf sebagaimana paham mistisme dalam agama-agama lain adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadaranya itu berada di kehadirat-Nya. Upaya ini antara lain dilakukan secara kontemplasi, melepaskan diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara. Sikap dan pandangan sufistik ini sangat diperlukan oleh masyarakat modern yang mengalami jiwa yang terpecah sebagaimana disebutkan, asalkan pandangan terhadap tujuan tasawuf tidak dilakukan secara ekslusif dan individual, melainkan berdaya aplikatif dalam meresponi berbagai masalah yang dihadapi.

Kemampuan berhubungan dengan Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang tampak berserakan karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan. Dengan adanya bantuan tasawuf ini, maka ilmu pengetahuan satu dan lainya tidak akan bertabrakan karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi dengan demikian ia akan terhindar dari melakukan perbuatan perbuatan yang tercela menurut agama selanjutnya ajaran tawakkal pada Tuhan menyebabkan ia memiliki pegangan yang kokoh, karena ia telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada Tuhan, sikap tawakkal ini akan mengatasi sikap stress yang dialami oleh manusia. Sikap materialistic dan hedonistic yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara itu. Jika sikap ini tidak mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan , sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka caranya pun harus ditempuh dengan cara yang disukai Tuhan.

Demikian pula ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkat oleh tipu daya keduniaan, dapat pula digunakan untuk membekali masyarakat modern agar tidak menjadi sekruft dari mesin kehidupan. Yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa kemana. Tasawuf dengan konsep uzlahnya itu berusaha membebaskan manusia dari perangkap-perangkap kehidupan tapi ia tetap mengendalikan aktivitasnya sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, dan bukan sebaliknya larut dalam pengaruh keduniaan. Terakhir problematika masyarakat modern diatas adalah sejumlah manusia yang kehilangan masa depanya, merasa kesunyian dan kehampaan jiwa di tengah-tengah derunya laju kehidupan.

Modernisme merupakan tanda kemajuan dan moderniame juga merupakan tanda kemunduran suatu bangsa. Perkembangan dalam berbagai bidang, dari bidang ekonomi sampai bidang teknologi. Hal telah banyak membuat kita lupa akan daratan kita –tujuan awal– yang sejak awal kita bangun. Kenyataannya, modernisme makin hari membawa diri kita terselubungi dengan perkembangan teknologi.

Efeknya, penghayatan terhadap Islam mulai digantikan dengan penghayatan duniawi yang serba ingin modern. Prinsip materiaistik memenuhi otak pikiran, yang melepaskan kontrol agama dan kebebasan bertindak demi memenuhi modernisme telah berkuasa untuk mengalahkan terapi sufisme atau tasawuf. Masyarakat modern semakin mendewakan keberadaan ilmu pengetahuan, maka seakan-akan kita berada pada wilayah pinggiran yang bermadzab ke-barat-an dan bahkan kita hampir-hampir kehilangan visi kailahian. Hal inilah yang membuat kita makin stress dan gersang hati kita dengan dunia, akibat tidak mempunyai pegangan hidup. Dalam teori kesuksesan yang diterapkan oleh Ary Gynanjar yang mengilustrasikan keberadaan diri kita sudah dan telah memiliki kekuatan atau kemampuan yang berupa IQ, EQ dan SQ. Yang mana, ketika kemampuan itu membentengi manusia dalam hariannya untuk menjadi manusia yang sukses atau manusia yang kamil. Untuk itulah, teori yang diterapkan oleh Ary Gynanjar harus diseimbangkan dalam diri personal. Sebab, akibat yang ditimbulkan dari ketidakseimbangan tersebut akan merubah diri seorang hidup tanpa peganggan yang lari sana dan lari sini, ikut sana dan ikut, tidak punya prinsip yang diandalkan. Wujud dari kemampuan manusia, umunnya berupa kekuatan ekonomi, teknologi, dan kekuatan ibadiyah. Wajar sekali, kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi penunjang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat harkat dan martabat umat itu sendiri. Hal ini disebabkan maraknya perkembangan dan kebutuhan duniawi yang marak juga. Maka dari itu, keselamatan seseorang ditentukan oleh pribadi masing-masing, di mana ia semakin menjaga martabat Islam, semakin pula dirinya terjaga dari arus besarnya kemodernismean. Keseimbangan memang dibutuhkan, tapi realita yang terjadi ketika insan bertaqorub ilahirobbi yang mana mereka menjalani hidup penuh dengan nuasa tasawuf tidak disertai yang namanya EQ. Sehinga yang terjadi, mereka hanya bisa dekat dengan Tuhannya tapi tidak dekat dengan lingkungannya yakni masyarakat sekitarnya.

Tarekat- tarekat sufi yang menyebar di Negara- Negara maju :

Dari wujud relevansi konsep dakwah sufi adalah menyebarnya tarekat- tarekat sufi di belahan- belahan dunia terutama di negara- negara maju. Dan kali ini akan kami paparkan sekelumit dari contoh tarekat- tarekat yang sudah menembus negara maju.

Pada awalnya pengenalan diskursus tasawuf di Barat, sebagian terselenggara melalui informasi akademis, melalui buku-buku yang ditulis, hasil penelitian lapangan, ataupun terjemahan karya-karya para sufi dari bahasa-bahasa Muslim (yakni bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu dsb), ke dalam bahasa Barat (yaitu bahasa Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dsb).

Tarekat Naqsyabandiyah (Haqqaniyah) yang berpusat di Cyprus, tempat kelahiran Syaikh Muhammad Nazim al-Haqqani dan khalifah beliau Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani dengan gigih telah berhasil mempunyai banyak cabang di Syria, Amerika Serikat (Michigan, Chicago dan California dan terdapat di 18 tempat lainnya), serta cabang-cabangnya di Kanada (Montreal, Toronto, Vancouver, dsb), Inggris (London dan Birmingham), Perancis, Spanyol (3 tempat), Swedia, Switzerland, Mesir, Jerusalem, Lebanon, Kenya, Jerman, Belanda, Italia, Argentina (4 tempat), Guadeloup, Australia, Pakistan, Sri Lanka, Mauritius dan Afrika Selatan, juga di Indonesia, Malaysia, Jepang (4 tempat), serta Brunei Darussalam. Karya-karya Syaikh Nazim, baik yang berbahasa Turki, Arab atau berbahasa Inggris, sebagian sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Tarekat Chisytiyah sebuah tarekat kelahiran India yang di dirikan oleh Syaikh Mu‘in al-Din Chisyti (w.1236) telah berhasil mempopulerkan tarekat ini ke luar India. Di awal pendiriannya tarekat ini berideologi Sunni. Hal ini terbukti bahwa para sufi awal Chisyti di India menjadikan ‘Awârif al-Ma‘ârif karya Syaikh Syihab al-Din Abu Hafs ‘Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M) sebagai pegangan mereka. Hingga sekarang ini cabang Tarekat Chisytiyah juga terdapat di Amerika Serikat misalnya di Philadelphia, dibawa dan dikembangkan oleh seorang Syaikh Chisytiyah dari Sri Lanka, bernama Bawa Muhayiddin.

Seorang orientalis yang telah sangat berjasa dalam memperkenalkan pendiri Tarekat Mawlawiyah misalnya, yaitu Mawlana Jalaludin Rumi ke dunia Barat adalah Reynold A. Nicholson yang telah bukan hanya mengedit secara kritis semua naskah matsnawi, tetapi juga menterjemahkan dengan baik seluruh naskah tersebut (sebanyak 6 buku) ke dalam bahasa Inggris. Demikian juga ia telah menerjemahkan dan menseleksi dari Divan-i Syams-i Tabriz. Sedangkan karya Rumi yang lain Fihi Ma Fihi telah diterjemahkan oleh Arberry dengan judul Discourse of Rumi.

Penutup.

Dengan demikian konsep dakwah sufi, bukan hanya sebatas menyeru manusia kepada Allah SWT, banyak hal yang tercangkup di dalamnya, termasuk bagaimana cara menerapkan Islam dalam tatanan kehidupan, menghadapi tantangannya dan mengetahui konspirasi para musuh Islam. Hubungan dakwah, amar ma’ruf nahi munkar tidak bisa dipisahkan. Di sini dapat kita lihat, bahwa pada kenyataannya dakwah ilallallah selalu ditekankan pada terwujudnya al-ma’ruf atau al-khair, dan menjadi tugas pokok seorang muslim. Dakwah yang berisikan amar ma’ruf nahi munkar yang digerakkan orang-orang muslim, pada praktiknya memang berhadapan dengan dakwah amar munkar nahi ma’ruf yang dilakukan oleh orang-orang munafik.

Secara sosiologis, al-ma’ruf dan al-munkar menunjuk pada kenyataan bahwa kebaikan dan keburukan itu terdapat dalam masyarakat. Umat Islam dituntut untuk mengenali kebaikan dan keburukan yang ada dalam masyarakat, kemudian mendorong, memupuk, dan memberanikan diri kepada tindakan-tindakan kebaikan, dan pada waktu yang sama ia mampu mencegah, menghalangi, dan menghambat tindakan-tindakan keburukan. waAllahu A’la wa a’lam.

OLEH : MIFTAHUL MUNIF

(Dikutip dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar