Assalamualaikum Wr. Wb

Jumat, 20 Juli 2012

Mengenal Syeikh Abdush Shamad al-Palimbani

Dalam percaturan intelektualisme Islam Nusantara –atau biasa juga disebut dunia Melayu– khususnya di era abad 18 M, peran dan kiprah Syeikh Abdush Shamad Al-Palimbani tak bisa dianggap kecil. Syeikh Al-Palimbani, demikian biasa ia disebut banyak kalangan, merupakan salah satu kunci pembuka dan pelopor perkembangan intelektualisme Nusantara. Ketokohannya melengkapi nama-nama ulama dan intelektual berpengaruh seangkatannya semisal Al-Raniri, Al-Banjari, Hamzah Fansuri, Yusuf Al-Maqassari, dan masih banyak lainnya.

Dalam deretan nama-nama tersebut itulah, posisi Syeikh Al-Palimbani menjadi amat sentral berkaitan dengan dinamika Islam. Malah, sebagian sejarahwan, seperti Azyumardi Azra, menilai Al-Palimbani sebagai sosok yang memiliki kontribusi penting bagi pertumbuhan Islam di dunia Melayu. Ia bahkan juga bersaham besar bagi nama Islam di Nusantara berkaitan kiprah dan kontribusi intelektualitasnya di dunia Arab, khususnya semasa ia menimba ilmu di Mekkah.

Riwayat hidup Abdush Shamad al-Palimbani sangat sedikit diketahui. la sendiri hampir tidak pernah menceritakan tentang dirinya, selain tempat dan tanggal yang dia cantumkan setiap selesai menulis sebuah kitab. Seperti yang pernah ditelusuri M. Chatib Quzwain dan juga Hawash Abdullah, satu-satunya yang menginformasikan tentang dirinya hanya Al-Tarikh Salasilah Negeri Kendah (di Malaysia) yang ditulis Hassan bin Tok Kerani Mohammad Arsyad pada 1968.

Sumber ini menyebutkan, Abdush Shamad adalah putra Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani (ada yang mengatakan al-Mahdali), seorang ulama keturunan Arab (Yaman) yang diangkat menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti adalah seorang wanita Palembang. Syekh Abdul Jalil adalah ulama besar sufi yang menjadi guru agama di Palembang, tidak dijelaskan latar belakang kedatangannya ke Palembang. Diperkirakan hanya bagian dari pengembaraannya dalam upaya menyiarkan Islam sebagaimana banyak dilakukan oleh warga Arab lainnya pada waktu itu.

Tetapi selain sumber tersebut, Azyu-mardi Azra juga mendapatkan informasi mengenai dirinya dalam kamus-kamus biografi Arab yang menunjukkan bahwa Al-Palimbani mempunyai karir terhormat di Timur Tengah.

Menurut Azra, informasi ini merupakan temuan penting sebab tidak pernah ada sebelumnya riwayat-riwayat mengenai ulama Melayu-lndonesia ditulis dalam kamus biografi Arab. Dalam literatur Arab, Al-Palimbani dikenal dengan nama Sayyid Abdush Shamad bin Abdur Rahman al-Jawi. Tokoh ini, menurut Azra, bisa dipercaya adalah Al-Palimbani karena gambaran karirnya hampir seluruhnya merupakan gambaran karir Abdush Shamad al-Palimbani yang diberitakan sumber-sumber lain.

Sejauh yang tercatat dalam sejarah, memang ada tiga versi nama yang dikaitkan dengan nama lengkap Al-Palimbani. Yang pertama, seperti dilansir Ensiklopedia Islam, ia bernama lengkap Abdus Shamad Al-Jawi Al-Palimbani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdus Shamad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani. Sementara versi terakhir, tulis Rektor UIN Jakarta itu, bahwa bila merujuk pada sumber-sumber Arab, maka Syeikh Al-Palimbani bernama lengkap Sayyid Abdus Al-Shamad bin Abdurrahman Al-Jawi.

Dalam pengembaraan putra mahkota Kedah, Tengku Muhammad Jiwa ke Palembang, ia bertemu dengan Syekh Abdul Jalil dan berguru padanya, bahkan mengikutinya mengembara ke berbagai negeri sampai ke India. Dalam sebuah perjalanan mereka, Tengku Muhammad Jiwa mendapat kabar bahwa Sultan Kedah telah mangkat.

Tengku Muhammad Jiwa lalu mengajak gurunya itu (Syekh Abdul Jalil) pulang bersamanya ke negeri Kedah. Ia dinobatkan menjadi sultan pada tahun 1112 H/1700 M dan Syekh Abdul Jalil diangkat menjadi mufti Kedah dan dinikahkan dengan Wan Zainab, putri Dato’ Sri Maharaja Dewa, Sultan Kedah.

Tiga tahun kemudian Syekh Abdul Jalill kembali ke Palembang karena permintaan beberapa muridnya yang rindu padanya. Di Palembang ia menikah dengan Radin Ranti dan memperoleh putra, Abdush Shamad. Dengan demikian kemungkinan Abdush Shamad lahir tahun 1116 H/1704 M.

Sumber yang menyebutkan silsilahnya sebagai keturunan Arab tidak pernah dikonfirmasikan oleh Al-Palimbani sendiri. Jika keterangan sumber tersebut benar, tentu Al-Palimbani akan mencantumkan nama besar al-Mahdani pada akhir namanya. Ini dapat dilihat dari setiap tulisannya, ia menyebut dirinya Syekh Abdush Shamad al-Jawi al-Palimbani. Kemungkinan dalam dirinya memang mengalir darah Arab tetapi silsilah itu tidak begitu jelas atau ada mata rantai yang tidak bersambung menurut garis keturunan bapak sehingga dia tidak merasa berhak menyebut dirinya keturunan al-Mahdani dari Yaman. Dan barangkali dia lebih merasa sebagai orang Indonesia sehingga mencantumkan ‘al-Jawi‘ dan ‘al-Palimbani‘ di ujung namanya.

Al-Palimbani mengawali pendidikannya di Kedah dan Pattani (Thailand Selatan). Tidak ada penjelasan kapan dia berangkat ke Makkah melanjutkan pendidikannya. Kemungkinan besar setelah ia menginjak dewasa dan mendapat pendidikan agama yang cukup di negeri Melayu itu. Dan agaknya sebelum ke Makkah dia telah mempelajari kitab-kitab para sufi (tasawuf) Aceh, karena di dalam Sayr al-Salikin dia menyebutkan nama Syamsuddin al-Samatrani dan Abdul Rauf al-Jawi al-Fansuri (Abdul Rauf Singkel). Namun sumber lain mengatakan bahwa ia pernah bertemu dan berguru pada Syamsuddin al-Samatrani dan Abdul Rauf Singkel di Makkah.

Di Makkah dan Madinah, Al-Palimbani banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu kepada ulama-ulama besar masa itu serta para ulama yang berkunjung ke sana. Walaupun pendidikannya sangat tuntas mengingat ragam ulama tempatnya belajar, Al-Palimbani mempunyai kecenderungan pada tasawuf. Karena itu, di samping belajar tasawuf di Masjidil-Haram, ia juga mencari guru lain dan membaca kitab-kitab tasawuf yang tidak diajarkan di sana. Dari Syekh Abdur Rahman bin Abdul ‘Aziz al-Magribi dia belajar kitab Al-Tuhfatul Mursalah (Anugerah yang Diberikan) karangan Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1030 H/1620 M). Dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani (w. 1190 H/1776 M) ia belajar kitab tauhid (suluk) Syekh Mustafa al-Bakri (w. 1162 H/1749 M). Dan bersama Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis dan Abdul-Rahman Masri Al-Batawi dari Jakarta, mereka membentuk empat serangkai yang sama-sama menuntut ilmu di Makkah dan belajar tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad al-Samman (w. 1162 H/1749 M), juga bersama-sama dengan Dawud Al-Fatani dari Patani, Thailand Selatan.

Selama belajar pada Syekh Muhammad al-Samman, Al-Palimbani dipercaya mengajar rnurid-murid Al-Sammani yang asli orang Arab. Karena itu sepanjarig menyangkut kepatuhannya pada tarekat, Al-Palimbani banyak dipengaruhi Al-Sammani dan dari dialah Al-Palimbani mengambil tarekat Khalwatiyyah dan Sammaniyyah. Sebaliknya, melalui Al-Palimbani-lah tarekat Sammaniyyah mendapat lahan subur dan berkembang tidak hanya di Palembang tetapi juga di bagian lain wilayah Nusantara bahkan di Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina. Beberapa orang guru yang masyhur dan berandil besar dalam proses peningkatan intelektualitas dan spiritualitasnya antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun’im Al-Damanhuri. Juga tercatat ulama besar Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri.

Al-Palimbani rnemantapkan karirnya di Haramayn (Mekkah dan Madinah) dan mencurahkan waktunya untuk menulis dan mengajar. Meski demikian dia tetap menaruh perhatian yang besar terhadap Islam dan kaum Muslimun di negeri asalnya. Di Haramayn ia terlibat dalam ‘komunitas Jawi’ yang membuatnya tetap tanggap terhadap perkembangan sosio-religius dan politik di Nusantara. Peran pentingnya tidak hanya karena keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan lebih penting lagi karena tulisan-tulisannya yang tidak hanya menyebarkan ajaran-ajaran sufisme tetapi juga menghimbau kaum Muslimun melancarkan jihad melawan kolonialis Eropa, dibaca secara luas di wilayah Melayu-lndonesia. Peranan dan perhatian tersebut memantapkannya sebagai ulama asal Palembang yang paling menonjol dan paling berpengaruh melalui karya-karyanya.

Al-Palimbani berperan aktif dalam memecahkan dua persoalan pokok yang saat itu dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang maupun di kepulauan Nusantara pada umumnya, yaitu menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat. Mengenai dakwah Islam, ia menulis selain dua kitab tersebut di atas, yang menggabungkan mistisisme dengan syariat, ia juga menulis Tuhfah al-Ragibtn ft Sayan Haqfqah Iman al-Mukmin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin (1188). Di mana ia memperingatkan pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen) dan paham wujudiyah muthid yang sedang marak pada waktu itu. Drewes rnenyimpulkan bahwa kitab ini ditulis atas permintaan sultan Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin karena di awal kitab itu ia memang menyebutkan bahwa ia diminta seorang pembesar pada waktu itu untuk menulis kitab tersebut.

Mengenai kolonialisme Barat, Al-Palimbani menulis kitab Nasihah al-Muslimin wa tazkirah al-Mu’min fi Fadail Jihad ti Sabilillah, dalam bahasa Arab, untuk menggugah semangat jihad umat Islam sedunia. Tulisannya ini sangat berpengaruh pada perjuangan kaum Muslimun dalam melawan penjajahan Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya. Hikayat Perang Sabil-nya Tengku Cik di Tiro dikabarkan juga mengutip kitab tersebut.

Masalah jihad fi sabililiah sangat banyak dibicarakan Al-Palimbani. Pada tahun 1772 M, ia mengirim dua pucuk surat kepada Sultan Mataram (Hamengkubuwono I) dan Pangeran Singasari Susuhunan Prabu Jaka yang secara halus menganjurkan pemimpin-pemimpin negeri Islam itu meneruskan perjuangan para Sultan Mataram melawan Belanda.

Mengenai tahun wafatnya juga tidak diketahui dengan pasti. Al-Tarikh Salasilah Negeri Kendah menyebutkan tahun 1244 H/1828 M. Namun kebanyakan peneliti lebih cenderung menduga ia wafat tidak berapa lama setelah meyelesaikan Sayr al-Salikin (1203 H/1788 M). Argumen mereka, Sayr al-Salikin adalah karya terakhirnya dan jika dia masih hidup sampai 1788 M kemungkinan dia masih tetap aktif menulis. Al-Baythar – seperti dikutip Azyumardi Azra – menyebutkan ia wafat setelah tahun 1200/1785. Namun Azyumardi Azra sendiri juga lebih cenderung mengatakan ia wafat setelah menyelesaikan Sayr al-Salikin, tahun 1788 M.

Karya Tulis Al-Palimbani

Tercatat delapan karya tulis Al-Palimbani, dua diantaranya telah dicetak ulang beberapa kali, dua hanya tinggal nama dan naskah selebihnya masih bisa ditemukan di beberapa perpustakaan, baik di Indonesia maupun di Eropa. Pada umumnya karya tersebut meliputi bidang tauhid, tasawuf dan anjuran untuk berjihad. Karya-karya Al-Palirnbani selain empat buah yang telah disebutkan di atas adalah:
Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauhid, ditulis pada 1178 H/1764 M di Makkah dalam bahasa Melayu, memuat masalah tauhid yang ditulisnya atas perrnintaan pelajar Indonesia yang belurn menguasai bahasa Arab.
Al-’Uwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa’, ditulis dalam bahasa Arab, berisikan wirid-wirid yang perlu dibaca pada waktu-waktu tertentu.
Ratib ‘Abdal-Samad, semacam buku saku yang berisi zikir, puji-pujian dan doa yang dilakukan setelah shalat Isya. Pada dasarnya isi kitab ini hampir sama dengan yang terdapat pada Ratib Samman.
Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-’Alamin, berisi ringkasan ajaran tauhid yang disampaikan oleh Syekh Muhammad al-Samman di Madinah.

Mengenai Hidayah al-Salikin yang ditulisnya dalam bahasa Melayu pada 1192 H/1778 M, sering disebut sebagai terjemahan dari Bidayah al-Hidayah karya Al-Ghazali. Tetapi di samping menerjemahkannya, Al-Palimbani juga membahas berbagai masalah yang dianggapnya penting di dalam buku itu dengan mengutip pendapat Al-Ghazali dari kitab-kitab lain dan para sufi yang lainnya. Di sini ia menyajikan suatu sistem ajaran tasawuf yang memusatkan perhatian pada cara pencapaian ma’rifah kesufian melalui pembersihan batin dan penghayatan ibadah menurut syariat Islam.

Sedangkan Sayr al-Salikin yang terdiri dari empat bagian, juga berbahasa Melayu, ditulisnya di dua kota, yaitu Makkah dan Ta’if, 1779 hingga 1788. Kitab ini selain berisi terjemahan Lubab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali, juga memuat beberapa masalah lain yang diambilnya dari kitab-kitab lain. Semua karya tulisnya tersebut masih dijumpai di Perpustakaan Nasional Jakarta.***

Wallahua’lam

***[disarikan dari tulisan Asrina M.Ag, Hery Sucipto dan sumber lainnya]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar