Siang selepas shalat Dzuhur, ketika sedang asik ngopi, tiba-tiba terdengar pengumuman dari toa masjid: innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Langsung saya pasang telinga, karena sudah dipastikan itu adalah berita duka. Ternyata itu adalah pengumuman pangersa Abah Anom telah wafat. Terkejut bukan kepalang, karena belum seminggu tanggal 1 syawal yang lalu, saya bersilaturahim kepada beliau.
Bergegas saya ganti pakaian, lalu mengeluarkan motor berangkat ke Pesantren Suryalaya. Di jalan sudah tampak masyarakat berjejer mencari angkutan, jarak dari kampung saya ke Pesantren Suryalaya sekitar dua kilo meter. Semakin mendekat ke Suryalaya, makin banyak gelombang manusia menuju ke arah pesantren.
Di pesantren sudah padat orang berkumpul. Setelah saya tanyakan, ternyata mereka datang bukan untuk takziyah, melainkan masyarakat yang sedang nunggu giliran silaturahim dengan Abah Anom.
Memang sudah menjadi kebiasaan, Abah Anom menerima silaturahim masyarakat tiap pagi sampai siang. Di hari-hari biasa saja, lebih dari 100 orang tiap pagi orang datang untuk minta didoakan, atau silaturahim biasa. Di saat hari raya Idul Fitri seperti sekarang, jumlah tamu tak terhitung. Mereka datang dari mulai jalan kaki, becak, hingga mobil truk.
Hari itu, Senin pagi, 5 september 2011 Abah Anom memang masih terima tamu. Orang-orang keluar masuk ke ruang tamu untuk bersalaman dengan Abah Anom. Tapi, sekitar pukul 10 WIB, ketika sedang menerima antrian orang yang ingin bersilaturahmi, tiba-tiba Abah Anom mengeluh pegal-pegal. Pihak keluarga segera memanggil dokter, dan dokter merekomendasikan untuk dibawa ke Rumah Sakit.
Tapi, tak lama Abah Anom di rumah sakit Tasikmalaya Medical Center, kira-kira pukul 11.55, Abah Anom menghemuskan nafas terakhirnya. Pihak rumah sakit menyatakan Abah Anom telah pulang ke Rahmatullah.
Jenazah Abah Anom tiba sekitar pukul 13.15. Ribuan warga Tasikmalaya yang sudah menanti, menyambutnya dengan menyebut nama Tuhan. Semakin sore, tamu dengan plat nomor mobil luar kota mulai memadati kompleks Pesantren Suryalaya. Jenazah yang disemayamkan di mesjid, tidak pernah putus dari orang yang menshalati hingga keesokan harinya, menjelang dikebumikan.
Amal Abah Anom
Ahmad Shohibul Wafa’ Tajul ’Arifin, demikianlah nama Abah Anom sesungguhnya. Abah Anom berarti ‘ayah muda’ adalah sebutan, karena ayahnya, KH Abdullah Mubarok, dipanggil Abah Sepuh atau ‘ayah tua’. Abah Anom mengasuh Pesantren Suryalaya yang kini berumur 106 tahun, sejak ayahnya wafat, pada tahun 1956.
Dalam sejarah, tahun 1950-an merupakan tahun yang penuh tekanan. Situasi keamanan buruk karena merajalelanya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pesantren Suryalaya merupakan salah satu pesantren yang menentang pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo. Menurut Abah Sepuh, DI/TII bukanlah hasil kesepakatan umat Islam, dan hanya menggunakan Islam sebagai bendera saja serta akan menyengsarakan umat. Sikap tegas Abah Sepuh tersebut membuat DI/TII berang, dan akhirnya pesantren Suryalaya sering dijadikan sasaran serangan DI/TII.
Abah Anom, yang belum lama menggantikan posisi Abah Sepuh, tidak gentar menghadapi fitnah dan tekanan yang lancarkan DI/TII. Ia dengan sabar meneruskan cita-cita ayahandanya. Dan kesabaran menjalankan agama secara lurus serta ketepatan memimpin masyarakat, membuat Abah Anom dipercaya mursyid Thoriqoh Qodiriyah wan Naqsabandiyah.
Selain dikenal sebagai mursyid di thoriqoh dengan ribuan anggota, ia juga dikenal sebagai orang yang mencintai lingkungannya. Abah Anom meneruskan, memperbaiki dan merawat saluran irigasi sepanjang 2 KM yang dibangun Abah Sepuh. Sawah-sawah baik milik Abah Anom maupun masyarakat sekitar bekerja sama dengan Dinas Pertanian Tasikmalaya sehingga hasilnya lebih baik dari masa-masa sebelumnya dan dapat menunjang program pemerintah dalam swasembada pangan. Untuk jasanya itu, Gubernur Jawa Barat Mashudi menganugerahi piagam penghargaan atas kepeloporannya meningkatkan swasembada pangan, tahun 1961.
Tahun 1970-an, Abah Anom mulai merintis pendidikan formal dengan mendirikan Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya. Yayasan tersebut memayungi sekolah diniyah, tsanawiyah, dan aliyah. Sekolah Menengah Atas (SMA) didirikan tahun 1975. Tahun 1986 berdiri perguruan tinggi bernama Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM).
Keberadaan lembaga pendidikan tersebut sangat membantu masyarakat sekitar yang kurang mampu. Mungkin, hanya di Tasikmalayalaha orang bisa kuliah, biaya kuliah IAILM ‘murah meriah’. Dan memang itu cita-cita Abah Anom, mendirikan lembaga pendidikan bukan mencari keuntungan materi, melainkan ibadah pada Allah dan pengabdian untuk sesama. Cita-cita macam ini mulai langka di negeri ini.
Sekitar tahun 1980, Abah Anom mendirikan Panti Rehabilitasi Remaja Korban Penyalahgunaan Narkoba. Panti Inabah, namanya, yang berarti kembali. Metode penyembuhan menggunakan cara berdzikir. Para korban narkoba diminta bangun tiap dinihari, mandi, shalat tahajud, kemudian berdzikir.
Karena itulah kemudian Abah Anom dikenal juga sebagai tabib ahli pengobatan korban Narkoba. Sampai saat ini sudah puluhan panti Inabah yang tersebar di Indonesia, Malaysia dan Singapura. Siapa pengasuh dan guru Inabah di banyak tempat itu? Jawabnya tidak lain adalah murid-murid dan ribuan remaja yang berhasil disembuhkan lewat perantara Abah Anom.
Masih di tahun 1980-an, Abah Anom pun mendirikan Koperasi Khidmat untuk membantu kesejahteraan warga dan guru-guru TQN Suryalaya. Koperasi ini bekerja sama dengan pemerintah untuk pengembangan sapi perah dan pengelolaan perkebunan teh. Sayang waktu gunung Galunggung meletus sapi-sapi itu mati, begitu juga dengan perkebunan teh, kurang menghasilkan karena tebalnya debu letusan Galunggung.
Bukan hanya itu, kecintaan Abah Anom terhadap lingkungannya dibuktikan dengan melakukan penghijauan di Hulu Sungai Citanduy untuk mencegah erosi. Ia melakukan penanaman bambu dan tanaman keras lainnya yang bisa menyimpan resapan air hujan. Atas jasanya itu, tahun 1980 Presiden Soeharto menganugerahkan penghargaan Kalpataru untuk Abah Anom.
Di masa Orde Baru, secara politik pesantren Suryalaya berafiliasi ke Golkar, hal ini bisa dimengerti, karena Abah Anom sangat perduli dengan keselamatan pengikut-pengikutnya serta dakwah thariqahnya. Pasca reformasi, beliau mengeluarkan ”fatwa’ bahwa pengikutnya dibebaskan untuk berafiliasi kepada partai politik manapun.
Abah Anom adalah sosok pribadi yang santun, lembut dan terbuka kepada semua orang dari semua kalangan. Tahun 1980-an, adalah masa berjayanya artis safari pimpinan Edy Sud, artis-artis ini sering berkunjung ke Suryalaya. Abah Anom selalu menerima tamu apapun latar belakang agamanya. Begitupun dengan masyarakat biasa, Abah Anom dengan sabar tiap pagi menerima antrian masyarakat yang ingin silaturahim atau meminta didoakan.
Sebagai Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wan Naqsabandiyah, Abah Anom memberikan pelajaran kepada kita, bahwa berthariqoh atau bertasawuf dan menjadi sufi itu tidaklah identik dengan ”keterpencilan” atau semata-mata berdoa dan berdiam diri di mesjid. Sufi itu hatinya tegak lurus hanya kepada Allah dan tangannya bekerja untuk kemanusiaan.
Kepedulian Abah Anom terhadap urusan-urusan politik, sosial, ekonomi dan pendidikan, menepis tuduhan sebagian orang ”diluar sana” bahwa aliran thoriqoh adalah aliran keagamaan yang tertutup dan ekslusif. Kesuksesan Abah Anom memelihara saluran irigasi, mendirikan koperasi, membangun sarana pendidikan, melakukan penghijauan hutan, bergul dengan siapa saja, adalah bukti bahwa seorang Mursyid mengayomi umatnya lahir-bathin, dunia-akhirat.
Dapatlah dimengerti, mengapa para pengikutnya sedemikian sedih dan histeris saat upacara pemakaman. Tangan-tangan yang menggapai keranda Abah Anom bukanlah tangan-tangan yang mengkultuskan Abah Anom, melainkan tangan-tangan yang bersedih ditinggalkan kekasih, tangan-tangan takdzim pada guru yang tulus menemani umat lahir-batin..
Mari, kita yang ditinggal Abah Anom, hendak meneruskan amalnya atawa memesiumkannya?
Penulis: Asep Muslim, Kontributor NU Online Tasikmalaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar