Oleh : Abdul Karim Lubis, SPdI
A. Pendahuluan
Tasauf Islam merupakan bagian integral dari ajaran spiritual Islam yang bersumber dari al-qur’an dan al-Sunnah,
[1] lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam itu sendiri. Namun tasauf berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu baru muncul pada abad kedua atau ketiga Hijriyah.
[2] Sebelum abad kedua dan ketiga istilah tasaufbelum dikenal dikalangan masyarakat muslim akan tetapi bukan berarti ajaran tasaufbelum ada pada permulaan Islam, ia sudah ada tapi tidak secara eksplisit sebagaimana layaknya sebuah disiplin ilmu. Bahkan bila kita merujuk lebih jauh kebelakang tidak hanyatasauf yang tidak dikenal pada periode awal Islam, disiplin ilmu yang lainpun seperti fiqig, tauhid, tafsir, ilmu hadists belum dikenal pada masa Rasulullah.
Melalui tulisan yang singkat ini penulis ingin menekankan kepada Kaum muslimin dan muslimat bahwa ajaran tasauf bukanlah suatu ajaran yang menyimpang dari ajaran Islam dengan catatan selama ia merujuk kepada al-qur’an dan al-Sunnah. Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidin, menjelaskan ada tig macam ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim, yaitu ilmu fiqih, ilmu tauhid dan ilmu tasauf/ilmu srri. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ajaran tasauf bukanlah milik kelompok tertentu saja, tapi ia harus dimiliki oleh setiap orang terlebih lagi di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini minimal ajaran tasauf yang bersifat sederhana seperti sabar, syukur, tawakkal dan sebagainya. Karena tasauf mengajarkan nilai-nilai spiritual yang membawa kepada kesejukan, ketentraman dan kedamaian bagi jiwa manusia.
Tasauf merupakan ajaran keruhaniaan yang menekankan kepada kesuciaan jiwa, hati (qalbu) dengan konsep takhally, tahally dan tajally melalui riyadhah yang dilakukan secara kontinyu, baik melalui dzikrullah, kontemplasi dan amal-amal shaleh lainnya menuju insan kamil (manusia paripurna).
B. Pengertian Tasauf
Pengertian tasauf baik secara etimologi maupun terminolgi, para ahli (ulamatasauf) ternyata berbeda pendapat. Untuk tujuan kejelasan arti kata tasauf diperlukan penelusuran terhadap asal usul penggunaan kata tersebut. Dengan penelusuran itu, diharapkan memberikan gambaran yang jelas akan makna kata tasauf yang sesungguhnya.
[3] Secara etimologi (bahasa) pengertian tasauf dapat dilihat menjadi beberapa pengertian, seperti dibawah ini:
Tasauf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan “ahlu suffah” yang berarti sekolompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam di serambi masjid nabawi, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
[4]
Tasauf berasal dari kata shaf (baris), yang dimaksud dengan shaf disini adalah baris pertama shalat di mesjid. Shaf pertama selalu ditempati para Sufi dalam shalat berjamaah.
[5]
Tasauf dikatakan berasal dari kata “shafa”, yang artinya kesucian, yakni kesucian jiwa sang Sufi setelah mengadakan “penyucian” jiwa dari kotoran-kotoran atau pengaruh-pengaruh jasmani.
[6]
Tasauf berasal dari kata shaufana, yaitu sebangsa buaha-buahan kecil berbulu-bulu yang banyak sekali tumbuh di padang pasir di tanah Arab, di mana pakaian kaum Sufi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaannya.
[7]
Pengertian tasauf secara terminologi (istilah) para ulama juga mendefenisikannya beragam. Menurut Syekh al- Islam Zakaria al-Ansari:
“Tasauf mengajarkan cara untuk mensucikan diri, meningkatkan moral dan membangun kehidupan jasmani dan rohani guna mencapai abadi . Unsur utamatasauf adalah penyucian jiwa, dan tujuan akhirnya adalah tercapainya kebahagian dan keselamatan abadi”.
[8]
Ketika Muhammad al-Jurayri ditanya tentang tasauf, beliau menjelaskan, “Tasaufberarti menyandang setiap akhlak yang mulia dan meninggalkan setiap akhlak yang tercela”.
[9]
Ma’ruf al-Karkhi, tasauf adalah mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada ditangan makhluk.
[10]
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa tasauf adalah suatu ajaran yang selalu berupaya membawa para orang-ornag yang menyelaminya berada dalam kesucian jasmani dan ruhani lahir dan batin, ta’at kepada Allah dan Rasulnya, selalu berusaha menghiasi diri dengan segala sifat-sifat mahmudah (terpuji) dan meningglakn segala sifat-sifat mazmumah (tercela) dalam upaya meningkatkan ketakwaan
[11] kepada Allah swt. melalui takhalli, tahalli dan tajally. Manusia padafitrahnya memiliki dasar kesucian, yang kemudian harus dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan biak kepada sesamanya. Sifat dasar kesucian itu disebut hanifiyah kareena manusia adalah makhluk yang hanif. Sebagai makhluk yang hanif manusia memiliki dorongan naluri kearah kebaikan dan kebenaran atau kesucian. Pusat dorongan hanifiyahitu terdapat dalam dirinya yang paling dalam dan paling murni, yang disebut hati (qalbu).
[12]
Manusia memiliki potensi dasar untuk selalu ta’at kepada Allah, atau dengan kata lain manusia itu memiliki kecenderungan kepada kebenaran. Konsepsi Islam mengenai potensi dasar manusia berupa pengakuan akan adanya Allah sebagai Tuhan, atau cenderung kepada kebenaran secara eksplisit diungkapkan dalam al-qur’an “Dan ketika Tuhannmu mengeluarkan keturunan dasri putra-putra Adam, dari sulbi mereka, dan membuat persaksian atas diri mereka snediri; ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, benar, kami bersaksi.” (QS. Al-A’raf: 7/12). Orang-orang yang ber-tasauf (Sufi) hatinya selalu mengeingat Allah dalam segala gerak langkah dan tindakannya, Allah selalu hadir dalam setiap denyut nadi dan detak jantungnya bahkan setiap tarikan nafasnya dalam rangka upaya penyucian jiwa dan mempersiapkan diri untuk mencapai kehidupan yang abadi.
C. Sejarah Singkat Tasauf
Istilah Sufi baru muncul kepermukaan pada abad kedua Hijriyah, sebelum itu Kaum muslimin dalam kurun awal Islam sampai abad pertama Hijriyah belum meneganal istilah tersebut.
[13]Namun bentuk amaliah para Sufi itu tentu sudah ada sejak dari awal kelahiran Islam itu di bawa oleh Rasulullah Muhammad saw, bahkan sejak manusia diciptakan.
Sejarah
[14] historis ajaran tasauf mengalami perkembangan yang sangan pesat, berawal dari upaya meniru pola kehidupan Rasulullah saw. baik sebelum menjadi Nabi dan terutama setelah beliau bertugas menjadi Nabi dan Rasul, perilaku dan kepribadian Nabi Muhammadlah yang dijadikan tauladan utama bagi para sahabat yang kemudian berkembang menjadi doktrin yang bersifat konseptual.
[15] Tasauf pada masa Raulullah saw. adalah sifat umum yang terdapat pada hampir seluruh sahabat-sahabat Nabi tanpa terkecuali. Menurut catatan sejarah dari sahabat Nabi yang pertama sekali melembagakan tasauf dengan cara mendirikan madrasah tasauf adalah Huzaifah bin Al-Yamani, sedangkan Imam Sufi
[16] yang pertama dalam sejarah Islam adalah Hasan Al-Basri (21-110 H) seorang ulama tabi’in, murid pertama dari Huzaifah Al-Yamani beliau dianggap tokoh sentral dan yang paling pertama meletakkan dasar metodologi ilmu tasauf.
[17] Hasan Al-Basri adalah orang yang pertama memperaktekkan, berbicara menguraikan maksud tasauf sebagai pembuka jalan generasi berikutnya.
[18]
Tasauf sebagai sebuah disiplin keilmuan Islam, baru muncul pada abad ke II H/XIII M, atau paling tidak dalam bentuk yang lebih jelas pada abad ke III H/X M. Namun, sebagai pengalaman spiritual , tasauf telah ada sejak adanya manusia, Usianya setua manusia. Smua nabi dan Rasul adalah Sufi, yang tidak lain adalah manusia sempurna (insan kamil). Nambi Muhammad adalah Sufi terbesar karena beliau adalah manusia sempurna yang paling sempurna.
[19]
D. Sumber Ajaran Tasauf
Menurut para Sufi, bahwa sumber tasauf adalah dari agama Islam itu sendiri,tasauf merupakan saripati dari ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah, qwal dan aktifitas sahabat, aktifitas dan qwal tabi’in.
[20] Diakui memang banyak pendapat yang mengatakan bahwa ajaran tasauf Islam bukanlah semata-mata lahir dari ajaran Islam tetapi ia lahir merupakan perpaduan atau pengaruh berbagai unsur ajaran agama sebelum agama Islam itu lahir, seperti pengaruh ajaran Hindu, Yahudi, Kristen, Persia, Yunani dan sebagainya. Namun penulis tetap berkeyakinan bahwa tasauf Islam adalah murni bersumber dari semangat dan ruh ajaran Islam itu sendiri serta perilaku Rasul dan sahabat-sahabat beliau, kendatipun terdapat kesamaan antara ajaran tasauf Islam dengan ajaran spiritual agama-agama lain itu hanya secara kebtulan saja. Karena memang semua agama mengajarkan nilai kehidupan spiritual,
[21] apakah lagi agama Yahudi, Kristen dan Islam sama-sama bersumber dari yang satu, tentulah ada kesamaan di antaranya tetapi bukan berarti ajaran tasauf Islam merujuk kepada ajaran agama lain selain Islam. Semua agama sealalu berusaha membimbing dan meyadarkan manusia untuk mampu melihat realitas lain yang lebih hakiki, yaitu realitas Ilahi.
[22]Dalam Islam, hal-hal yang berhubungan dengan kecerdasan emosi dan spiritual seperti konsistensi(istiqamah), kerendahan hati (tawadhu), berusaha dan berserah diri (tawakkal), ketulusan, totalitas (kaffah), keseimbangan (tawazun), integritas dan penyempurnaan (ihsan) itu dinamakan akhlakul karimah (akhlak yang mulia).
[23]
Dasar ajaran tasauf dalam al-Qru’an antara lain:
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kea rah manapun kamu menghadap di situ akan kamu jumpai wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 2/115)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabil mereka berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintha-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepas-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 2/186)
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf : 50/16)
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Ra’du: 13/28)
Dasar ajaran tasauf dari hadits:
أن تعبد الله كأ نك تراه فإ ن لم تكن تراه فإ نه يراك (متفق عليه)
Artinya:
“Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka ia pasti melihatmu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa yang mengenal Tuhannya niscaya dirinya akan binasa.( al-Hadits)
“Dulu Aku (Allah) adalah sebuah permata tersembunyi, namun Allah ingin dikenal, maka allah menciptakan makhluk dan dengannya Akupun dikenal.” (al-Hadits)
Ingatlah, dalam diri manusia terdapat segumpal daging, apabila daging itu baik, maka akan berpengaruh baik pula kepada tubuh secara keseluruhan, akan tetapi apabila ia rusak, maka rusak pula tubuh secara keseluruhan, daging itu adalah hati. (HR. Bukhari)
Hati adalah suatu hal yang selalu dibahas dan dibicarakan dalam ajaran tasauf,dan inilah yang selaul menjadi objek kajian,
[24] tema sentral tasauf. Hati harus selalu diasah dan dipertajam untuk menerima panjaran nur Ilahi melalui dzikrullah, dan amal shaleh lainnya, karena bila hati itu kotor ia tidak akan dapat menerima pancara nur Allah swt. Namun apabila hati itu bersih ia bening lakasana kaca niscaya ia dapat menerima pancaran nur Allah dan dapat pula memantulkan cahaya, disaat hati bersih bening laksana kaca terbukalah baginya hijab (tabir) dan muncullah musahadah, mukasyafah, ma’rifat dan tersingkaplah baginya segala rahasia-rahasia alam gaib.
E. Tujuan Ajaran Tasauf
Tasauf sebagai asfek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran akan adanya hubungan komonikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan Tuhan. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman spiritual dzuqiyah manusia dengan Tuhan.
[25]Komonikasi antara manusia dengan Tuhan sebenarnya sudah mulai terjalin ketika seseorang berada di alam rahim dalam kontak perjanjian primordial antara Tuhan dengan jiwa-jiwa manusia sebelum lahir, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, benar, kami mengakui (Engkau Tuhan kami). (QS. Al-A’raf: 7/172). Namun setelah manusia itu lahir ke dunia ini, karena kelalaian manusia akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang hamba disebabkan kesibukan duniawi komonikasi itu terputus dan seyogianya manusia harus berupaya menjalin komonikasi itu kembali untuk menuju hubungan yang harmonis dan intim dengan Allah swt. Pada hakikatnya setiap ruhanisenantiasa rindu ingin kembali ketempat asalnya, selalu rindu kepada kekasihnya yang tunggal. Bilamana kelihatannya, dia lupa disebabkan perjuangan hidup duniawi, lupanya itu karena terpendam, sebab rindu itu, ada pada setiap insan individu, hati kecil selalu rindu ingin bertemu sang kekasih yakni Allah swt.
[26]
Tujuan akhir mempelajari ajaran tasauf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) dalam rangka mencapai ridha-Nya, dengan mujahadah malalui latihan (riyadhah) spiritual dan pembersihan jiwa, atau hati (tazkiyah al-anfus).
[27] Jiwa dan tubuh bersifat saling mempengaruhi. Apabila jiwa sempurna dan suci, maka perbuatan tubuh akan baik. Bergitu pula sebaliknya, dengan dihiasi akhlak yang diridhai oleh Allah.
[28] Ibrahim bin Adham (w. 742)
[29] mengatakan, Tasauf membawa manusia hidup menurut tata aturan kehidupan yang sebenarnya sesuai dengan konsef al-Qur’an dan al-Sunnah sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. seperti hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan, syukur, tawadhu, hidup dengan melakukan sesuatu pada tempatnya.
[30]Dikalangan para Sufi mendekatkan diri kepada Allah dapat ditempuh dengan berbagai maca cara melewati stasiun-stasiun atau maqamat-maqamat
[31] tertentu seperti zuhud, wara’, taubat, raja’, khauf, sabar
[32] dan seterusnya sampai pada puncaknya ke tingkatma’rifat,
[33] bahkan sampai fana, bersatu dan menyatu dengan Tuhan (ittihad) dan itulah kenikmatan tertinggi yang di alami dan dirasakan para Sufi yang tidak dapat dilukiskan dan di gambarkan dengan kata-kata ataupun simbol-simbol.
[34]Kendatipun pengalaman spiritual itu dicoba untuk dijelaskan dengan kata-kata atau apapun bentuknya, itu tidak akan sama persis dengan apa yang dialami oleh yang menceritakan (Sufi). Pengalaman spiritual seorang Sufi kalau dianalogikan tak obahnya bagaikan rasa mangga, bagaimanapun seseorang menjelaskan rasa magga kepada orang lain tetapi kalau seseorang tersebut belum pernah mencicipi rasa mangga, dapat dipastikan bahwa ia tidak akan paham dan mengerti bagaimana rasanya mangga yang sesungguhnya.Dengan kata lain pengalaman spiritual para Sufi itu dapat dirasakan tetapi tidak dapat diungkapkan. Biasanya beberapa model ungkapan verbal yang dipilih para Sufi dalam menyampaikan pengalaman spiritualnya, yang paling popular adalah penggunaan ungkapan-ungkapan yang bernada puitis, berbentuk humor dan kisah-kisah.
[35]Sehingga dengan demikian pesan-pesan, nasehat-nasehat yang mereka tuliskan dapat ditafsirkan para pembaca sesuai dengan kemampuan daya nalar mereka dalam menangkap pesan yang terkandung dibalik teks tersebut.
F. Signifikansi Tasauf di Era Modern
Peradaban moderen yang bermula di Barat sejak abad XVII merupakan awal kemenangan supermasi rasionalisme dan emperisme dari dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami karena abad moderen Barat cenderung memisahkan ilmu pengetahuan, filsafat dari agama yang kemudian dikenal dengan jargon sekularisme. Perpaduan antara rasionalisme dan emperisme dalam satu paket epistimologi melahirkan metode ilmiah (scientific method).
Penemuan metode ilmiah yang berwatak emperis dan rasional secara menakjubkan membawa perkembangan sains yang laur biasa canggihnya sehingga melahirkan kemudahan, disamping melahirkan kehidupan dan paradigma pemikiran baru. Fenomena serba mudah dan baru ini merupakan wujud akselarasi dari pemikiran filsafat Barat modern.
[36]Filsafat Barat modern memandang manusia bebas dari segala kekuatan di luarnya, dan kebebasan itu terjadi lewat penegtahuan rasional. manusia seolah digiring untuk memikrkan dunia an-sich sehingga Tuhan, surga, neraka dan persolan-persolan eskatologis tidak lagi menjadi pusat pemikiran.
Konsep sains Barat di era moderen yang dikemukan di atas sangat berbeda dengan konsep sains dalam Islam, sebagiamana dinyatakan oleh Sayyid Husein Nasr, bahwa ilmu pengetahuan, sains dan seni dalam Islam berdasarkan gagsan tentangtauhid, yang menjadi inti dari al-qur’an. Dengan demikian menurut Nsr seluruh ilmu pengetahuan, sains dan seni dalam Islam dengan berbagai keragamannya tidak terlepas dari keesaan Tuhan, dalam kerangka ini, sains yang dapat disebut Islami adalah sains yang mengungkapkan “ketauhidan alam”.
[37]
Peradaban, ilmu pengetahuan, dan sains dalam Islam tidak terlepas dari sentuhan nilai-nilai spiritual, karena ilmu pengetahuan dan sains dalam Islam harus mampu menghantarkan seseorang untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah melalui pemahaman, pengamatan, riset dan penelitian yang dilakukan terhadap ayat-ayat kauniyah yang tersebar diseluruh penjuru alam, sebab antara ayat qauliyah dan kauniyah selalu berkorelasi. Hal itu akan lebih jelas bila dilihat dari segi keceradsan sufistik. Kecerdasan sufistik dapat dilihat dalam konsep tasauf, seperti ilmu,tafakur, ma’rifat, dan ma’rifat israqiyah. Bahwa yang dimaksud ilmu adalah semua pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun umum. Semua pengetahuan itu harus bermanfaat untuk mengenal ciptaan, keagungan dan kebesaran Allah, sehingga kemudian mendorong manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya.
[38] Apresiasi yang tinggi pantas diberikan terhadap tasauf karena sumbangan-sumbangannya yang sangat bernilai bagi perkembangan peradaban Islam. Sumbagan itu dapat dilihat dalam berbagai bidang seperti filsafat, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modern.
[39]
G. Manfaat Mempelajari Tasauf
Mempelajari tasauf membawa manfaat yang sangat banyak dalam kehidupan ini, baik secara individu, masyarakat, bangsa dan negara. Bila semua orang bertasaufinsyaallah bumi ini akan aman dari segala konflik dan permusuhan, karena ajaran tasaufselalu membawa peasan-pesan universal yang bernuansa kesejukan, kedamaian, ketentraman, cinta kasih dengan sesama, bahkan dengan alam, lingkungan dan makhluk-makhluk lainnya. Ajaran tasauf datang menmbus lintas suku, ras, etnis bahkan agama. Para Sufi seperti Ibn ‘Arabi umpamanya, sangat menghargai dan menghormati pluralisme agama. Dengan demikian konsep ajaran tasauf sangat toleran, terbuka dan dapat diterima oleh semua golongan, kelompok dan semua kalangan.
Orang-orang yang mengamalkan ajaran tasauf (para Sufi) hidupnya akan terasa lebih bermakna, indah, dan penuh kesederhanaan dalam menjalani kehidupan ini, segala sesuatunya dijalani dengan ikhlas, syukur, sabar, qana’ah, dan tawakkal atas segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk dirinya, tidak mengeluh dan tidak putus asa, tetapi selalu oftimis dalam mengharungi hiudup ini dan segala sesuatunya dikembalikan kepada Allah swt. Para Sufi selalu mampu menangkap pesan-pesan dan hikmah dibalik realitas yang terjadi di alam ini.
Para Sufi sangat menyadari betul akan siapa dirinya dan bagaimana posisinya dihadapan Tuhan dan mereka sudah mampu menguasai hawa nafsu mereka, sehingga dengan demikian segala apa yang mereka lakukan selalu berada dalam koridor kepatuhan, ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. dengan penuh keridhaan, kecintaan dan mereka pun diridhai dan dicintai oleh Allah, bahkan Allah mengundang mereka kesebuah perjamuan yang sangat indah. “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 89/27-30). Orang-orang yang diundang oleh Allah tentunya tidak sembarang orang tetapi yang diundang adalah mereka yang sudah sampai ketingkat (maqam) insan kamil
[40](manusia paripurna) yang didalam diri mereka sudah tercermin sifat-sifat Tuhan.
H. Tasauf Solusi Kekeringan Spritual di Era Modernisasi dan Globalisasi
Di zaman modernisasi
[41] dan globalisasi
[42] sekarang ini, manusia di Barat sudah berhasil mengembangkan kemampuan nalarnya (kecerdesan intelektualnya) untuk mencapai kemajuan yang begitu pesat dari waktu kewaktu di berbagai bidang kehidupan termasuk dalam bidang sains dan teknologi yang kemajuannya tidak dapat dibendung lagi akan tetapi kemajuan tersebut jauh dari spirit agama sehingga yang lahir adalah sains dan teknologi sekuler.
[43] Manusia saling berpacu meraih kesuksesan dalam bidang material, soial, politik, ekonomi, pangkat, jabatan, kedudukan, kekuasaan dan seterusnya, namun tatkala mereka sudah berada dipuncak kesuksesan tersebut lalu jiwa mereka mengalami goncangan-goncangan mereka bingung untuk apa semua ini. Kenapa bisa terjadi demikian, karena jiwa mereka dalam kekosongan dari nilai-nilai spiritual, disebabkan tidak punya oreintasi yang jelas dalam menapaki kehidupan di alam dunia ini. Sayyid Hussein Nasr Menilai bahwa keterasingan (alienasi) yang di alami oleh orang-orang Barat karena peradaban moderen yang mereka bangun brmula dari penolakan(negation) terhadap hakikat ruhaniyah secara gradual dalam kehidupan manusia. Akibatnya manusia lupa terhadap eksistensi dirinya sebagai ‘abid (hamba) di hadapan Tuhan karena telah terputus dari akar-akar spiritualitas.Hal ini merupakan fenomena betapa manusia moderen memiliki spiritualitas yang akut. Pada gilirannya, mereka cenderung tidak mampu menjawab berbagai persoalan hidupnya, dan kemudian terperangkap dalam kehampaan dan ketidak bermaknaan hidup.
[44]
Keimanan atau kepercayaan pada agama (Tuhan) itu, secara pragmatis merupakan kebutuhan untuk menenangkan jiwa, terlepas apakah objek kualitas iman itu benar atau salah. Secara psikologis, ini menunjukkan bahwa agama selalu mengajarkan dan menyadarkan akan nasib keterasingan manusia dari Tuhannya.
[45] Manusia bagaimanapun juga tidak akan dapat melepaskan diri dari agama, karena manusia selalu punya ketergantungan kepada kekuatan yang lebih tinggi diluar dirinya (Tuhan) atau apapun bentuknya dan agama diturunkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk rasional dan spiritul.
[46]
Pandangan dunia sekuler, yang hanya mementingkan kehidupan duniawi, telah secara signifikan menyingkirkan manusia moderen dari segala asfek spiritual. Akibatnya mereka hidup secara terisolir dari dunia-dunia lain yang bersifat nonfisik, yang diyakini adanya oleh para Sufi. Mereka menolak segala dunia nonfisik seperti dunia imajinal atau spiritual sehingga terputus hubungan dengan segala realitas-realitas yang lebih tinggi daripada sekedar entitas-entitas fisik.
[47]Sains moderen menyingkirkan pengetahuan tentang kosmologi dari wacananya. Padahal kosmologi adalah “ilmu sakral” yang menjelaskan kaitan dunia materi dengan wahyu dan doktrin metafisis.
[48] Manusia sebenarnya menurut fitrahnya
[49] tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan spiritual karena memang diri manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan ruhani, manusia disamping makhluk fisik juga makhluk non fisik. Dalam diri manusia tuntutan kebutuhan
[50] jasmani dan rahani harus dipenuhi secara bersamaan dan seimbang, kebutuhan jasmani dapat terpenuhi dengan hal-hal yang bersifat materi sedangkan kebutuhan ruhani harus dipenuhi dengan yang bersifat spiritual seperti ibadah, dzikir
[51], etika dan amal shaleh lainnya. Apabila kedua hal tersbeut tidak dapat dipnuhi secara adil maka kehidupan manusia itu dapat dipastikan akan mengalami kekeringan dan kehampaan bahkan tidak menutup kemungkinan bisa mengalami setres.
Salah satu kritik yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi moderen dari sudut pandang Islam ialah karena ilmu pengetahuan dan teknologi moderen tersebut hanya absah secara metodologi, tetapi miskin dari segi moral dan etika. Pandangan masyarakat moderen yang bertumpu pada prestasi sains
[52] dan teknologi, telah meminggrikan dmensi transendental Ilahiyah. Akibatnya, kehidupan masyarakat moderenmenjadi kehilangan salah satu aspeknya yang paling fundamental, yaitu asfek spiritual.
[53]
Agama Islam datang membawa pesan universal dengan ajaran yang komprehensif menawarkan solusi dalam berbagai permasalahan kehidupan umat manusia diantaranya berupaya untuk mempertemukan kehidupan materialsitis Yahudi dan kehidupan spiritual Nasrani, menjadi kehidupan yang harmonis antara keduanya.
[54] Di bawah bimbingan Nabi Muhammad Rasulullah saw. Kaum muslimin dapat membentuk pribadinya yang utuh untuk memperoleh kebahagiaan dunia akhirat dengan melakukan ibadah dan amal shaleh, sehingga mereka memperoleh kejayaan di segala bidang kehidupan.[55]Islam mengajarkan kepada umatnya akan keseimbangan untuk meraih kebahgian dan kesuksesan di dunia dan akhirat secara bersamaan.[56]
PENUTUP
Tasauf Islam suatu ajaran kerahanian (spiritual) yang bersumber dari ruh syari’at Islam itu sendiri yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Para Sufi dalam mengamalkan ajarantasauf dengan selalu merujuk kepada akhlak, kepribadian dan ketauladanan Rasulullah swa. Sahabat Nabi yang mula-mula melembagakan ajaran tasauf adalah Huzaifah bin Al-Yamani dengan mendirikan sebuah madrasah yang khusu mengajarkan ilmu tasauf,kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya yakni Hasan Al-Basri dari kalangan tabi’in.
Tujuan akhir dari ajaran tasauf adalah untuk mendekatkan diri seorang hamba kapada Allah sebagai Khaliknya melalui riyadhah melewati stasiun-stasiun ataumaqamat-maqamat tertentu, dengan selalu mensucikan jiwa (nafs) lahir dan bathin dalam upaya mempersiapkan diri menggapai ma’rifatullah sampai pada tingkat bertemu dan menyatu dengan Allah menuju kehidpan yang abadi.
Apabila seseorang mengalami kebingunagan, kebimbangan, dan kehampaan dalam mengahrungi bahtera kehidupan ini karena mengahadapi berbagai problem dan permasalah silakan kembali kepada agama sesegera mungkin, insyaallah agama akan memberikan solusi yang terbaik bagi umatnya. Kehampaan spiritual yang di alami orang-orang Barat, karena disebabkan paradigma perdaban yang mereka bangun dari awal telah menyatakan adanya pemisahan antara sains dan agama, padahal seharunya keduanya harus saling bersinergi. Tasauf Isalam tidak menafikan sains, bahkan tasauf Islam banyak menyumbangkan pemikiran dalam bidang filsafat, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modren.
Masalah keterasingan adalah masalah kejiwaan. Manusia berperan sebagai penyebab munculnya keterasingan dan sekaligus sebagai korban yang harus menanggung akibatnya. Dalam konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa manusia dan membebaskan dari derita keterasingan, justru harus menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, Tuhan yang mahawujud dan mahaabsolut. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak berarti dihadapan eksistensi yang mahaabsolut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qusyayri, Risalah Sufi, Bandung: Pustaka Setia, 1990.
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: Crsd Press, 2005.
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Al-Kalabadzi, Al-Ta’aruf li Mazhabi Ahli al-Tasawwuf, Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhar, 1969.
Ary Ginanjar Agustian, Membangaun Rahasia Sukses Kecerdasan Emosi dan Spiritual,Jakarta: Arga, 2005.
Abd A’la, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Kompas, 2002.
Azyumardi Azra, Histografi Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Ahmad Najib Burhani, “Tarekat” Tanpa Tarekat Jalan Baru Menjadi Sufi, Jakrta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002.
Al-Ghazali, Berbisnis Dengan Allah, Surabaya: Pustaka Progresif, 2002.
Ahmad Musyafiq, Reformasi Tasawuf Al-Syafi’i, Jakarta: Atmaja, 2003.
Barmawi Umari, Sistimatika Tasawuf, Solo: Ramadhani, 1991.
Dadang Kahmad, Tarekat dalam Islam Spritual Masyarakat Modern, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002.
Dinika Jurnal of Islamic Studies, Volume 6. No. 2, Oktober 2007.
Desain Pengembangan Madrasah, Departemen Agama Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Jakarta, 2004.
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Harapandi Dahri, Meluruskan Pemikiran Tasawuf Upaya Mengembalikan Taswuf Berdasarkna Al-Qur’an dan Al-Sunnah,Jakarta: Pustaka Irfani, 2007.
Ibn atha’illah, Zikir Penetram Hati, Jakarta: PT. Sumber Ilmu Semesta, 2006.
Jamil, Cakrawala Tasauf Sejarah Pemikiran dan Kontekstualitas, Jakrta: Gaung Persada Press, 2007.
Jurnal Keislaman dan Peradaban, Volume 3, Februari 2006.
Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme,Jakarta: Hikmah, 2005.
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju, 2004.
Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa berjumpa Tasawuf, Jakarta: PT. Sumber Ilmu Semesta, 1995.
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasauf, Jakarta: Erlangga, 2006.
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, Jakarta: Baitul Ihsan, 2006.
Mir Valiudin, Tasauf dalam Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Moh. Ardani, Akhlak-Tasauf “Nilai-nilai Akhlak /Budipekerti dalam Ibadah & Tasauf,Jakarta: Karya Mulia, 2005.
Mimbar Studi Jurnal Ilmu Agama Islam, No. 3 tahun XXII, Mei-Agustus 1999.
Musa Sueb, Kekuasaan Manusia dan Takdir Tuhan, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2004.
Mawlana Abd. Ar-Rahman Jami, Pancaran Ilahi Kaum Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasauf di Indonesia, Bandung: Pustaka Stia, 2001.
M. Solihin, Tasauf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasauf,Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Murtadha Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual Sekilas Tentang Ajaran Tasauf dan Tokoh-tokohnya, Bandung: Pustaka Hidayah, 2006.
M. Quraish Sihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2003.
Rosihon Anwar & Mukhtar Solihin, Ilmu Tasauf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006.
Sudirman Tebba, Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat, Jakarta: Kencana, 2004.
Sa’id Hawwa, Jalan Ruhani Bimbingan Tasawuf untuk Para Aktivis Islam, Bandung: Mizan, 2001.
Taqiuddin Ibnu Taimiyah, Tasawuf dan Krirtik Terhadap Filsafat Tasawuf, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986.
Ulumana, Volume Nomor 2 Juli-Desember 2006.
William C. Chittik, Dunia Imajinal Ibn ‘Arabi Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama, Surabaya: Risalah Gusti, 2001.
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-jili,Jakarta: Paramadina, 1997.
[1] Harapandi Dahri, Meluruskan pemikiran Tasawuf Upaya Mengembalikan Taswuf Berdasarkna Al-Qur’an dan Al-Sunnah, (Jakarta: Pustaka Irfani, 2007), Cet. Ke-2 hlm. 23. Baca juga, Barmawi Umari, Sistimatika Tasawuf, (Solo: Ramadhani, 1991), Cet. Ke-3 hlm. 177.
[2] Kautsar Azhari, Jurnal Ulumana, Volume X nomor 2 Juli-desember 2006. hlm.368.
[3] Baca Jamil, Cakrawala Tasauf Sejarah Pemikiran dan Kontekstualitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), Cet. Ke-2 hlm. 1.
[4] Rosihon Anwar & Mukhtar Solihin, Ilmu Tasauf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006), Cet. Ke-3 hlm 9.
[5] Dadang Kahmad, Tarekat dalam Islam Spiritual Masyarakat Modern, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), Cet. Ke-1 hlm 71.
[6] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasauf, (Jakarta: Erlangga, 2006), Cet. Ke-1 hlm 4.
[7] Barmawi Umari, Sistimatika Tasawuf, (Solo: Ramadhani, 1991), Cet. Ke-3 hlm. 13.
[8] Mir Valiudin, Tasauf dalam Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. Ke-2 hlm 4.
[9] Al-Qusyayri, Risalah Sufi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1990), Cet. Ke-1 hlm 299.
[10] Jamil, Cakrawala Tasauf Sejarah Pemikiran dan Kontekstualitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), Cet. Ke-2 hlm. 5.
[11] Kata takwa dalam al-Qur’an mengandung implikasi pemenuhan kewajiban kemausiaan secara universal. Baca Desain Pengembangan Madrasah, (Departemen Agama Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Jakarta 2004, hlm. 12.
[12] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003), Cet. Ke-2 hlm. 179.[13] Silakan untuk penjelasan lebih lanjut baca Murtadha Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual Sekilas Tentang Ajaran Tasauf dan Tokoh-tokohnya, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), Cet. Ke-1 hlm. 37-38. Baca juga, Taqiuddin Ibnu Taimiyah, Tasawuf dan Krirtik Terhadap Filsa