Assalamualaikum Wr. Wb

Kamis, 03 Mei 2012

Tasawuf Sebagai Terapi

(PERSPEKTIF KONSELING ISLAMI)

Abstrak
Kemajuan yang telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi, budaya dan politik, mengharuskan individu untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti. Padahal dalam kenyataannya tidak semua individu mampu melakukannya sehingga yang terjadi justrumasyarakat atau manusia yang menyimpan banyak problem. Tidak semua orang mampu untuk beradaptasi, akibatnya adalah individu-individu yang menyimpan berbagai problem psikis dan fisik, dengan demikian dibutuhkan cara efektif untuk mengatasinya.
Berbicara masalah solusi, kini muncul kecenderungan masyarakat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan spiritual (tasawuf). Tasawuf sebagai inti ajaran Islam muncul dengan memberi solusi dan terapi bagi problem manusia dengan cara mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Pencipta. Selain itu berkembang pula kegiatan konseling yang memang bertujuan membantu seseorang menyelesaikan masalah. Karena semua masalah pasti ada penyelesaiannya serta segala penyakit pasti ada obatnya. Peluang tasawuf dalam menangani penyakit-penyakit psikologis atas segala problem manusia, semakin terbentang lebar di era modern ini.

Kata Kunci : Tasawuf, Terapi, Konseling Islam

A. Pendahuluan

Tulisan ini berangkat dari sebuah fenomena sosial masyarakat yang kini hidup di era modern, dengan perubahan sosial yang cepat dan komunikasi tanpa batas, dimana kehidupan cenderung berorientasi pada materirialistik, skolaristik, dan rasionalistik dengan kemajuan IPTEK di segala bidang. Kondisi ini ternyata tidak selamanya memberikan kenyamanan, tetapi justru melahirkan abad kecemasan (the age of anxienty). Kemajuan ilmu dan teknologi hasil karya cipta manusia yang memberikan segala fasilitas kemudahan, ternyata juga memberikan dampak berbagai problema psikologis bagi manusia itu sendiri.

Masyarakat modern kini sangat mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara pemahaman keagamaan yang didasarkan pada wahyu sering di tinggalkan dan hidup dalam keadaan sekuler. Mereka cenderung mengejar kehidupan materi dan bergaya hidup hedonis dari pada memikirkan agama yang dianggap tidak memberikan peran apapun. Masyarakat demikian telah kehilangan visi ke-Ilahian yang tumpul penglihatannya terhadap realitas hidup dan kehidupan. Kemajuan-kemajuan yang terjadi telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi budaya dan politik. Kondisi ini mengharuskan individu untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti. Padahal dalam kenyataannya tidak semua individu mampu melakukannya sehingga yang terjadi justru masyarakat atau manusia yang menyimpan banyak problem.

Bagi masyarakat kita, kehidupan semacam ini sangat terasa di daerah-daerah perkotaan yang saling bersaing dalam segala bidang. Sehingga kondisi tersebut memaksa tiap individu untuk beradaptasi dengan cepat. Padahal tidak semua orang mampu untuk itu. Akibatnya yang muncul adalah individu-individu yang menyimpan berbagai problem psikis dan fisik, dengan demikian dibutuhkan cara efektif untuk mengatasinya.

Berbicara masalah solusi, kini muncul kecenderungan masyarakat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan spiritual (tasawuf). Tasawuf sebagai inti ajaran Islam muncul dengan memberi solusi dan terapi bagi problem manusia dengan cara mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Pencipta. Selain itu berkembang pula kegiatan konseling yang memang bertujuan membantu seseorang menyelesaikan masalah. Karena semua masalah pasti ada penyelesaiannya serta segala penyakit pasti ada obatnya.

Peluang tasawuf dalam menangani penyakit-penyakit psikologis atas segala problem manusia, semakin terbentang lebar di era modern ini. Maka dari itu, penulis mencoba untuk melakukan analisis terhadap tasawuf sebagai terapi atas problem manusia dalam perspektif konseling Islam.

B. Memahami Dunia Tasawuf

Tasawuf pada dasarnya merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh seseorang untuk mengetahui tingkah laku nafsu dan sifat-sifat nafsu, baik yang buruk maupun yang terpuji. Karena itu kedudukan tasawuf dalam Islam diakui sebagai ilmu agama yang berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku yang merupakan substansi Islam. Dimana secara filsafat sufisme itu lahir dari salah satu komponen dasar agama Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Kalau iman melahirkan ilmu teologi (kalam), Islam melahirkan ilmu syari’at, maka ihsan melahirkan ilmu akhlaq atau tasawuf.(Amin Syukur, 2002:112)

Meskipun dalam ilmu pengetahuan wacana tasawuf tidak diakui karena sifatnya yang Adi Kodrati, namun eksistensinya di tengah-tengah masyarakat membuktikan bahwa tasawuf adalah bagian tersendiri dari suatu kehidupan masyarakat; sebagai sebuah pergerakan, keyakinan agama, organisasi, jaringan bahkan penyembuhan atau terapi. (Moh. Soleh, 2005: 35)

Tasawuf atau sufisme diakui dalam sejarah telah berpengaruh besar atas kehidupan moral dan spiritual Islam sepanjang ribuan tahun yang silam. Selama kurun waktu itu tasawuf begitu lekat dengan dinamika kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas kelompok kecil yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar. Maka kehadiran tasawuf di dunia modern ini sangat diperlukan, guna membimbing manusia agar tetap merindukan Tuhannya, dan bisa juga untuk orang-orang yang semula hidupnya glamour dan suka hura-hura menjadi orang yang asketis (Zuhud pada dunia). Proses modernisasi yang makin meluas di abad modern kini telah mengantarkan hidup manusia menjadi lebih materealistik dan individualistic. Perkembangan industrialisasi dan ekonomi yang demikian pesat, telah menempatkan manusia modern ini menjadi manusia yang tidak lagi memiliki pribadi yang merdeka, hidup mereka sudah diatur oleh otomatisasi mesin yang serba mekanis, sehingga kegiatan sehari-hari pun sudah terjebak oleh alur rutinitas yang menjemukan. Akibatnya manusia sudah tidak acuh lagi, kalau peran agama menjadi semakin tergeser oleh kepentingan materi duniawi (Suyuti, 1996: 3 - 5).

Menurut Amin Syukur, tasawuf bagi manusia sekarang ini, sebaiknya lebih ditekankan pada tasawuf sebagai akhlak, yaitu ajaran-ajaran mengenai moral yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan optimal. Tasawuf perilaku baik, memiliki etika dan sopan santun baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun terhadap Tuhannya (Syukur, 2003:3).

Menurut Omar Alishah, yang menjadi salah satu ajaran penting dalam tasawuf adalah pemahaman tentang totalitas kosmis, bumi, langit, dan seluruh isi dan potensinya baik yang kasar mata maupun tidak, baik rohaniah maupun jasmaniah, pada dasarnya adalah bagian dari sebuah sistem kosmis tunggal yang saling mengait, berpengaruh dan berhubungan. Sehingga manusia mempunyai keyakinan bahwa, penyakit atau gangguan apapun yang menjangkiti tubuh kita harus dilihat sebagai murni gejala badaniah ataupun kejiwaan manusiawi, sehingga seberapapun tingkatan keparahannya akan tetap dapat ditangani secara medis (medical care) (Alishah, 2002:11).

Pendapat Alishah tersebut senada dengan apa yang dijelaskan oleh Allah SWt dalam al-Qur’an, bahwa setiap kali terjalin komunikasi dengannya seseorang akan memperoleh energi spiritual yang menciptakan getaran-getaran psikologi pada aspek jiwa raga, ibarat curah hujan membasahi bumi yang kemudian menciptakan getaran-getaran duniawi dan menyebabkan tanaman tumbuh subur. Sesuai dengan firman Allah yang tertera dalam QS. Al-Hajj: 5

… فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ (الحج: 5)

Artinya : “………ketika kami turunkan hujan di atasnya ia pun bergerak dan subur mengembang menumbuhkan berbagai tanaman indah (berpasang-pasangan) (QS; Al-Haj: 5).


C. Konseling Religius

Krisis jiwa (mental) yang menimpa manusia, biasanya sebagai akibat dari terhalangnya seseorang dari apa yang di inginkan oleh salah satu motifnya yang sangat kuat, atau lemahnya krisis mental dipengaruhi oleh kondisi sosial dan moral dirinya sendiri. Seseorang akan menjadi sasaran kegalauan psikologis dan fisik, jika ia tidak mampu mengatasi krisis psikologis dengan cara yang cepat dan tepat. Baik secara hakiki ataupun ilusi. Sesungguhnya agama merupakan terapi bagi penyakit jiwa atau mental. Sebab ia bisa mengubah, memperbarui, dan memperbaiki jiwa. Agama juga memberi kekuatan penuh kepada manusia ketika ia berhadapan dengan kebimbangan keputusasaan dan agama memberi sifat kesabaran ketika manusia dilanda frustasi dan memberi ketenteraman ketika manusia ketakutan dan bahaya. Hanya melalui Aqidah dan keimanan jiwa akan hidup dan akal akan selamat. Selain itu fisik akan selalu sehat, karena keimanan merupakan tulang yang mampu membawa, manusia dari keputusasaan kepada semangat yang kuat dan dari kekacauan kepada ketenteraman. Seseorang yang beriman akan merasakan bahwa ketenteraman itu memenuhi ruang jiwanya.

Ditengah berbagai krisis kehidupan yang serba materialis, sekular serta kehidupan yang sangat sulit secara ekonomi maupun psikologis, tasawuf memberikan obat penawar rohani, yang memberi daya tahan krisis kerohanian modern telah mengakibatkan mereka tidak lagi mengenal siapa dirinya arti dan tujuan dari kehidupan di dunia. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini, pada akhirnya membuahkan penderitaan batin yang berkepanjangan. Maka kemudian mata air yang sejuk memberikan penyegaran serta menyelamatkan pada manusia yang terangsang itu, dalam wacana kontemporer disebut sebagai terapi tasawuf. (Rahman, 2000;4)

Selain tasawuf sebagai jalan untuk mencari pemecahan masalah, manusia juga berusaha mencari penyelesaian melalui bimbingan konseling, karena bimbingan merupakan proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada individu menggunakan cara yang ada, berdasarkan norma-norma yang berlaku, sedangkan konseling adalah pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.(Erman Amti, 1999;99)

Dalam perkembangannya, Bimbingan dan Konseling tidak bisa lepas dari nilai-nilai spiritual, karena hanya mengandalkan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari psikis manusia belum mampu mencapai hasil yang maksimal. Bimbingan dan Konseling Religius telah disadari sebagai hal penting oleh banyak pakar konseling baik barat maupun Indonesia. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa dalam memasuki kehidupan yang bertujuan akhir memperoleh kebahagiaan dunia akhirat, individu cenderung untuk menata kehidupan berlandaskan nilai-nilai spiritual. (Murtadlo, 2002: 28)

Berkaitan dengan Bimbingan Konseling Religius pada dasarnya semua agama memiliki pola-pola Bimbingan dan Konseling yang berbeda-beda dalam usaha mengatur pemeluknya tentang bagaimana menghadapi kehidupan di dunia dan akhirat. Hal ini didasarkan pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersumber dari Tuhan (kitab suci). Demikian dalam bimbingan konseling Islam yang merupakan proses pemberian bantuan terhadap individu, agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Faqih, 2110: 5).


D. Tasawuf Sebagai Terapi

Omar Alishah dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Terapi” menawarkan cara Islami dalam pengobatan gangguan kejiwaan yang dialami manusia, yaitu dengan cara melalui terapi sufi. Terapi tasawuf bukanlah bermaksud mengubah posisi maupun menggantikan tempat yang selama ini di dominasi oleh medis, justru cara terapi sufi ini memiliki karakter dan fungsi melengkapi. Karena terapi tasawuf merupakan terapi pengobatan yang bersifat alternatif. Tradisi terapi di dunia sufi sangatlah khas dan unik. Ia telah dipraktekkan selama berabad-abad lamanya, namun anehnya baru di zaman-zaman sekarang ini menarik perhatian luas baik di kalangan medis pada umumnya, maupun kalangan terapis umum pada khususnya. Karena menurut Omar Alisyah, terapi sufi adalah cara yang tidak bisa diremehkan begitu saja dalam dunia terapi dan penanganan penyakit (gangguan jiwa), ia adalah sebuah alternatif yang sangat penting. (Alishah, 2004;5)

Tradisi sufi (tasawuf) sama sekali tidak bertujuan mengubah pola-pola terapi psikomodern dan terapi medis dengan terapi sufis yang penuh dengan spiritual, sebaliknya apa yang dilakukan Omar justru melengkapi dan membatu konsep-konsep terapi yang telah ada dengan cara mengoptimalkan peluang kekuatan individu seseorang untuk menyembuhkan dirinya, beberapa tehnik yang digunakan Omar Alishah dalam upaya terapeutik yang berasal dari tradisi-tradisi tasawuf antara lain yaitu tehnik “transmisi energi dan tehnik metafor” (Alishah, 2002:151).

Dengan demikian, terapi tasawuf atau sering juga disebut dengan penyembuhan sufis adalah penyembuhan cara islami yang dipraktekkan oleh para sufi ratusan tahun lalu. Prinsip dasar penyembuhan ini adalah bahwa kesembuhan hanya datang dari Allah Yang Maha penyembuh, sedangkan para sufi sebagai terapis hanya bertindak sebagai perantara.(Najar, 2004: 195).

1. Prinsip-prinsip Dasar Terapi

Prinsip-prinsip dasar dari pendekatan terapi yang ditawarkan dalam tulisan ini secara umum diadopsi dari prinsip-prinsip dasar Tarekat Naqsyabandiyah. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran Omar Alishash tentang tasawuf sebagi terapi. Alishah sendiri dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang penuh spiritualisme Tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu aliran tarekat terkemuka diantara beberapa aliran tarekat lainnya. Dalam ensiklopedi Islam Van Hoeve disebutkan, bahwa Tarekat Naqsabadiyah didirikan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al Uwaysi al-Bukhari Naqsyabandi (717H / 1318M 791 H / 1389). Tarekat ini sebetulnya bersumber dari Abu Ya’quf Yusuf al Hamdani (wafat pada tahun 535 H / 1140 M) adapun mengenai Abu Ya’quf Yusuf al Hamdani, Schimmel menulis :

Ia adalah imam pada zamannya yang mengetahui rahasia hati, yang mengerti akan tugasnya. Hubungan rohani hamdani bisa dirunut sampai kharaqani dan bayazid bistami, kedua wali tersebut tetap dihormati di dalam tarekat ini. Menurut riwayat, Hamdanilah yang mendorong Abdul Qadil Gilani berkhotbah di depan umum, dua tarekat utama yang bersumber dari dirinya, yang satu adalah Yasawiyya di Asia Tengah yang kemudian mempengaruhi bektashiyya di Anatolia. (Anemarie Schimmel, 2000 : 123).

Ada delapan prinsip dasar yang menjadi pedoman ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, yakni :

1. Hush Dardam (kesadaran dalam bernafas)

2. Nazar bar Qadam (memperhatikan tiap langkah diri)

3. Safar dar Watan (perjalanan mistik di dalam diri)

4. Khalwat dar Anjuman (kesendirian di dalam keramaian)

5. Yad Kard (pengingatan kembali)

6. Baz Gard (menjaga pemikiran sendiri)

7. Nigah Dasht (memperhatikan pemikiran sendiri)

8. Yad Dasht (pemusatan perhatian kepada Allah)

Kedelapan prinsip tersebut, menurut Omar Alishah dapat dijadikan rambu-rambu dalam terapi sufis (tasawuf) untuk mengatasi problem psikologis manusia. Prinsip pertama biasa ditafsirkan dengan suatu proses introspeksi dan evaluasi keluar masuknya nafas untuk mengatasi “kelupaan” akan eksistensi Allah dalam keseluruhan lingkup ruang maupun waktu. Tujuan dari pemeliharaan atas pernafasan tersebut adalah agar setiap pengikut tradisi selalu hadir dan ingat kepada Allah SWT dalam setiap tarikan dan hembusan nafasnya. Karena yang bisa memberi penyembuhan datangnya hanya dari Allah manusia hanyalah sebagai perantara saja. (Omar Alishah 2002, 138)

Prinsip kedua adalah memperhatikan langkah dirinya. Apabila seorang sufi berjalan, ia selalu melihat ke tempat kakinya melangkah dan apabila dalam keadaan duduk, ia akan melihat pada kedua tangannya. Seorang sufi tidak boleh memperluas pandangannya karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang dalam mengingat Allah. Dalam tradisi ini seorang terapis harus selalu berusaha mendekatkan diri pada Allah dengan selalu melangkah ke jalan yang benar. (Omar Alishah 2004 : 121)

Prinsip yang ketiga diartikan sebagai proses dari sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah menuju sifat-sifat ke malaikatan yang bersih dan suci. Oleh karena itu setiap orang yang terlibat dalam tradisi ini harus berupaya mengontrol hatinya agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada seseorang. Prinsip ke empat adalah bahwa setiap sufi harus selalu menghadirkan hatinya kepada Allah dalam segala keadaan. Setiap orang yang terlibat dalam tradisi ini harus selalu dapat menjaga hatinya. (Omar Alishash 2002 : 145)

Prinsip kelima adalah pengingatan kepada allah. Dalam melakukan proses terapi sebaliknya selalu berusaha mengulangi zikir kepada Allah, sehingga tidak ada peluang sedikit pun dalam hatinya yang ditujukan kepada selain Allah agar prosesnya lancar dan mendapat ridho dari Allah. (Omar Alishah 2004 : 125)

Prinsip keenam mempunyai makna menjaga pemikiran sendiri dengan mengulangi zikir. Setiap orang yang terlibat dalam tradisi ini harus setiap saat setiap waktu dimanapun berada jangan sampai mengosongkan fikiranya karena itu tidak baik. Dan berusahalah dengan mengulang-ngulang zikir kepada Allah.

Prinsip ke tujuh memperhatikan pemikiran sendiri. Dalam tradisi ini kita selalu memelihara hati kita dari kemasukan segala sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya sekalipun hanya sejenak prinsip ke delapan adalah pemusatan perhatian sepenuhnya pada aspek musyahadah (yakni menyaksikan keindahan, kebesaran dan kemuliaan Allah SWT). (Omar Alishah, 2002 : 150).

Prinsip-prinsip dasar dari pendekatan terapi Omar yang ditawarkan dalam asosiasi ini secara umum diadopsi dari prinsip-prinsip dasar Naqsabandiyah hal ini dinyatakan oleh Alishah sendiri :

Terapi harus memperhatikan ketentuan-ketentuan Naqsabandiyah. Setiap orang dalam tradisi ini tentunya harus sudah, mengetahui, mengkaji dan sadar akan ketentuan-ketentuan itu. (Omar Alishah 2004: 130).

Maka dari itu, ada sebuah ketentuan dari Tarekat Naqsabandi yang sangat kuat peranannya terutama dalam memanifestasikan tradisi ke dalam segenap lingkup kehidupan, khususnya dalam hal ini adalah terapi. Ketentuan ini berbunyi “kenali dirimu”. Mengenal dalam arti mengenal setiap sinyal-sinyal yang ada, baik yang dibutuhkan ataupun tidak. Tradisi ini mengenal apa yang disebut dibutuhkan ataupun tidak. Tradisi ini mengenal apa yang disebut kegunaan energi dari dalam diri sendiri.

Kemudian Agha Omar Alishah An-Naqsabandi ibn Hashemi yaitu syekh besar tarekat Naqsabandiyah mengadakan kongres-kongres dengan berbagai pakar-pakar ilmu di seluruh penjuru dunia membentuk sebuah organisasi dengan nama Asosiasi Terapi Holistik Tradisional. Yaitu sebuah organisasi penyembuhan gangguan kejiwaan maupun fisik yang menggunakan berbagai pendekatan maupun berbagai teknik dengan didasari pada konsep-konsep tradisi Tasawuf yang telah ada berabad-abad yang lalu. Agha memberi nama untuk jenis terapi yang di kembangkan dengan sebutan terapi Granada. Jika psikologi menggunakan lambang Trisula. Maka terapi ini menggunakan simbol Delima. Adapun makna simbolis dari Granada yang terpenting adalah substansi dari apa yang sebenar-benarnya. Gagasan yang terpenting dalam asosiasi ini adalah bagaimana orang-orang agar terfokus pada pencarian elemen-elemen yang menjadi bagian dari proses penyembuhan pasien, apapun tehnik yang digunakan. Terapi beliau berfokus kepada agama (www.tractus books.com)

2. Tahapan Terapi

Tujuan dari model terapi Granada ini adalah membantu teknik dan pengetahuan terapi yang sudah ada tanpa berusaha menggantikan sama sekali teknologi medis modern baik rupa maupun bentuk. Konsep ini menambah pada teknologi medis modern dimensi hubungan dan energi yang menghidupkan kekuatan individu untuk menyembuhkan dirinya (Omar Alishah 2002 : 16)

Tahap-tahap proses terapi yang dilakukan oleh Omar Alishah yaitu:

a) Niat

Satu hal yang sangat mempengaruhi hasil dari proses terapeutik adalah niat. Aspek ini memungkinkan keberhasilan atau tidaknya seorang terapis dalam menyelesaikan pekerjaannya sehubungan proses terapeutik tersebut. Sebab niat secara tidak langsung merupakan bagian dari transmisi positif penyembuhan Agha Menilai;

Niat dari setiap terapis adalah dan seharusnya, membantu proses penyembuhan pasien. Diantara para terapis dan pasien tidak mungkin berkompetisi, atau hasilnya bisa kematian pasien itu. Niat juga penting karena alasan lain : jika niat terapis untuk menyembuhkan seorang pasien cukup kuat, dia mentransmisikan pengaruh ekstra pada orang yang sakit, gugup, cemas atau tegang. Terapis tidak hanya sekedar mengatakan kepada pasien, “ya, saya dapat membantu anda, saya akan berusaha menyembuhkan anda”. Niat terapis bahwa, dan jika niatnya cukup kuat berfokus pada itu, dia menstransmisikan faktor itu kepada pasien juga. (Omar Alishah 2005 : 259).

b) Wawancara

Terapi yang dicontohkan oleh Agha sehubungan dengan menggunakan pendekatan tradisi tasawuf kepada klien di dahului melalui tahap wawancara ini sekalipun tidak mengadopsi dari model psikoanalisis dengan cara klien harus berbaring di atas balai-balai sedangkan terapis atau analisis berada di belakangnya, namun itu hanya sejenis pengembangan dari teknis wawancara.

Hal ini ditunjukkan dengan apa yang disarankan Agha kepada para peserta konggres mengenai tahap-tahap awal dan prosedur terapeutik.

Kita mulai dengan menggunakan jenis wawancara psikologi atau psikiatri klasik, dengan lain perkataan situasi semi medis. Pasien berbaring disana, seseorang mencatat dan pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan bentuknya diubah agar dapat diterima oleh pasien itu sebagai bincang-bincang. Artinya kita dapat menemui klien kita di sebuah restoran, warung kopi atau kelab malam, kita dapat berjalan-jalan di tepi sungai itu semua adalah ide yang bagus untuk mulai dengan melanggar situasi klasik baju putih, stetoskop dan bloknote. (Omar Alishah 2002: 22)

Pada tahapan awal atau sesi wawancara, tradisi tasawuf tidak mempunyai suatu sesi yang lehas atau ala tradisi. Ini menunjukkan bahwa tahapan awal hanyalah sebuah formalitas atau mengikuti formalitas yang ada, baku dan paling efektif, hanya saja beberapa penekanannya justru lebih terlihat santai sehingga prosedur terapeutik yang dilakukan oleh terapis dengan menggunakan terapi tasawuf terkesan jauh dari hal-hal yang berbau klinis atau medis. Model wawancara seperti ini bisa terlihat dalam pendekatan psikoterapi eksistensial humanistik, tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat sebagaimana psikoanalisis.

Teknik wawancara model klasik adalah selalu disesuaikan dengan tujuan sebuah terapi. Untuk mendapatkan data yang akurat, terapis harus mengemukakan terlebih dahulu aturan-aturan yang akan terjadi pada klien selama terapis berlangsung. Aturan-aturan ini tentu akan berimplikasi apda lancarnya proses terapeutik. Hal ini tidak ada dalam terapi tasawuf. Namun prinsip bahwa dalam teknik klasik ada kode etik bahwa tugas terapis adalah memberikan perhatian penuh dan mendengarkan dengan seksama apa yang diungkapkan oleh klien, sehingga tugas klien adalah menceritakan semuanya kepada terapis. (Amin Annajar 2002: 194) hal ini juga diadopsi oleh Agha Omar Alishah.

Penggunaan suatu topik yang dapat diperbincangkan bersama tidak lain adalah tehnik yang biasa digunakan dalam wawancara klasik. Tehnik ini adalah suatu persekutuan antara klien dengan terapis untuk melawan masalah yang dihadapi klien, penting artinya disini adalah untuk membangun rasa kepercayaan klien bahwa terapis mampu mengerti dan sanggup menghadapi masalah yang sedang diderita klien.

Terlepas dari persekutuan itu, klien juga harus menjalankan peranannya sebagai klien, sehingga dalam waktu yang bersamaan terapis mampu mengarahkan arah pembicaraan klien sesuai dengan agenda wawancara yang diinginkan terapis. Tulis Agha Omar Alisha.

Setelah itu, pertinggi antusiasme kita sendiri tentang subyek itu, banyak berbicara tentang hal itu, membawa ke hal apa saja yang kita inginkan, guna mengisi kekurangan-kekurangan pada gambar kita, bagian dari kemampuan kita tentu bagaimana kita melakukan hal ini, bagaimana cara kita membimbing mereka. Dengan cara demikian kita menemukan gambar kita dan menyempurnakannya. (Omar Alisha 2004 : 36)

Setelah mulai mempercayai atas keahlian terapis untuk memecahkan masalah yang dihadapi klien, maka Agha menyampaikan bahwa terapis perlu menyampaikan baik dengan mensisipkan diantara pembicaraan atau secara langsung suatu nada yang harmonis dengan perkataan yang harmonis dengan perkataan yang bermakna ke arah positif melalui cara yang meyakinkan. Tulis Agha.

Masalahnya di sini adalah tidak banyak perubahan nada suara atau hasil nada-nada harmonis yang meyakinkan, yakni apa yang kita pilih untuk disampaikan dalam nada suara bagaimana………. Kita semua tahu bahwa dalam terapi kita memiliki kata-kata seperti : sembuh, pulih semakin sehat, dan kita mengucapkan kata-kata ini dalam nada dan cara yang meyakinkan (Omar Alisha, 2002: 147).

Kekuatan tradisi di sini nyata-nyata telah terlihat dan hal tersebut bukanlah suatu hal yang abstrak dan magis, melainkan lebih dari sekedar sebuah teknik bagaimana dalam sesi wawancara terapis juga berfungsi sebagai pembangkit energi dalam diri klien. Pertama; bahwa kata-kata positif yang diucapkan dengan nada yang benar dan dengan waktu yang tepat akan bersifat sebagai pemicu munculnya energi positif atau optimisme. Kedua; adalah bagaimana melakukan semuanya dengan cinta. Dalam tradisi tasawuf, cinta adalah semacam implementasi dari ikhlas. Atau sebaliknya apapun yang kita lakukan dengan cinta kita akan ikhlas. Konsep cinta dan ikhlas juga bukanlah sesuatu barang baru dalam tradisi, namun penting sekali dalam kehidupan modern saat sekarang ini untuk dimasukkan ke dalam tehnik-tehnik terapi, masalah cinta ini disinyalir oleh Agha sebagai sesuatu yang sangat jangka ditemukan dalam psikologi barat. Analisis Agha Omar Alishah

Frankl sejalan dengan pendapat Agha mengenai pola mengintegrasikan cinta ke dalam proses terapi, hal ini diungkapkan sendiri oleh Frankl

Dengan bertindak secara spiritual dalam cinta dia dapat melihat ciri-ciri dan bentuk esensial pada orang yang dicintai; atau lebih dari pada itu, dia melihat apa yang potensial dari dalam dirinya; yang belum teraktualisasikan tetapi harus diaktualisasikan. Karena dengan cintanya, seseorang yang sedang mencintai dapat menjadikan orang yang dicintainya mengaktualkan potensi-potensi. (victor E. Frankl, 2003 : 127)

Seseorang terapis harus mampu mencintai klien serta melakukan terapeutik berdasarkan cinta. Dari situlah penyembuhan dapat dimulai dengan baik, tanpa cinta, mustahil sebuah awal yang baik dalam proses penyembuhan dapat terjadi.

3. Proses Terapi

Setelah melakukan wawancara awal, proses berikutnya adalah asosiasi bebas, beberapa mengenai asosiasi bebas ini dalam terapi Granada telah disebutkan pada bagian wawancara awal. Hal kemudian yang juga digunakan Agha dalam terapi Granadanya adalah penafsiran. Dalam kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh terapi Granada, Agha menulis :

Keahlian dan kemampuan kita adalah mengidentifikasi orang semacam itu dengan reaksi mereka, dan memberikan terapi kepada mereka yang tidak menyerupai suatu terapi. Kita sesungguhnya meminta mereka untuk membantu kita memeriksa problem mereka, apa yang kita minta mereka untuk melakukan itu adalah melibatkan diri dalam suatu proses kerjasama. (Omar Alishah 2004: 171)

Proses berikutnya adalah analisis dan penafsiran resistensi. Ada hal lain yang diberikan oleh Agha sehubungan dengan teknik tersebut.

Ketika mereka datang kepada kita dan mereka telah diberi ktia menyebutnya kebiasaan Freud, Jung, dan Schopenhaur oleh karena itu, mereka klien telah mengembangkan apa yang kita sebut pertahanan diri.

Menanggulangi ini bisa jadi sulit, dan beberapa kasus sangat sulit, akan tetapi trik atau tekniknya adalah memperkenalkan diri kita tidak sebagai “terapis” melainkan sebagai orang biasa …… Akan tetapi kasus yang paling berat yang kita hadapi khususnya menangani gangguan psikologis adalah orang-orang yang telah mengembangkan resistensi terhadap terapi. (Omar Alishah 2002 : 196).

Pertama untuk mengantisipasi terjadinya resistensi secara berlarut-larut, pola wawancara diganti. Dalam hal ini kasus tersebut Agha lebih menyukai untuk secara “transparan” terapis harus memposisikan dirinya bukan lagi sebagai terapis, namun orang biasa. Setelah terapis dapat memasukkan jenis energi positif kepada klien untuk dapat terbuka dan cepat sembuh.

Kita harus dapat mengatakan kepada mereka dengan jelas sejak awal, Anda datang kepada saya untuk meminta bantuan. Saya dapat membantu anda, tetapi saya harus menyatukan energi anda dengan saya untuk mencapai ini, sehingga akhirnya anda dapat pergi melepaskan diri dari saya dan menjadi pulih, riil, sehat dan balans tanpa berhubungan dengan saya terus menerus” kita membantu mereka untuk menciptakan satu kepribadian yang tak tergantung kepada kita. (Omar Alishah 2004, 168)

Dimungkinkan sekali dalam buku ini, Agha tidak menspekan pada persoalan gejala-gejala gangguan kejiwaan semata, melainkan juga membahas tentang proses terapi bagi penderita fisik penilaian penting terungkap disini bahwa tradisi menunjukkan suatu hal yang benar-benar istimewa terhadap eksistensi terapi-terapi di luar tradisi. Sekalipun Anatolio Friedbeg memberikan pengantar pada buku ini bahwa konsep-konsep terapi tasawuf hanyalah membantu teknik dan pengetahuan terapi yang sudah ada tanpa berusaha menggantikan sama sekali teknologi medis modern, Agha juga memberi semacam ketegasan mengenai keterlibatan terapi-terapi yang akan dilakukan.

Setiap bagian terapi, warna musik, bedah osteopatik, atau apapun mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Ini buka kompetisi atau seharusnya pun tidak. Jika seseorang menjalani pembedahan dan ditempatkan dalam lingkungan yang positif sesudahnya untuk pemulihan kesehatan, ini mungkin mempunyai peran yang sedikit lebih penting untuk dimainkan. Akan tetapi ini jangan atau seharusnya jangan menjadi sumber friksi atau perdebatan diantara tim. Prioritas untuk menggunakan suatu teknik pada seseorang pasien tergantung pada keadaan fisik dan mental pasien itu (Omar Alishah 2002 : 56).

Penegasan Agha Omar Alishah tersebut sedikit memberikan bahwa tidak ada suatu terapi tunggal yang mampu mengobati pasien hingga sembuh. Dalam konteks kejiwaan, sekalipun klien telah melewati proses-proses terapi namun perbaikan yang diperoleh hanyalah bersifat sementara.

Ada banyak teknik tapi tak satupun dari teknik ini berhasil secara sempurna. Teknik-teknik itu dapat membawa perbaikan sementara, tapi setelah itu pasien membutuhkan orientasi lain, teknik tunggal untuk menangani pasien yang mengalami gangguan psikologi yang dapat digunakan untuk setiap bentuk kejiwaan jelas tidak ada, sebab teknik tergantung pada jenis penyakit yang bersangkutan. (Omar Alishah 2002 : 20)

Penegasan tersebut adalah untuk menjawab kegelisahan seorang terapis peserta konggres yang merasa bahwa setiap kali terapis tersebut bekerja pada awalnya klien selalu dapat terbuka setelah mengalami terapi pertama, setelah itu klien menutup diri kembali. Hal ini membuktikan bahwa dalam tiap tahap terapi, teknik yang digunakan oleh seorang terapis tidak mutlak menggunakan teknik tunggal. Senada yang sama ditulis oleh Gerald Corey.

Para terapis yang berorientasi psikoanalitik dapat menggunakan metode-metode penafsiran mimpi, asosiasi bebas, analisis resistensi - resistensi dan transferensi, juga menangani hubungan masa lampau kliennya, tetapi pada saat yang sama mereka bisa menggabungkan sumbangan-sumbangan dari aliran lain, khususnya dari para neureudlan yang menekankan faktor-faktor sosial budaya dalam perkembangan kepribadian.

Dapat disebutkan disini bahwa Agha Omar Alishah menganut teknik penggabungan yang disesuaikan dengan tahapan terapi maupun kondisi terapi. Satu hal yang nampak seperti naif dalam pendapat Agha adalah persoalan pandangan manusia modern - Barat, mengenai otak yang identik dengan prinsip-prinsip dasar psikologi Barat. Sekalipun beberapa aliran psikologi pertama seperti psiko analisis sangat meremehkan eksistensi manusia dan hanya dengan menganalisis jaringan syaraf serta otak seluruh gejala tingkah laku dan gangguan manusia dapat diketahui maupun disembuhkan, namun beberapa aliran lain seperti humanisme dan transaksional justru memandang sebaliknya. Komentar Agha :

Di Barat, kendati dengan kemajuan teknologi modern orang tidak benar-benar tahu apa itu otak, maka jika kita bekerja dengan sesuatu yang kita tidak ketahui seratus persen, upaya kita akan selalu meragukan. (Omar Alisha 2002: 20).

E. Penutup

Kajian-kajian konseling religius (Islam) yang lebih mendalam tentang tasawuf sebagai terapi masih sangat kurang. Luasnya lahan pengalaman terapis dan sedikitnya orang yang mengalaminya menjadikan salah satu penyebab kajian-kajian konseling religius (Islam) bergerak lambat. Demikian pula kajian-kajian ilmiah isoterik keislaman juga jarang diulas bahkan kajiannya tidak mendapatkan tempat karena adanya fitnah bahwa hal tersebut berkaitan dengan khurafat dan takhayul serta tidak ilmiah. Tuduhan demikian, tanpa mau meninjau lebih dalam terhadap suatu fenomena alami sangat menghambat perkembangan konseling Islami dan membentuk suasana yang kurang sehat dalam kajian keilmuan. Mudah-mudahan tulisan singkat ini memacu dan menambah semangat kita dalam mengkaji masalah-masalah spiritual keislaman sehingga konseling Islami tidak hanya berkutat pada bagaimana mencari format dan merumuskan konsep tapi lebih pada action menggali dunia konseling Islami secara riil.


BIBLIOGRAFI

Adz-Dzaky, M. Hamdani Bakran, Konseling dan Psikoterapi Islam, Fajar Pustaka, Yogyakarta, 2002.

Alishah, Omar, Tasawuf sebagai Terapi, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002.

_______, Alishah Terapi Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2004

Al-Taftazani, Abu Al Wafa Al-Ghanimi, Sufi dari Zaman Ke Zaman, Pustaka, Bandung, 1997.

Annajar, Amin, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern, Mizan Media Utama, Bandung, 2004.

Asmaran as, Pengantar Studi Tasawuf, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1992.

Aziz, Abdul, Psikologi Agama, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 1987.

Bagir, Haidar, Manusia Modern Mendamba Allah, Penerbit Pustaka Amani Jakarta, 2002

Burhani, Ahmad Najib, Manusia Modern Mendambah Allah, Renungan Tasawuf Positif, Hikmah, Jakarta, 2002.

Darajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 2005.

_______, Kesehatan Mental, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1982.

Faqih, Aunur Rahim, Bimbingan Konseling dalam Islam, UII Press, Yogyakarta, 2001.

Fahmi, Musthofa, Prof. Dr., Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, Bulan Bintang, Jakarta, 1977

Hawari, Dadang, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Dana Bakti Prima Jasa, Yogyakarta, 1999.

Murtadlo, Ali, Bimbingan dan Konseling Islam Perspektif Sejarah, Jurnal Ilmu Dakwah, 2002.

Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan Konseling, Rineka Cipta, Jakarta. 1999.

Rahman, Budy Munawar, Demam Tasawuf, Yogyakarta, 2000.

Rahmat, Jalaluddin, Renungan Sufistik, Mizan, Bandung, 1997.

_______, Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

Rifa’i, Moh., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Wicaksana, Jakarta, 1992.

Schimmel, Anne Marie, Terj. Supardi Joko Damono, dkk., Dimensi Mistik dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986.

Soleh, Moh, Agama Sebagai Terapi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005

Sudarsono, Kamus Psikologi dan Filsafat, Jakarta, 1993.

Suyuti, Ahmad, Percik-Percik Kesufian, Penerbit Pustaka Hidayah, Bandung 2002

Syukur, M. Amin, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka, Yogyakarta, 2003.

_____________, Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.

_____________, Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1997.

sumber : http://agama.kompasiana.com/2010/07/14/tasawuf-sebagai-terapi/